Larantuka – Kejaksaan Negeri Larantuka telah menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek air bersih Ile Boleng atau dikenal dengan nama SPAM IKK Ile Boleng Tahun Anggaran 2018. Namun pengacara, Akhmad Bumi, SH mempertanyakan alasan Kejari Larantuka memasukan konsultan perencana sebagai tersangka. Pasalnya, konsultan perencana hanya merencanakan pekerjaan air Ile Boleng dari sumber mata air Waigeka bukan Wai Mawu yang kemudian bermasalah.
Ya, “Klien kami tidak bertanggungjawab atas pekerjaan tersebut di Wai Mawu yang diduga menyebabkan adanya kerugian, kecuali pekerjaan di Waigeka, Desa Lite sesuai kontrak, dokumen perencanaan dan hasil survei yang dilakukan klien kami. Klien kami tidak menerima aliran uang atas pekerjaan di Waimawu, Desa Hokohorowura. Perlu dicermati peran dan tanggungjawab para pihak sesuai kewenangan yang diatur dalam undang-undang,” tandas Akhmad Bumi, dalam press releasenya yang diterima redaksi aksinews.id, Minggu (10/1/2021).
Akhmad Bumi menguraikan panjang lebar kronologis kasus SPAM IKK Ile Boleng yang menyulut perhatian publik Flores Timur sejak tahun 2018 silam itu. Dipaparkan bahwa pemerintah daerah sebelumnya menetapkan sumber mata air Waigeka untuk masalah air minum bersih warga Ile Boleng. Sayangnya, saat hendak pelaksanaan pekerjaan konstruksi, masyarakat desa di lokasi mata air melancarkan aksi penolakan. Bupati dan Wakil Bupati Flores Timur sempat terjun langsung ke desa untuk melakukan pertemuan dengana warga setempat. Namun masyarakat tetap menolak. Ujungnya, Dinas PUPR Flotim memindahkan lokasi sumber mata air ke Wai Mawu, Desa Hokohorowura.
Menariknya, perubahan lokasi sumber mata air tidak disertai dengan perubahan perencanaan teknis. Disinyalir, pemerintah tetap menggunakan dokumen perencanaan dengan sumber mata air Waigeka. Jadi, “Penetapan tersangka pada klien kami adalah tidak tepat dan prematur,” tegas Akhmad Bumi.
Pengacara yang ini bermarkas di Kota Kupang ini menjelaskan bahwa penetapan tersangka itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Flores Timur Nomor: Print-02/N.3.16/Fd.1/10/2020 tanggal 8 Oktober 2020 jo Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-02/N.3.16/Fd.1/01/2021 tanggal 7 Januari 2021.
Dikatakan, yang memiliki kewenangan terkait penunjukan lokasi mata air baku terkait proyek tersebut adalah Pemerintah cq Dinas PUPR kab Flores Tikur atas persetujuan masyarakat setempat sebagai pemilik lokasi. “Bukan tersangka selaku konsultan perencana,” tandasnya.
Dia juga menjelaskan bahwa kliennya sebagai konsultan perencana dinyatakan sebagai pemenang lelang dalam pekerjaan perencanaan SPAM IKK Ile Boleng oleh Pokja LPSE kab Flores Timur tanggal 23 Februari 2018 dengan 75 hari kelender kerja (Maret – Mei 2018) dengan lokasi mata air baku di Waigeka, Desa Lite, Kecamatan Adonara Tengah. “Bukan di lokasi Wai Mawu, desa Hokohowura yang kemudian bermasalah (kontraktor di PHK),” ujarnya.
Dia juga menampik pemberitaan yang menyebutkan bahwa kliennya tidak mendapatkan restu dari kantor pusat PT Muara Consult selaku Kepala Perwakilan Flores Timur. “Klien kami selaku kepala perwakilan PT Muara Consult Perwakilan Flores Timur dibuat dengan Akta Notaris tanggal 7 September 2017, terdaftar di Pengadilan Negeri Larantuka tanggal 25 Januari 2018. Ada TDP (tanda daftar perusahaan), SITU dan NPWP Perwakilan dan lain-lain,” tegasnya.
