
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus bukan hanya sekadar kenangan akan institusi Ekaristi, tetapi cermin dari hubungan terdalam antara yang ilahi dan yang insani. Dalam balutan liturgi dan prosesi yang khusyuk, tersembunyi getaran komunitas yang bergerak bersama menuju kesadaran akan keberadaan yang lebih tinggi. Dalam sebutir hosti kecil, umat melihat jejak misteri yang menyatukan langit dan bumi, tubuh dan makna, individu dan komunitas.
Dalam terang sosiologi agama, perayaan ini tampil sebagai panggung tempat identitas sosial dibentuk dan diperbaharui. Mengikuti jejak Émile Durkheim, agama tidak semata-mata sistem keyakinan spiritual, tetapi juga fondasi solidaritas sosial. Prosesi Corpus Christi melintasi batas-batas rumah dan jalanan, menjadikan ruang publik sebagai saksi pengakuan iman yang kolektif—sebuah tanda bahwa iman bukan perkara pribadi yang dibisikkan dalam sunyi, melainkan seruan bersama dalam ruang sosial yang riuh.
Ritual tidak hanya menjelaskan makna, ia menciptakan dunia. Dalam kerangka pemikiran Victor Turner, prosesi ini menjadi communitas: suatu ranah liminal tempat hirarki sosial memudar, dan umat menyatu dalam kebersamaan yang tulus. Saat tubuh Kristus diarak di antara rumah-rumah, seluruh warga seolah menanggalkan atribut duniawi mereka demi sebuah pengalaman spiritual bersama yang tak terucapkan namun amat terasa.
Hari raya ini juga menjadi tempat di mana waktu profan bersinggungan dengan waktu sakral. Dalam sekejap, kota yang sehari-hari dijejali kepentingan duniawi tiba-tiba menjadi ruang suci. Jalanan yang biasanya hanya mengenal kebisingan kendaraan berubah menjadi lorong doa, tabur bunga, dan nyanyian liturgi. Di sinilah masyarakat menemukan kembali denyut spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari yang sering tergerus rutinitas.
Namun lebih dari itu, Corpus Christi juga merefleksikan kerinduan mendalam manusia akan keterhubungan. Di tengah arus sekularisasi dan rasionalitas modern yang cenderung memisahkan manusia dari pengalaman transenden, perayaan ini menjadi bentuk perlawanan yang lembut namun mengakar. Ia bukan sekadar nostalgia spiritual, tetapi penegasan bahwa dimensi sakral masih relevan dan perlu dihidupkan bersama.
Di daerah-daerah seperti Flores dan Larantuka, perayaan ini bahkan telah melebur menjadi ekspresi budaya yang khas. Generasi demi generasi merayakannya bukan hanya sebagai kewajiban iman, tetapi sebagai identitas kolektif yang diwariskan dan dirayakan. Agama di sini hidup bukan hanya dalam kitab dan doa, tetapi dalam tarian, wangi dupa, dan derap langkah umat yang berjalan bersama dalam iman yang diwujudkan.
Dari sudut pandang sosial, perayaan ini memperlihatkan bagaimana agama menjadi sarana menciptakan ikatan yang tak mudah diretas oleh perbedaan kelas, usia, atau pendidikan. Dalam satu barisan, kita menemukan pejabat dan petani, pelajar dan nenek renta—semua menyatu dalam ritus yang mempersatukan. Di sana, tubuh Kristus menjadi simbol paling kuat dari kesetaraan spiritual di tengah ketimpangan sosial yang sering merintangi.
Perayaan ini juga membuka ruang bagi refleksi: bahwa dalam setiap tindakan keagamaan, tersirat upaya menata kembali dunia. Prosesi bukan hanya mengenang, tetapi juga mengoreksi; ia menjadi kritik diam atas ketidakhadiran nilai-nilai kasih, pengampunan, dan solidaritas dalam tata sosial modern. Dalam tubuh dan darah Kristus, masyarakat diajak untuk membentuk tubuh sosial yang lebih adil, inklusif, dan penuh kasih.
Akhirnya, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus menjadi jembatan antara iman dan kehidupan, antara langit dan dunia sosial. Ia adalah panggilan untuk tidak membiarkan iman mengambang di awan, tetapi mengakarnya di tanah, di tubuh bersama yang bernama komunitas.
Dalam setiap langkah prosesi, dalam setiap kidung yang dilantunkan, umat tidak hanya mengenang Yesus, tetapi juga membangun dunia baru dalam semangat-Nya. Dan di sanalah letak keindahan terdalam perayaan ini: bahwa yang sakral tidak lari dari yang sosial, tetapi hadir di tengahnya—sebagai cahaya yang memandu dan napas yang menyatukan.(*)