Aksinews.id/Jakarta – Tuduhan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburrokhman soal adanya “operasi rahasia” yang ingin gagalkan Gibran jadi cawapres Prabowo ditampik Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Dia menepis tudingan bahwa tuntutan terhadap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) adalah upaya menjegal Gibran Rakabuming Raka maju di Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Habiburrokhman menyebut ada operasi rahasia untuk menggagalkan bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo Subianto maju di Pilpres 2024 dengan mendesak MKMK menyatakan bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bermasalah.
Ya, “Sepertinya ada operasi rahasia yang intinya menggagalkan Mas Gibran untuk menjadi cawapresnya Pak Prabowo dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat,” ujar Habiburrokhman, sebagai ditayangkan Kompas TV, Jumat (3/11/2023).
“Saya melihat, pemetaan adanya dua kelompok masyarakat yang mengkritisi putusan MK terkait batas usia,” sambungnya.
Sinyalemen adanya operasi rahasia dan penjegalan Gibran ini dibantah oleh Bivitri. Dia menegaskan bahwa desakan terhadap MKMK untuk menyatakan bahwa putusan MK pada 16 Oktober 2023 bermasalah, bukan semata karena Gibran.
“Jadi sekali lagi tujuannya bukan sekadar supaya Gibran tidak bisa menjadi cawapres, bukan itu,” tandas Bivitri di program Kompas Petang, Kompas TV, Jumat (3/11/2023).
“Tujuannya adalah, MK-nya ini sudah dirusak, dan cara berpolitik itu sudah dirusak, dan ini yang kita harus benahi,” sambungnya.
Kalaupun, kata dia, MKMK tidak mengabulkan tuntutan terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dan menyatakan bahwa putusan MK bermasalah, ia menerangkan bahwa pihaknya akan berusaha agar peristiwa semacam ini tidak terulang lagi.
“Jadi kalaupun nanti ternyata MKMK ini tidak mampu atau tidak berhasil menanggung beban sejarah untuk memperbaiki demokrasi kita, paling tidak kita akan terus-menerus mendorong supaya model berpolitik dan model memutus MK yang seperti ini tidak menjadi model yang baru,” jelasnya.
“Bayangkan bahwa putusan MK itu kalau mau diluruskan lagi harus diberikan argumentasi hukum yang baik lagi, sekarang ini sudah kepalang rusak betul,” tuturnya, getir.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu khawatir peristiwa ini akan membuat orang mengajukan gugatan ke MK terkait hal yang seharusnya dikerjakan lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga eksekutif atau pemerintah.
“Artinya, nanti ke depannya akan semakin banyak orang yang misalnya mengajukan batas usia apa pun ke MK yang seharusnya bukan tugasnya MK tapi ke DPR dan ke Pemerintah,” jelasnya.
Ia menegaskan, tujuan para pelapor dugaan pelanggaran etik hakim MK ke MKMK adalah untuk menyatakan bahwa MK harus memeriksa ulang putusannya terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Pasal tersebut melancarkan pencalonan Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka, yang notabene keponakan Ketua MK Anwar Usman, sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo Subianto.
Sebagai informasi, hanya 3 hakim konstitusi yang menyetujui gugatan Perkara No 90/PUU-XXI/2023, yaitu Anwar Usman (Ketua merangkap Anggota), M Guntur Hamzah (Anggota), dan Manahan MP Sitompul (Anggota).
Sementara itu, 2 orang Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda (concurring opinion), yaitu Enny Nurbaningsih (Anggota) dan Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota)
Empat Hakim Konstitusi tegas menolak atau menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas gugatan untuk menurunkan batas usia capres-cawapres tersebut, yaitu Wahiduddin Adams (Anggota), Saldi Isra (Anggota), Arief Hidayat (Anggota), Suhartoyo (Anggota).
Ada Masalah di Putusan MK
Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie mengaku sudah memeriksa semua hakim konstitusi yang terlibat dalam pengambilan keputusan soal batas usia capres dan cawapres.
Ya, “Seluruh pemeriksaan alhamdulillah sudah tuntas. Tinggal terakhir nanti kami periksa sekali lagi Pak Anwar Usman, Ketua MK, yang kebetulan paling banyak dilaporkan,” ujar Jimly saat diwawancarai wartawan di MK, sebelum MKMK memeriksa Ketua MK Anwar Usman, Jumat siang (3/11/2023).
“Jadi tempo hari Pak Anwar, nah sekarang yang terakhir Pak Anwar. Semua bukti sudah lengkap, baik keterangan ahli, saksi. Lagipula ini kasus tidak sulit membuktikannya,” lanjut Jimly, seraya menambahkan bahwa sudah memperoleh rekaman CCTV dan surat-menyurat.
“Kenapa ada perubahan yang kemudian ditarik kembali, ya kan, kenapa ada kisruh internal, beda pendapat kok sampai keluar, kok informasi rahasia sudah pada tahu semua, itu berarti ini membuktikan ada masalah,” kata Jimly.
“Nah, tentu ada masalah kolektif, tapi semuanya, sembilan-sembilannya ini ada masalah ini. Ada soal pembiaran, budaya kerja,” lanjut Jimly.
Jimly lantas menyinggung soal hakim MK ada sembilan orang, masing-masing itu adalah tiang bagi keadilan konstitusional, maka ia harus independen. “Boleh saling mempengaruhi antara hakim dengan akal sehat, jangan dengan akal bulus. Kalau akal bulus tuh bukan hanya politik dalam arti teknis tapi ya kasak-kusuk kepentingan itu kan akal bulus juga,” kata Jimly.
“Independensi para hakim tentu bisa kita nilai satu per satu, cuma yang paling banyak masalah ya itu yang paling banyak dilaporkan. Yang lain-lain itu ada sumbangan masing-masing terhadap kisruh ini,” ujar Jimly.
Jimly melanjutkan, “Nanti tolong dilihat di putusan yang akan kami baca, termasuk jawaban atas tuntutan supaya putusan MKMK ini ada pengaruhnya terhadap putusan MK sehingga berpengaruh terhadap pendaftaran capres”.
“Nah itu juga salah satu pertimbangan mengapa kita putuskan putusan itu kita bacakan tanggal 7 (Selasa, 7 November). Ini juga harus dikawal melalui putusan MKMK ini supaya ada kepastian yang salah harus kita bilang salah, yang benar harus kita bilang benar, dan yang jauh lebih penting adalah bagaimana tradisi negara hukum kita dan demokrasi kita terus berjalan untuk meningkat mutu dan integritasnya,” ujar Jimly.
“Nah yang selebihnya, tolong tunggu putusan biar agak dramatis dikit, biar dag-dig-dug,” ujar Jimly.
Jimly lalu ditanya wartawan, artinya yang sangat bermasalah ini terbukti bersalah? “Iyalah,” jawab Jimly.
Namun demikian, ia enggan menjawab apakah putusan MKMK ini akan membatalkan putusan MK yang mengubah batas usia capres-cawapres. “Ya itulah salah satu yang ditunggu-tunggu, jangan dijawab sekarang, dijawabnya hari Selasa, biar serulah,” ujar Jimly. (*/AN-01)