Oleh Anselmus D. Atasoge
Staf Pengajar Pada Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tahun ini, 2021, menjadi tahun kedua tak dijalankannya ritual “Semana Santa” di Nagi Reinha, Kota Larantuka, sebagaimana biasanya. Agak berbeda dengan tahun 2020. Tahun ini, dengan sejumlah catatan ‘prokes’, Gereja ‘membuka kembali pintunya’, secara terbatas pula. ‘Surat Edaran’ Pastor Paroki Katedral Reinha Rosari Larantuka menyebutkan kehadiran umat pada setiap perayaan tak lebih dari 400 orang. Meski kembali dibuka dengan segala pembatasannya, momen ini menjadi berharga bagi umat yang merayakannya. Tulisan ini merupakan sebuah ‘sisipan kecil’ bagi ‘perayaan besar’ ini.
Merayakan Semana Santa di Kota Tua Larantuka bukan sebuah aksi gagah-gagahan rohaniah. Bukan pula sekedar mengulang serimonial tahunan khas Larantuka. Sejatinya, Semana Santa harus selalu dihubungkan dengan akarnya: Kisah Sengsara Yesus Kristus!
Di dalamnya, Orang-Orang Larantuka dan para peziarah yang datang ke Larantuka mengambil bagian di dalam perayaan suci ini. Dan, sesungguhnya ‘mengambil bagian di dalamnya’ mengandung makna mengambil bagian dalam Kisah Sengsara Yesus Kristus itu. Dengannya, mereka menimba kekuatan untuk membaharui diri dan kehidupannya setelah menyatukan dan menceburkan diri dengan sekian banyak tokoh yang hadir dalam seluruh Kisah Sengsara Yesus: Pilatus, Herodes, Kayafas, Prajurit-Prajurit, Murid-Murid Yesus, Simon dari Kirene, Veronika, Maria Ibu Yesus, Perempuan-Perempuan yang Meratapi Yesus, Yudas Iskariot dan Yesus sendiri sebagai tokoh yang paling utama.
Bisa jadi wajah Orang-Orang Larantuka dan para peziarah kini dan di sini adalah gambaran asli wajah dari tokoh-tokoh itu. Bisa jadi pula gabungan di antara tokoh-tokoh itu. Tak seorang pun bisa menepis kalau wajah Pilatus yang dengan gampang “cuci tangan” atas soal besar yang dihadapi masih bercokol di Tanah Nagi. Siapa tahu juga kalau karakter Herodes yang “haus darah” itu masih “dihidupi” dengan tampilan yang berbeda. Siapa tahu juga kalau orang-orang seperti para prajurit yang “hanya tahu menjalankan perintah” tanpa tahu alasan mengapa perintah itu harus dijalankan masih menyelinap di tubuh birokrasi, di institusi-institusi agama dan kelompok-kelompok sosial masyarakat. Dan, siapa bilang kalau orang macam Kayafas yang suka “berkolusi” itu sudah hilang “peredarannya” di tanah ini.
Para murid Yesus, orang-orang yang paling dekat dengan Sang Guru pun punya kisah tersendiri: ada yang menyangkal dan hampir semua melarikan diri! Ya…Petrus Sang Ketua menyangkal Sang Guru. Dan, yang lain lari meninggalkan Sang Guru ketika situasi sulit menghampirinya hingga Simon dari Kirene, orang asing itu, harus menemani Sang Guru di Jalan SalibNya. Massa anonim, apalagi! Di Gerbang Kota Yerusalem dengan ranting-ranting zaitun mereka mengelu-elukan Yesus. Dan, di halaman istana Pilatus, orang-orang yang sama kembali hadir dan serentak berseru: “Salibkan Dia….Salibkan Dia!” Antara sujud syukur ‘sambut senang dan sangkal tolak’ batasnya amat tipis. Lain muka lain belakang. Lain kata lain aksi. Tak ada persesuaian antara keduanya. Mungkinkah iman yang sudah lama nian diterima dan kuat berakar di hati Orang-Orang Larantuka dan para peziarah mudah dipengaruhi oleh bujuk rayu aksidental atas nama pemenuhan kebutuhan perut dan perhitungan ekonomis-politis? Atau pun, atas nama identitas politik primodial dan derajat yang syarat kepentingan!
Masih banyak tokoh dalam Jalan Salib Sang Guru yang bisa kita identifikasikan. Yang tak kalah pentingnya dalam hal tokoh yang “menarik perhatian” adalah Yudas Iskariot. Tiga puluh keping perak itu bukan “maksud hati” Sang Pengkhianat itu. Sedari awal dia tahu kalau Yesus itu “tokoh sakti”. Namun, sejauh pengalamannya, aura kesaktian Sang Guru belum tampak terang. Maka, Yudas “bikin” skenario Getsemani biar Sang Guru “harus” tampilkan “kesaktiannya”: kemahakuasaanNya. Orang-orang yang hendak menangkapNya memang sempat “terjatuh” di hadapanNya. Jantung Yudas bergedup. Dia kira inilah saatnya kesaktian Sang Guru menyembul di balik kepekatan Getsemani. Tapi, skenarionya gagal. Sang Guru “membiarkan diriNya” ditangkap. Jantung Yudas bagai terjebak dalam “degupan yang kencang”. Dan, ia pun mengakhiri kehidupannya: bunuh diri!
Bolehlah dibilang bahwa Yudas itu gambaran orang-orang yang berniat memaksa Tuhan untuk mengikuti skenario kemanusiaan orang-orang itu. Orang-orang Larantuka dan para peziarah harus lebih maju dalam hal yang satu itu: Tuhan tidak boleh dipaksa! Karenanya, sepatutnya kata-kata sakti Sang Guru jadi junjungan orang-orang yang merayakan Semana Santa: “Bukan kehendakKu yang terjadi melainkan kehendakMulah yang terjadi!”
Jika Orang-Orang Larantuka dan para peziarah sungguh-sungguh merayakan Semana Santa di Larantuka maka mestinya mereka pun sungguh-sungguh mengidentifikasikan diri mereka dalam sekian banyak tokoh tadi. Dan, tentunya mereka tidak hanya memanjakan diri dengan aksi identifikasi itu. Identifikasi harus bermuara pada katarsis: pembersihan rohani! Karenanya meski dalam ‘keterbatasan prokes di tengah pandemi’, merayakan Semana Santa di Larantuka itu menikmati ‘hidangan histori religius-spiritual’ masa silam atau sekedar “hijrah” ke Larantuka sebagai “pelancong rohani” untuk menikmati hidangan tersebut.
Lebih dari itu, Semana Santa menjadi momen transformasi sosial ketika semua mereka yang terlibat mengambil bagian dalam kisah sengsara Yesus dan menarik nilai serta menuangkannya dalam praksis hidup harian di hadapan diri sendiri dan di hadapan orang-orang yang “tidak merayakannya”.