Anselmus D. Atasoge
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta /
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Idul Adha tiba lagi. Ini kali kedua di masa pandemi. Kehendak untuk merayakannya secara berjamaah dibatasi kembali tahun ini. Namun, pembatasan itu tidak mengurangi makna epistemologi perayaan ini.
Kisah qurban idul adha dapat dirujuk dengan jelas dalam Al Quran surat As Shoffat ayat 102. Saat Ismail berusia remaja, ayahnya Ibrahim memanggil Ismailnya untuk mendiskusikan sesuatu. Ibrahim menceritakan kepada Ismail bahwa ia telah mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih Ismail. Dari sini, Ibrahim menanyakan kepada Ismail: “Bagaimana menurutmu, wahai Ismail?” Kepada sang ayah, Ismail bersaksi: “Wahai ayah, laksanakan perintah Allah yang dimandatkan untukmu. Saya akan sabar dan ikhlas atas segala yang diperintahkan Allah,” ujar Ismail kepada ayahnya, Ibrahim.
Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa itu adalah perintah Allah, maka Ibrahim dengan ikhlas akan menyembelih puteranya sendiri. Dengan penuh keikhlasan, Ibrahim dan Ismail bersiap untuk menjalankan perintah Allah. Namun, dikisahkan selanjutnya bahwa Allah kemudian menggantikan Ismail dengan domba. Kisah ini kemudian dijadikan sebagai hari raya umat Islam yang dikenal dengan nama idul adha.
Idul Adha sebagai Qurban
Islamcendekia.com menulis, kata idul adha qurban memiliki dua makna. Pertama, kata ‘qurban’ berarti ‘dekat’ yang diambil dari bahasa Arab ‘qarib’. Pandangan umum mengatakan bahwa qurban adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, kata qurban juga berarti ‘udhhiyah’ atau bisa dikatakan ‘dhahiyyah’ yang mengandung arti ‘hewan sembelihan. Dari arti makna qurban ini, maka menjadi tradisi sebagaimana lazim dilakukan umat muslim di dunia untuk menyembelih hewan dengan cara kurban atau mengorbankan hewan yang menjadi sebagian hartanya untuk kegiatan sosial.
Menurut Lismanto, pencetus teori aktualisasi syariat (dalam “Hukum Islam Progresif”, 2014), tradisi kurban dalam hari raya idul adha memiliki dua dimensi. Pertama, makna qurban memiliki dimensi ibadah-spiritual. Kedua, makna qurban punya dimensi sosial. Dimensi ibadah dalam tradisi qurban, menurut Lismanto, menjadi bentuk ketaatan hamba kepada Tuhannya. Ketaatan itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas sepenuhnya, sebagai jalan menuju kedekatan dengan Allah. Hal inilah yang dimaksud qurban dalam pengertian ibadah, yakni qarib.
Sementara itu, dimensi sosial dalam tradisi qurban mengandung pesan bahwa ibadah qurban memberikan kesejahteraan kepada lingkungan sosial berupa daging kurban. Dalam pandangan Lismanto, Allah selalu memerintah hamba-Nya untuk selalu mengharmonisasikan antara ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum minannas). Keduanya berjalan beriringan tanpa ada sekat dan harus senantiasa berdialektika.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa arti qurban dalam tradisi idul adha memiliki dua makna. Makna pertama merujuk pada kata qarib yang identik pada ibadah vertikal, dan kedua merujuk pada makna kata udhhiyah atau dhahiyyah yang dilekatkan pada ibadah horizontal.
Kurban idul adha diambil dari bahasa Arab, yaitu ‘qaruba’, ‘yaqrabu’, dan ‘qurban wa qurbaanan’ yang berarti mendekati atau menghampiri. Sementara itu, arti kata qurban secara harfiah berarti hewan sembelihan yang diambil dari kata ‘udhhiyah atau dhahiyyah’. Makna simbolis yang dapat ditarik dari sini yakni dengan adanya simbol penyembelihan hewan qurban, seorang muslim diharapkan bisa semakin dekat dengan Allah.
Idul Adha dan Hari Raya Haji
Idul adha disebut juga ’hari raya haji’. Idul Adha dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah ketika kaum muslim sedang melangsungkan rukun ibadah haji paling utama – yang membedakan antara rukun haji dan rukun umroh – yaitu wuquf di Arafah. Hari raya Idul Adha juga disebut dengan Hari raya haji. Pada saat itu, kaum muslim sedang berjuang mendekatkan diri kepada Allah seraya mengucapkan kalimat ‘talbiyah dan thoyyibah’ dengan memakai kain ihrom, kain serba putih yang tidak ada jahitannya yang menandakan kesederhanaan dan kesetaraan di sisi Allah.
Kalimat talbiyah adalah bacaan tertentu yang khas dilafalkan oleh jamaah haji di tanah suci sesaat setelah jamaah haji memasang niat ibadah haji. Kalimat talbiyah dibaca tiga kali dan kemudian disusul dengan lafal shalawat serta doa. Kalimat talbiyah dilafalkan oleh jamaah haji sejak pasang niat ihram atau haji di tanah halal hingga memasuki Masjidil Haram. Kalimat talbiyah dibaca lantang dan terus menerus oleh jamaah haji hingga melontar jumrah aqabah pada 10 Dzulhijjah (https://islam.nu.or.id).
Kalimat talbiyah yang masyhur dilafalkan oleh Rasulullah dan para sahabat adalah: “Labbaykallahumma labbayk, labbayka la syarika laka labbayk. Innal hamda wan ni‘mata laka wal mulk. La syarika lak”. Artinya, “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”
Sementara itu, lafal shalawat yang dibaca jamaah haji setelah melafalkan dengan lantang kalimat talbiyah adalah: “Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala ali sayyidina Muhammadin”. Artinya, “Ya Allah berilah kesejahteraan dan keselamatan atas Junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya”. Dan, doa permohonan ridha dan surga yang dianjurkan sebagai penutup shalawat adalah: “Allahumma inna nas’aluka ridhaka wal Jannah, wa na‘udzu bika min sakhatika wan nar. Rabbana atina fid duniya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzaban nar”. Artinya, “Ya Allah sungguh kami memohon ridha dan surga-Mu. Kami berlindung kepada-Mu dari murka dan neraka-Mu. Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Lindungilah kami dari siksa neraka.”
Makna dan Hakekat Qurban Idul Adha
Qurban dalam tradisi idul adha dimaknai lebih dalam sebagai sebuah bentuk ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada Allah, maka hakikat kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu, makna qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah melalui hewan ternak yang dikurbankan atau disembelih.
Dengan ini, kaum muslim yang ‘berkurban’ adalah dia yang merelakan sebagian hartanya yang dalam konteks keimanan dipandang sebagai milik Allah yang kemudian dikurbankan bagi orang lain. Kurban ini dijalankan dan dijadikan sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah. Syarat utama yang mesti ada adalah dalam qurban seseorang harus benar-benar mencari ridha Allah, bukan untuk yang lain. Allah yang ‘didekati’ adalah Allah yang ‘akbar’ (mahabesar) serentak pula adalah Allah yang ‘akrab’ (mahadekat) dengan semua umatNya. Allah yang ‘akbar’ adalah juga Allah yang mengakrabkan semua manusia. Dekat dengan Allah, dekat pula dengan manusia. Sekiranya, intensionalitas idul adha di tanah air kita sungguh menjadi momen ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum minannas) di tengah terpaan pandemi covid 19, sebuah perayaan yang merangkum dimensi harmonisasi kehidupan!(*)
Kental DNA UIN Sunan Kalidjaga Yogyakarta. Proficiat Ama…