(Arti Simbol API, KATA-KATA, AIR, DAN MAKAN)
Oleh: 𝙍𝙤𝙗𝙚𝙧𝙩 𝘽𝙖𝙡𝙖
𝙋𝙚𝙣𝙪𝙡𝙞𝙨 𝙗𝙪𝙠𝙪 𝙃𝙊𝙈𝙄𝙇𝙄 𝙔𝘼𝙉𝙂 𝙈𝙀𝙈𝙄𝙆𝘼𝙏. 𝙋𝙚𝙣𝙚𝙧𝙗𝙞𝙩 𝙇𝙚𝙙𝙖𝙡𝙚𝙧𝙤 𝙈𝙖𝙧𝙚𝙩 2024
Saya bersyukur pernah punya guru. Ia seorang profesor, pakar tentunya, liturgi. Namanya 𝐏𝐫𝐨𝐟 𝐉𝐞𝐬𝐮𝐬 𝐁𝐮𝐫𝐠𝐚𝐥𝐞𝐭𝐚.
Pikirannya cemerlang dan brilian. Kadang terlalu majunya sehingga dapat peringatan agar bisa kontrol lagi kebebasannya berbicara. Tetapi ia tetap ‘nakal’. Kata dia, kalau seorang dosen dilarang berbicara apalagi menerbitkan buku gerejani terus apa yang bisa ia buat? Berbicara dan menulis adalah satu²nya kekuatan seorang profesor.
Hal menarik dari Burgaleta yang membuat saya kagum dan boleh dibilang terpesona dengannya adalah kata-katanya nya yang begitu kuat tentang liturgi. Ia bilang begini: kalau mau buat orang paham liturgi maka jelaskan semanusiawi mungkin. Buatlah umat paham dengan kata-kata dan contoh yang manusiawi tanpa membungkus dengan hal yang jauh dari praktik hidupnya.
Contoh sederhana kalau bilang altar itu tempat suci dan tidak boleh pakai sandal dan hanya boleh dengan kaki kosong maka sebenarnya yang diajarkan tentang kebersihan. (Memang pada masa lalu lebih mudah mengatakan bahwa tempat itu sakral dan tidak boleh sembarangan diinjak). Tetapi pesan yang paling kuat adalah menjaga kebersihan.
Ada hal menarik lagi. Sang profesor lulusan Prancis itu tidak.kikir beri nilai. Dia minta mahasiswa tulis sendiri mau nilai berapa sesuka-sukanya. Kalau nilai yang diminta misalnya 100 meski sebenarnya kualitasnya 80, ia tidak akan turunkan. Tapi kalau tulis nilai 80 tetapi kualitasnya 100, ia akan naikkan. (Saya bersyukur termasuk kategori kedua ini).
𝘚𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘥𝘦𝘥𝘪𝘬𝘢𝘴𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘤𝘰𝘣𝘢 𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢𝘸𝘪 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘈𝘱𝘪, 𝘚𝘢𝘣𝘢, 𝘈𝘪𝘳, 𝘥𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘗𝘢𝘴𝘬𝘢𝘩.
Begini kira-kira.
Berada di negara subtropis seperti Indonesia, kita tidak bisa merasakan perbedaan mencolok antara cuaca panas dan dingin. Meski kadang ‘panas amat’ (ukuran kita) tetapi tidak sepanas dan sedingin seperti di Eropa. 𝐾𝘢𝑙𝘢𝑢 𝑝𝘢𝑛𝘢𝑠 𝑦𝘢 𝘱𝑢𝘢𝑛𝘢𝑠𝘴𝑠 𝑎𝘮𝑎𝘵 𝘥𝑎𝘯 𝘬𝑎𝘭𝑎𝘶 𝘥𝑖𝘯𝑔𝘪𝑛 𝑦𝘢 𝘮𝑖𝘯𝑡𝘢 𝘢𝑚𝘱𝑢𝘯). 𝘐𝑡𝘶 𝘬𝑖𝘳𝑎𝘯𝑦𝘢 𝘤𝑢𝘬𝑢𝘱 𝘮𝑒𝘯𝑗𝘦𝑙𝘢𝑠𝘬𝑎𝘯. 𝑃𝘰𝑘𝘰𝑘𝘯𝑦𝘢 𝘵i𝑑a𝘬 𝘴𝑒𝘱𝑒𝘳𝑡𝘪 𝘺𝑎𝘯𝑔 𝑡𝘦𝑟𝘫𝑎𝘥𝑖 𝑑𝘪 𝘴𝑖𝘯𝑖.
Khusus saat musim dingin, kebutuhan api untuk menghangatkan tubuh sangat besar. Meski sudah ada pemanas ruangan dan baju pembungkus tubuh berlapis-lapis, masih saja ada yang kurang. Semuanya akan menjadi lengkap kalau berdiang dekat api.
Dan kalau butuh api, maka semua penghuni keluarga akan menuju ke satu tempat di mana ada tempat 𝘱𝑒𝘳𝑎𝘱𝑖𝘢𝑛 (𝘧𝑖𝘳𝑒𝘱𝑙𝘢𝑐𝘦). 𝘖𝑟𝘢𝑛𝘨 𝘚𝑝𝘢𝑛𝘺𝑜𝘭 𝘮𝑒𝘯𝑦𝘦𝑏𝘶𝑡𝘯𝑦𝘢 𝘤ℎ𝘪𝑚𝘦𝑛𝘦𝑎
Bisa terbayang kalau ada konflik dalam rumah tangga yang menyebabkan suami dan istri berjauhan. Semua merasa nyaman untuk mengurus diri untuk sebuah periode. Tetapi sangat sulit di musim dingin seperti ini. Semua penghuni terpaksa harus berkumpul untuk mendapatkan kehangatan dari api. Di situlah terpaksa harus bertemu.
