Basira, pagi hari Jumat (24/09/2021). Matahari terbit lebih dulu. Lihat, belum apa-apa, matahari sudah tinggi. Panas. Saya melihat waktu: pukl 05.00 Wita. Saya sudah bangun pukul 04.00 Wita sebagaimana biasanya di rumah. Berdoa rosario bersama adik saya, Nona Mudapue saat adik satunya, Yustina Kolin masih lelap. Kami bertiga satu rumah penginapan. Rumah bapak Yos Tukan. Seisi rumah juga masih lelap. Mungkin lelah, semalam ikut sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk resepsi setelah misa. Sebagai keluarga dekat Romo Domi, mereka pasti ada di ‘belakang’ tenda.
Saya lalu jalan-jalan sebentar. Di daerah kami tinggal, letak antar rumah berjauhan. Rumah-rumah dengan kondisi setengah bangunan papan dan setengahnya tembok, tampak seperti tegak berdiri di antara batu-batu karang.
Berapa jiwa penduduk Basira? Kepala Desa Siprianus Wuring Belen menyebutkan angka 1000-an dari 330-an KK. Tersebar di lima dusun. Mata pencaharian utama petani. Jambu mente adalah hasil komoditi utama di Basira.
Kira-kira pukul 07.00 Wita, segerombolan anak remaja berseragam Pramuka lewat depan rumah. Anak SMP. Menarik perhatian saya, karena tangan mereka menenteng sepatu sekolah. “Hallo, anak sekolah, selamat pagi”, saya menyapa mereka yang tersenyum menjawab, “Selamat pagi juga”.
Mengapa tak pakai sepatu? Bayangan jalan yang harus mereka lalui sebelum sampai ke sekolah, cukup menjadi jawaban atas pertanyaan saya. Mengenakan sandal jepit adalah pilihan tepat, agar sepatu tidak cepat rusak.
Jarak dari Basira ke sekolah mereka, SMPN 2 Tanjung Bunga, di Kotenwalang, kurang lebih 4 Km. Jalanan dengan bebatuan berserakan. Harus mendaki, menurun, bahkan harus melewati kali berbatuan. Saat musim hujan, anak-anak sekolah ini tentu sangat menderita. “Kalau hujan terus menerus dan kali tidak bisa dilewati, kami tidak ke sekolah. Guru-guru sudah tahu dengan kondisi ini”, ujar salah seorang siswa.
Karena perjalanan jauh dengan berjalan kaki ini pula, jam masuk sekolah tidak harus tepat pukul 07.00 wita. Biasanya disesuaikan saja dengan kedatangan murid dan murid terbanyak di sekolah tersebut, berasal dari Basira. Di Basira hanya ada PAUD dan SD.
Tak hanya ‘menenteng sepatu’ yang menyita perhatian saya. Pagi itu, saya menyaksikan, anak-anak SMP itu tiba-tiba muncul lagi setelah agak jauh berjalan. Pulang karena di tengah perjalanan, mereka mendapat informasi sekolah libur. Tapi, sebelum tiba di rumah, mereka harus balik lagi, melanjutkan perjalanan karena ternyata tidak libur.
Mengeluh? Protes karena informasi yang simpang siur? Tidak! Mereka bahkan tertawa-tertawa riang sambil terus berjalan. Anak-anak tangguh! Saya bergumam.
Mereka jauh dari sentuhan main hp yang menyita banyak waktu bermain layaknya anak-anak di dunia nyata. Mereka jauh dari aneka permainan game yang menguras waktu belajar.
Saya melihat mereka sambil membayangkan anak saya. Anak-anak di kompleks tempat tinggal saya. Anak-anak kota. Anak-anak milenial. Mereka menghabiskan waktu 90 persen di depan layar Hp untuk bermain game dan sisanya untuk belajar. Porsi yang sangat tidak seimbang.
Melihat anak-anak sekolah di Basira, saya ingat bagaimana anak-anak saya. Anak-anak kompleks. Anak-anak kota, yang duduk manis di depan laptop sambil mendengar pelajaran dari guru. Jika enggan mengikuti pelajaran, mereka sesukanya bermain-main tanpa sang guru tahu, apakah siswa mendengarnya atau tidak.
Saat menyaksikan anak-anak Basira menenteng sepatu sekolah agar tidak cepat rusak karena kondisi jalan buruk dari rumah ke sekolah, saya membayangkan anak saya. Anak-anak kompleks tempat tinggal saya. Anak-anak kota. Mereka, bahkan untuk tugas sekolah cukup mengirimkan file dari rumah. Cukup dari rumah.
Apakah anak-anak Basira ini, seperti anak-anak saat ini dengan segala “modernnya” disebut sebagai anak-anak milenial. Mereka tak nikmati semua yang disebut milenial. Tidak!
Saya minta mengabadikan momen saat melihat mereka dari halaman rumah saya menginap. Boleh saya foto? Saya mau menulis tentang kalian.
“Eh tidak,” ujar salah seorang dari mereka.
Mereka tampak malu-malu. Dan, saya tetap mengambil gambar mereka pagi itu. Sesaat sebelum kami bersiap ke tempat berlangsungnya misa.
Perayaan misa Panca Windu imamat RD Dominikus Luro Kelen sesuai undangan, pukul 08.00 wita. Namun baru dimulai hampir pkl 10. 00 Wita. Vikjen Keuskupan Larantuka serta para pastor di wilayah Tanjung Bunga tampak hadir. Dari Lembata, Rm Deken yang juga adalah Pastor Paroki Kristus Raja Wangatoa, RD Sinyo da Gomez, RD Kristo Soge dan RD Eman dari Paroki Boto. Misa berlangsung meriah dipimpin Rm Domi. Koor Christo Regi PKRW yang dipimpin ibu Rosa Leumara menyemaraki misa bersama seluruh umat Basira dan sekitarnya, juga para undangan.
Usai misa, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan sebelum acara makan bersama. Ketika berkisah tentang perjalanan imamatnya, Rm Domi menuturkan bagaimana sulitnya dirinya melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki menuruni lembah, naik ke bukit, menyeberangi kali hingga tiba di Hokeng.
Sekarang ini sudah berubah banyak, ujarnya. Setidaknya, kendaraan bisa masuk ke kampung ini.
Hal senada juga disampaikan mantan Camat Tanjung Bunga, Petrus Toda Atawolo yang hadir sebagai tokoh umat PKRW sekaligus membaawakan sambutan. “Jauh berubah. Kami dulu kunjungan ke sini dengan jalan kaki.”
Iya! Ada perubahan. Tetapi gerak perubahannya, lambat nian. Kata orang Basira, kami ini, bagian dari Indonesia, NTT, Flores Timur. Mestinya! (fince bataona)
Terima kasih banyak atas kunjungan ke Basira Dan juga suda menuliskan cerita tentang kampung Basira. Basira adalah kampung yg sangat Ujung yg terleteknya di Ujung Flores Timur sya sebagai anak Dan orang Basira sya sangat berterimakashi atas catataan perjalan anak2 sekaloh di Basira Tuhan memberkati Sr Veronika kelen