Oleh : Yoppi Lolan
Selalu saja ada hal menarik yang diperbincangkan dalam hal Covid-19 ini, seperti penderita yang kian bertambah seiring dengan kesembuhan para penderita yang meningkat ataukah muncul pertanyaan dalam diri kita masing-masing “sampai kapan covid-19 ini terus berlangsung”? Saya rasa hal-hal diatas itu tidak menarik lagi.
Akhir-akhir ini yang sangat menarik perhatian orang adalah soal vaksin, yang konon katanya akan beredar luas di kalangan masyarakat. Tentu hal itu sangat menggembirakan, tapi apakah masyarakat mau menerima untuk divaksin dan merespon sangat baik terkait vaksin tersebut?
Mari, saya akan mengajak semua pembaca untuk melihat hasil survei pendapat masyarakat Indonesia terkait vaksin.
Pada akhir bulan oktober 2020, Kementrian Kesehatan Indonesia bersama Indonesia Technical Advisory Group On Immunization (ITAGI) memaparkan hasil survei, dengan hasil : 64,8% masyarakat bersedia divaksin, 7,6% menolak, 26% ragu-ragu (Kemenkes RI 2020).
Pasti muncul pertanyaan: kenapa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya mencapai katakanlah 95% mau divaksin (dengan margin of error jika menggunkan teknik sampling 5%) untuk menentukan frekuensi tidak ada penolakan dan keraguan masyarakat Indonesia terhadap vaksin yang diberikan oleh pemerintah. Apakah masyarakat belum sepenuhnya yakin dan percaya vaksin tersebut bisa meningkatkan imunitas tubuh dari serangan Covid-19? Atau ada keraguan dari masyarakat terkait pengambilan kebijakan pemerintah seolah-olah terlihat grasak-grusuk tanpa dilandasi pembuktian yang empiris dan metodelogi yang kuat akan khasiat dari vaksin tersebut.
Mari kita mengulas persoalan ini lebih intens agar tidak ada dikotomi perdebatan siapa yang percaya atau tidak percaya dan siapa yang yakin dan siapa yang ragu.
Ekonomi Pasar
Jika dipandang dari kaca mata ekonomi dan politik maka vaksin Covid-19 bukan sekedar obat atau peningkat imunitas tubuh seseorang, tapi vaksin akan berasosiasi kearah ekonomi politik dan perdagangan antarnegara. Tentu tidak terlepas dari kekuasan dan kapitalis bahkan hegemoni kepentingan pasar suatu negara.
Dalam kapitalisme vaksin Covid-19 akan berkolaborasi dengan kalangan korporasi (pemodal) dan didukung oleh pejabat-pejabat negara dengan berasumsi menciptakan pundi-pundi kekayaan baru dan peningkatan pendapatan seperti yang dikemukakan oleh Lavine (2015). Dengan kata lain, bahwa vaksin Covid-19 merupakan “kekayaan yang terkondisikan”, dalam hal ini, tidak secara langsung pemerintah sedang melakukan kerjasama (membangun relasi kekuasaan) dan mendorong etnis-etnis swasta (perusahaan, kapitalis, produktivitas barang, dan perdagangan). Singkatnya, bahwa vaksin Covid-19 sedang dipasarkan antar negara. Pada prinsip ekonomi pasar pasti tidak terlepas dari produsen dan konsumen (siapa yang menjual dan siapa yang membeli).
Keresahan dan pertanyaan kecil dalam benak saya adalah Apakah vaksin Covid-19 ini digratiskan oleh pemerintah Indonesia atau diperjualbelikan kembali ke masyarakat ?
Jika pemerintah menjualbelikan vaksin Covid-19 maka tidak secara langsung kita sedang dililit oleh sistem kapitalis industri kesehatan. Di dalam pasar, harga menentukan dan menyaring konsumen dalam kemampuan memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Harga merupakan mekanisme yang mempersilahkan orang-orang mampu untuk membeli. Harga pula yang membuat hidup orang pas-pasan, atau harga merupakan mekanisme yang menentukan siapa yang berhak layak mendapatkan vaksin Covid-19 dan siapa yang tidak layak berhak mendapatkan vaksin Covid-19, bahkan harga juga menentukan siapa yang layak untuk hidup dan siapa yang harus disingkirkan dari kehidupan.
Industri Kesehatan di Cengkraman Kapitalis
Dalam paham kapitalis memang diakui bahwa cara kerjanya mampu meningkatkan perfesionalitas dan efisiensi pengelolahan kesehatan. Namun sayangnya profesionalitas itu harus dibayar mahal dengan semakin susahnya akses kesehatan bagi orang miskin, serta jaminan kesehatan yang prima.
Saat ini industri farmasi adalah salah satu kekuatan terbesar disamping industri keuangan. Melalui industri farmasilah, semua jenis penyakit tidak lagi ditangani sebagai bahaya yang harus dimusnakan, melainkan dieliminir gejalanya saja. Akhir-akhir ini industri farmasi berusaha masuk menyelinap kedalam media untuk menghegemoni dan membentuk keyakinan baru kita bahwa “kalau ingin tetap bugar harus sering-sering minum obat” dengan harapan suatu saat konsumen (masyarakat) akan mengalami kelaparan obat.
Dalam hal ini, kita akan mengalami ketergantungan dan ketagihan pada obat yang dihasilkan, dengan sendirinya kaum kapitalis di industri farmasi terus memproduksi obat-obatan atau vaksin. Lagi-lagi industri farmasi melalui dokter berusaha mengembangkan keyakian konsumen (pasien), bahwa obat atau vaksin adalah menu pokok apabila ingin bertambah dalam usia panjang dan selalu merasa sehat.
Kita ketahui bersama bahwa obat atau vaksni merupakan komoditi yang mempunyai kedudukan yang unik, dengan komoditi yang peredaran dan penilaian kualitas mutlak di bawah pengaruh produsen (pasien) sendiri dan penyediaan pelayanan kesehatan (dokter).
Dari paparan di atas bahwa pembangunan yang diprogramkan oleh pemerintah, globalisasi yang coba dikembangkan oleh pemerintah Indonesia yang menyentuh ranah kesehatan, ternyata tidak menyentuh masyarakat miskin. Begitu buruknya sistem kesehatan yang ada di Indonesia mencerminkan bagaimana lemah dan lambannya pemerintah.
Sistem kapitalis yang licik telah membuat persoalan kesehatan menjadi komoditi yang menarik banyak keuntungan. Dari obat, kapitalis bisa membuat perdagangan dengan pangsa pasar yang sangat luas, dan dengan produk obat itu sendiri industri kapitalis di industri farmasi dan para ahli kesehatan membuat paradigma baru tentang apa itu sehat dan bagaimana kesehatan itu berdampak pada aktivitas produktif. Semua kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pada akhirnya menguntungkan para pemodal atau kaum borjuis.
Pertanggungjawaban pemerintah untuk menjamin kesejahteraan sosial masyarakat sesuai dengan Undang-Undang belum mampu terealisasikan. Industri obat-obatan dan vaksin serta pelayanan kesehatan terus mencekik masyarakat karena mahalnya harga obat yang harus dibayar. Semua itu tidak untuk kepentingan rakyat tapi untuk keuntungan para kapitalis.(*)
Penulis adalah Alumnus program magister FKM Universitas Respati Indonesia, Jakarta.