Basira itu berbatu karang. Batu parak, bahasa pasarnya. Saat jalan-jalan pagi mengambil waktu sebelum perayaan misa Panca Windu Imamat RD Dominikus Luro Kelen, Jumat (24/09/2021) pagi, saya membayangkan beberapa tempat di Kupang, dulu. Tahun 1995-an, kala kaki ini melangkah kemana suka. Jalanan dalam kampung yang saya lewati, adalah jalan ‘parak’ dengan sedikit tanah. Hati-hatilah melangkah, jika medan belum dikuasai.
Pohon-pohon lontar tampak beberapa. Di kebun, banyak. Harus keluar kampung. Satu orang bisa memiliki 10 – 20 bahkan lebih pohon lontar. Demikian bapak Yos Tukan menjelaskan. Pagi itu, dia bergegas dengan parang di tangan. Ke kebun, pamitnya. Ayah tiga anak yang masih sekolah, mengharuskan bapak muda bekerja keras membiayai hidup keluarga.
Pohon Lontar atau dalam bahasa Lamaholot disebut koli, adalah penghasil uang di Basira selain mente. Nira yang disadap dari pohon lontar dimasak (proses penyulingan) untuk menghasilkan arak. Saya ingat beberapa tempat ketika melewati jalan ke Basira kemarin, bambu-bambu panjang di antara bebatuan. Ada jerigen yang berada di ujung bambu. Ternyata itu salah satu tempat penyulingan. Mereka melakukannya di bawah pohon-pohon mente. Di kebun mente.
Basira bahkan cukup dikenal sebagai daerah penghasil arak bakar menyala (kelas 1). Dalam setahun, panen nira dilakukan dua kali. Seberapa banyak nira yang disadap, begitu pula arak yang dihasilkan. Satu pohon nira bisa menghasilkan lima liter nira. Jadi arak yang dihasilkan dari satu pohon lontar bisa mencapai lima liter.
Berapa harga jual? Bagaimana menjualnya?
Di Basira, harga per botol aqua sedang Rp 20.000. Di Larantuka Rp 25.000 per botol aqua sedang. Ke Maumere, Rp 30,000. Kadang-kadang, beberapa kapal sering mampir dan transaksi dilakukan di tengah laut. Ini lebih mudah, kata mereka, sebab transportasi darat hanya mengandalkan pick up dan biaya PP Basira Larantuka, Rp 100.000.
Basira dan Lontar yang menghidupi mereka. Tentang Lontar yang dalam bahasa Lamaholot disebut koli, ada kisah yang diceriterakan adik Hans Kelen. Cucu Romo Domi itu didaulat mewakili keluarga membawakan sambutan dalam acara resepsi sederhana usai misa. “Opa (kakek) itu bicara sepotong-sepotong saja. Kalau ditanya jawabannya juga ya sepotong saja. Makanya, begitu disuruh atur saja acara hari ini, seperti ini pula acara yang kami buat. Maafkan untuk segala kekurangan Tapi ada kisah tentang opa romo yang kami ingat. Ketika itu Opa Romo Domi masih bertugas di Delsos Larantuka. Delsos itu selalu dianggap mereka punya uang, punya barang. Usai bencana dan rumah-rumah hilang, kakaknya Romo Domi bangun rumah. Saat mau atap, beliau (kakaknya romo Domi) pergi bertemu Romo Domi. Kalau bisa bantu kami seng, kata sang kakak pada adiknya dalam bahasa daerah. “Hah, koli wahak kae (Hah, lontar sudah habis kah?” tanya Romo Domi pada sang kakak. Dan, sang kakak pun pulang tanpa membawa seng selembar.
Pesannya mendalam. Kisah koli dan penolakan sangat halus tapi tegas ini menegaskan pula sosok seperti apa, pastor pertama dari kampung Basira itu. Bicaranya sepotong dan itu artinya sulit diajak kompromi. Lahir dan dibesarkan di Basira berbatu karang boleh jadi membentuk pribadi romo—mungkin juga kebanyakan orang Basira—berkarakter ‘keras’, kepala batu, tidak neko-neko dan bisa survive.
Bukan sesuatu yang rumit, jika Romo Domi, karena berkarya di Delsos Larantuka—sedang situasi bencana pula, tentu saja mengelola donasi dari banyak pihak–bisa saja memenuhi permintaan kakaknya untuk membantu seng. Hanya seng! Atap rumah mereka. Tapi ‘peluang’ itu tidak dimanfaatkan Romo Domi. Saya geleng kepala dengar kisah ini. Luar biasa!
Koli (lontar) yang tumbuh bebas di mana-mana dalam wilayah Basira, daunnya bisa dianyam jadi atap rumah. Disebut Nuki, dalam bahasa Lamaholot. Atau jual arak hasil dari koli (lontar) dan belilah seng. Berdayakan yang ada di sekitarmu dan berusahalah. Jangan memanfaatkan posisi seseorang untuk ‘harap gampang’, begitu kira-kira yang diajarkan Romo Domi.
Pelajaran hidup yang sekali lagi, luar biasa. Sangat menginspirasi di saat ini. Saat semuanya selalu mudah dan dimudahkan. Saat orang lebih memilih yang instan daripada berlelah-lelah. Boleh jadi tanah lahirnya Basira, membentuknya demikian. Entah dengan orang Basira lainnya (maafkan untuk pertanyaan ini). Lontar dan arak Basira. Sepanjang acara, suguhan minumannya adalah arak. Dan, kebanyakan tamu yang pulang, pasti bawa arak. Oleh-oleh atau juga beli. Saya? Bersama dua adik saya yang serumah, dapat oleh-oleh kue rambut buatan ema-ema di Basira. Kata Ema Pau Soge, mereka kumpul beras dan buat sama-sama untuk oleh-oleh para tamu. Ah tulus nian. Terima kasih, ema. (fince bataona)
Saya senang dengan Pastor yang punya karakter dan memberdayakan umat