Oleh: Gariel Ola
Warga Maumere, Kabupaten Sikka
Marketing tidak hanya berurusan dengan bisnis, ia merambah ke sektor politik. Bisnis butuh strategi marketing agar produk yang ditawarkan laku di pasaran. Lalu, marketing politik itu bersentuhan dengan cara seseorang (baca calon pemimpin) mencari simpati rakyat (baca pemilih) untuk memilihnya agar menjadi pemimpin. Calon pemimpin menawarkan program – janji-janji angin surga untuk membawa rakyat keluar dari kemiskinan dan sejumlah masalah akut yang melilit. Marketing dunia bisnis mempromosikan kualitas prodak, harga terjangkau dan lain-lain.
Marketing dalam dunia bisnis barang telah disiapkan oleh perusahaan yang memproduksinya. Dalam marketing politik calon pemimpin masih sebatas janji “kalau saya terpilih maka saya akan menunaikan janji-janji politik”.
Memang dalam marketing politik janji itu tak dapat dihindari. Celakanya kalau janji tak ditepati melahirkan potensi ketidakpercayaan rakyat. Dalam marketing bisnis pengusaha leluasa mempromosikan produknya kerena ia adalah pemilik sah dari perusahaan. Sedangkan marketing politik berhubungan dengan sebuah ekosistim politik yang rumit, disana ada dialektika politik, pertarungan kepentingan sehingga ketika janji janji politik atau marketing politik ditawarkan sudah mendapat simpati rakyat.
Langkah selanjutnya dari marketing politik adalah menarik komponen yang akan mendukung pemimpin untuk mewujudkan kelanjutan produk janji saat marketing politik (baca kampanye) karena proses marketing politik melibatkan berbagai kelompok kepentingan dengan peran serta kontribusi sumber daya masing-masing. Marketing bisnis produk baru biasanya kalau menurut konsumen tidak berkualitas maka produk itu tak lama akan mengurangi produksinya kerena konsumen kurang berminat lagi.
Sebagai contoh motor merk Jialing saat ini kurang beredar dipasaran mungkin kurang diminati lagi oleh para konsumen. Bila dibandingkan dengan motor merk Honda tetap eksis hingga saat ini. Jialing merk baru konsumen terpesona, ternyata cepat pudar populernya kerena kualitas kurang meyakinkan ketika dibandingkan dengan merk lainya (baca merk merk lama).
Dalam marketing politik agar prodak yang ditawarkan dan dijual akan diterima konsumen maka perjual produk mesti awalnya menyiapkan menu, sumber daya yang memadai, terukur, terencana untuk selanjutnya menawarkan kepada sejumlah perusahaan ( baca lembaga) untuk bersama berproses dalam menghasilkan sebuah produk yang berkualitas. Kalau penyedia bahan yang akan memproduksi sebuah produk kurang siap, teristimewa kurang mampu untuk berkolaborasi dengan mitra maka produk yang akan dihasilkan kurang berkualitas, maka para konsumen tidak merasakan produk yang baik yang sepadan dengan janji janji surga. Konsekwensinya konsumen akan mencari produk baru. Mereka bergumam dalam hati, ternyata Jialing pruduk baru tapi kurang kualitas maka kita kembali ke Honda merk lama, atau merk lainya yang lebih berkualitas.
Hindari kecendrungan “yang penting”
Dalam marketing bisnis, pengusaha berupaya produknya laku, agar memperoleh .keuntungan, mereka berupaya sedemikian rupa seperti corting dan lain sebagainya. Memang upaya ini penting asal tetap menjaga kualitas produk, bukan menargetkan untung dengan mengorbankan kepercayaan konsumen terhadap produk. Jangan berprinsip yang penting untung tetapi efeknya konsumen kecewa karena kualitas barang kurang baik. Ingat konsumen akan tetap ingat perusahaan mana yang memproduksi barang yang tidak berkualitas. Kondisi ini mengakibatkan lemahnya kepercayaan terhadap perusahaan.
Dalam proses politik telah memposisikan seseorang dalam kekuasaan, marketing politiknya telah “membius” konsumen untuk memilihnya. Dan tibalah saatnya sang penguasa menunaikan produk yang dijanjikan. Ketika dialektika politik yang begitu tajam mengakibatkan barang yang mau diproduksi batal diproduksi maka konsumen yang telah dijanjikan kecewa lalu produsen mengatakan terserah mau dapat atau tidak, bagi saya sudah perupaya tapi kondisi eksternal kurang mendukung.
Bagi saya “yang penting” sudah berupaya tapi kondisinya demikian, terserah. Ini yang celaka buat perusahaan. Apalagi konsumen. Itulah marketing politik, gampang-gampang susah. Kalau marketing bisnis orientasi keuntungan perusahaan. Marketing politik orientasi kekuasaan. Keuntungan marketing bisnis terbatas pada pemilik perusahaan, sementara marketing politik keuntungannya lebih pada rakyat. Maka ketika orientasi marketing politik disamakan dengan marketing bisnis maka hancurlah kita. Hati hati nanti konsumen marah. (*)