Itulah yang bisa jadi penjelasan, mengapa 𝙡𝒊𝙩𝒖𝙧𝒈𝙞 𝑴𝙖𝒍𝙖𝒎 𝑷𝘼𝑺𝙆𝑨𝙃 𝙠𝒊𝙩𝒂 𝒂𝙬𝒂𝙡𝒊 𝒅𝙚𝒏𝙜𝒂𝙣 𝙡𝒊𝙩𝒖𝙧𝒈𝙞 𝙖𝒑𝙞. Ia tanda bahwa ada kegelapan, keretakan, konflik yang terjadi. Setiap orang hanya melihat orang lain dalam kegelapan dan tidak menangkap wajah yang sebenarnya.
Kembali ke perapian tempat di mana kita terpaksa bertemu karena sama² duduk mendekati chimenea.
Kalau sudah begini tentu harus saling memandang. Tadinya malu² lalu semakin lama hingga akhirnya keluarlah kata². Awalnya semua masih jual mahal tetapi akhirnya dialog terjadi. Kemudian.akan ada dialog, keterbukaan, saling berbicara dan mengingatkan.
‘Omon-omon’, dialog, bicara dan saling mendengarkan inilah yang terjadi dalam Liturgi SABDA
𝙋𝙖𝙙𝙖 𝙢𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙋𝙖𝙨𝙠𝙖𝙝, 𝙡𝙞𝙩𝙪𝙧𝙜𝙞 𝙨𝙖𝙗𝙙𝙖 𝙞𝙣𝙞 𝙗𝙖𝙘𝙖𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙪𝙖𝙖𝙖𝙖𝙣𝙮𝙖𝙠 𝙖𝙢𝙖𝙩 𝙢𝙪𝙡𝙖𝙞 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙆𝙚𝙟𝙖𝙙𝙞𝙖𝙣, 𝙆𝙚𝙡𝙪𝙖𝙧𝙖𝙣…. 𝙙𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙩𝙚𝙧𝙪s𝙣𝙮𝙖. Ada 7 bacaan Perjanjian Lama (biasanya sih bisa dikurangi tetapi patokannya itu 7 bacaan. Yang wajib dibaca itu Keluaran karena merupakan Paskah Pertama. Masih ditambah sebagai puncak, epistola dan Injil.
Panjang amat.. Ya. Karena kita mau diingatkan begitu 𝒄𝙤𝒎𝙥𝒍𝙞𝒄𝙖𝒕𝙚𝒅nya hidup kita. Tetapi yang jauh lebih besar kasih Allah. Kita mau diingatkan bhw meski berdosa, bersalah, ingkar janji, tetapi DIA Itu SETIA.
Lalu sesudah dengar semuanya, apa yang terjadi? Kita (maksudnya saya) sadar betapa kotornya kehidupan saya. Dosa, ketidaksetiaan, kesombongan itu seperti kekotoran dalam diriku.
T𝑒r𝑢s? 𝐾a𝑙a𝑢 𝑘o𝑡o𝑟, b𝑎u, 𝑦a m𝑎n𝑑i𝑙aℎ… i𝑡u𝑙aℎ 𝐿i𝑡u𝑟g𝑖 𝐵a𝑝t𝑖s d𝑖 𝑀a𝑙a𝑚.𝑃a𝑠k𝑎h. 𝑘i𝑡a b𝑢t𝑢h a𝑖r u𝑛t𝑢k m𝑒m𝑏e𝑟s𝑖h𝑘a𝑛 𝑦a𝑛g k𝑜t𝑜r.
Tapi ingat, sebelum dibaptis, jangan sampai lupa sampaikan komitmen utk percaya pada penyelenggaraan ilahi (providentia Dei) pada bimbingan Tuhan. Itulah ungkapan kepercayaan.
Lalu apa puncak dari semuanya? Kalau kita sudah bersahabat kembali, sudah paham dengan keadaan kita (disadarkan lewat bacaan) maka 𝙩𝙞𝙗𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙖𝙖𝙩𝙣𝙮𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙧𝙖𝙮𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙜𝙚𝙢𝙗𝙞𝙧𝙖. 𝙋𝙪𝙣𝙘𝙖𝙠 𝙠𝙚𝙜𝙚𝙢𝙗𝙞𝙧𝙖𝙖𝙣 𝙞𝙩𝙪 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙚𝙠𝙖𝙧𝙞𝙨𝙩𝙞. 𝙄𝙩𝙪𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙪𝙣𝙘𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙥𝙚𝙧𝙖𝙮𝙖𝙖𝙣 𝙋𝙖𝙨𝙠𝙖𝙝.
Itulah liturgi kita yang begitu kaya. Bersyukur punya gereja dengan kekayaan liturgi seperti ini meski kadang penjelasannya terlalu tinggi. Gracias Burgaleta, Y𝙤 𝙩𝒆 𝒒𝙪𝒊𝙚𝒓𝙤, 𝒎𝙞 𝘼𝒎𝙞𝒈𝙤 𝙮 𝙢𝒂𝙚𝒔𝙩𝒓𝙤 (𝑻𝙚𝒓𝙞𝒎𝙖 𝙠𝒂𝙨𝒊𝙝 𝘽𝒖𝙧𝒈𝙖𝒍𝙚𝒕𝙖, 𝒔𝙖𝒚𝙖 𝙘𝒊𝙣𝒕𝙖 𝙠𝒂𝙢𝒖, 𝙠𝒂𝙬𝒂𝙣 𝙙𝒂𝙣 𝙜𝒖𝙧𝒖𝙠𝒖).***