Dikatakan, kliennya selaku konsultan perencana dari PT Muara Consult Perwakilan Flores Timur sebagai pemenang lelang dalam pekerjaan perencanaan tersebut, kemudian melakukan survei di lokasi yang ditentukan pemerintah, yakni di MA Wuli Go, Desa Horowura untuk pekerjaan perencanaan SPAM IKK Ile Boleng. “Tapi lahan tersebut ditolak Kades (kepala desa) setempat,” papar dia.
Karena ditolak, sambung Akhmad Bumi, konsultan perencana ditunjukan lokasi lain oleh Dinas PUPR di MA Waikenawe, Desa Horowura. “Tapi mata air tsb sudah digunakan oleh PDAM IKK Waiwerang,” ujarnya seraya menerangkan bahwa kliennya melaporkan hal tersebut ke PPK, kemudian ditunjuk lokasi baru Dinas PUPR yakni di Waigeka, Desa Lite, Kecamatan Adonara Tengah.
“Lokasi ini mendapat ijin dari pemilik lahan, Dinas PUPR, tokoh masyarakat setempat dan tokoh masyarakat Ile Boleng selaku penerima manfaat program. Klien kami mulai melakukan pekerjaan survei sejak akhir Maret 2018 sampai Mei 2018 sesuai kontrak,” papar Akhmad Bumi seraya menguraikan bahwa dalam survei diperoleh data debit air 22-24 liter per detik, debit rencana dalam pipa 13,7 liter per detik, faktor head loss 2,47-7,9 m/km, kecepatan aliran air dalam pipa 0,58-0,9 m/detik.
Dia juga menjelaskan bahwa design perencanaan; galeri intake yang berfungsi sebagai tangkapan air baku permukaan, reservoir 100 M3 berfungsi sebagai penampung pertama sebelum dialirkan ke reservoir wilayah sasaran, pipa transmisi sepanjang 14.320 meter. “Accessories pipa transmisi (air vent valve, wash out, support, dsb). Reservoir induk 200 M3 untuk wilayah sasaran yang memiliki 5 out let untuk didistribusikan berdasar zona layanan. Proses perencanaan dan survei di Waigete, Desa Lite selesai dilakukan pada akhir Mei 2018,” ungkap Akhmad Bumi.
Setelah selesai, lanjut dia, produk perencanaan/survei tersebut ditandatangani oleh direksi tekhnis, PPK dan kepala dinas PUPR lalu diserahkan ke PPK. Rinciannya sebagai berikut: laporan pendahuluan, laporan antara, laporan akhir, detail engeneering estimated, gambar perencanaan, rencana kerja dan syarat-syarat, bill of quantity, dan excutive summary.
Setelah produk perencanaan tersebut selesai, ungkap Akhmad Bumi, dilakukan asistensi, kemudian dibuatlah berita acara serah terima produk perencanaan tersebut dan dilanjutkan dengan pencairan uang. “Pekerjaan perencanaan oleh klien kami selaku konsultan perencana selesai sesuai kontrak (klender 75 hari kerja) untuk mata air Waigeka Desa Lite, bukan di Wai Mawu yang kemudian bermasalah,” tandasnya.
Setelah selesai serah terima pekerjaan perencanaan tersebut, menurut dia, tanggungjawab kliennya pun selesai. “Proses berikut dilakukan lelang proyek tersebut menggunakan produk perencanaan dari klien kami selaku konsultan perencana, lelang dimenangkan oleh PT. GNA dengan nilai penawaran Rp 8.865.798.000,-. (Delapan milyar delapan ratus enam puluh lima juta tujuh ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah),” jelasnya.
Dia pun menuturkan bahwa kliennya selaku konsultan perencana sempat diminta untuk mempresentasikan di hadapan DPRD Flores Timur produk perencanaan untuk Waigeka pada bulan Agustus 2018.
“Setelah ada pemenang lelang, klien kami bersama PPK dan Direksi Tekhnis, kontraktor, konsultan pengawas, yang dihadiri oleh kepala desa dan perangkat desa, pemilik lokasi dan tokoh masyarakat setempat melakukan serah terima lapangan; menunjuk jalur pipa transmisi dari sumber air baku Weigeka ke lokasi sasaran Ile Boleng,” ujarnya.
Dikatakan, dalam pelaksanaan pekerjaan proyek ini oleh kontraktor pemenang lelang kemudian mendapat penolakan kembali dari masyarakat setempat di Desa Lite, Kecamatan Adonara Tengah. “Karena adanya penolakan dari masyarakat setempat maka PPK meminta klien kami untuk menghadiri pertemuan dengan masyarakat desa Lite dikantor desa Lite yang dihadiri oleh Bupati, Wakil Bupati, Camat Adonara Tengah, camat Adonara Timur, Camat Ile Boleng, Kepala Desa Lite, pemangku adat desa Lite, tokoh masyarakat dan perangkat desa. Dalam pertemuan tersebut masyarakat tetap menolak menggunakan mata air baku Waigeka, Desa Lite dalam proyek ini,” ujarnya.
Dari sinilah, Dinas PUPR menunjuk lokasi baru di Wai Mawu, Desa Hokohorowura, Kecamatan Adonara Tengah pada bulan Juli 2019. Pada bulan Oktober 2019 klien kami diminta PPK membantu melakukan review dalam menghitung debit air dijalur baru tersebut. “Ini hanya tanggungjawab moral klien kami sebagai anak daerah. Di lokasi baru Wai Mawu ditemukan debit air hanya 0,2 liter per detik. Kecilnya debit air di Wai Mawu tersebut telah disampaikan klien kami pada PPK,” tandas Akhmad Bumi.
Namun dia mengakui bahwa kontraktor mengerjakan di lokasi baru Wai Mawu, Desa Hokohorowura tapi menggunakan perencanaan yang dibuat kliennya di lokasi Waigeka, Desa Lite, Kecamatan Adonara Tengah. “Dalam perjalanan kontraktor menghentikan pekerjaan karena beban biaya tidak sesuai dengan analisa harga dan perhitngan tekhnis. Sehingga pihak dinas PUPR dan PPK melakukan pemberhentian kontrak (PHK) kepada kontraktor,” paparnya.
Namun, sambung Akhmad Bumi, “Klien kami dibebankan tanggungjawab hukum atas pekerjaan di Wai Mawu, Desa Hokohorowura adalah tidak tepat. Karena produk perencanaan klien kami adalah di Waigeka, Desa Lite, Kecamatan Adonara Tengah, bukan Wai Mawu, Desa Hokohorowura.”
“Perencanaan di lokasi mata air baku Waigeka tapi PPK dan kontraktor menggunakan lokasi di Wai Mawu yang bukan hasil perencanaan klien kami. Analoginya seperti kita memesan kepada penjahit untuk jahit celana pendek tapi ditengah jalan dirubah jahit celana panjang. Otomatis kainnya berkurang. Penjahit tidak mau rugi, akhirnya berhenti menjahit. Harus dinas PUPR melakukan perencanaan ulang karena pemindahan lokasi terkait mata air baku. Karena perhitungan satuan harga dan perhitungan tekhnis lainnya berbeda,” ungkap Akhmad Bumi.
Menurut dia, yang bertanggungjawab dalam kasus ini adalah kontraktor, PPK, Dinas PUPR. “Bukan klien kami selaku konsultan perencana yang membuat perencanaan di Waigeka, Desa Lite,” tandasnya. ‘Harusnya Dinas PUPR melakukan perubahan perencanaan (perencanaan ulang) yang semula di Wai Geka lalu dipindahkan ke Wai Mawu. Dilakukan proses ulang, mulai perencanaan dan seterusnya. Harusnya PPK tidak boleh menggunakan hasil perencanaan untuk mata air baku di Waigeka desa Lite untuk digunakan di Waimawu, Desa Hokohorowura, karena secara tekhnis perhitungannya berbeda,” tegas Akhmad Bumi, dan juga menegaskan bahwa saat masyarakat desa Lite menolak, PPK harusnya lakukan PHK pada kontraktor pelaksana, bukan menunjuk lokasi baru di Wai Mawu untuk dilanjutkan pekerjaan tersebut.(*/fre)