Aksinews.id/Larantuka – Pemkab Flores Timur masih belum ‘buang handuk’ terkait dana klaim jasa pelayanan RSUD dr. Hendrikus Fernandez Larantuka sebesar 40% dari kucuran dana Kemenkes RI senilai Rp 14,1 miliar, atau sebanyak Rp. 5,6 miliar. Selain alasan kehati-hatian, Pemkab juga harus memverifikasi dokumen yang diajukan pihak rumah sakit.
“Jadi sikap pemerintah dan DPRD itu, prinsipnya bukan mengabaikan, tetapi ada hak Nakes dengan dibuktikan administrasi maka itu diajukan. Itu mekanismenya tetap berjalan, dan saat ini belum selesai. Kalau setelah perubahan anggaran, data itu klir, maka akan dibahas di APBD 2023,” ungkap Pelaksana Tugas (PLT) Sekda Flores Timur, Drs. Petrus Pedo Maran, MSi kepada wartawan di ruang kerjanya, Jumat (11/11/2022) menanggapi aksi beruntun terkait hak Nakes senilai Rp 5,6 miliar yang tidak dibayar Pemkab Flores Timur ini.
Asal tahu saja, Nakes RSUD dr. Hendrikus Fernandez Larantuka sudah memperjuangkan haknya ini berkali-kali. Padahal, dana itu awalnya ditransfer langsung dari Kemenkes RI ke rekening rumah sakit. Dimana, dana itu merupakan klaim rumah sakit melalui BPJS. Hasil verifikasi, klaim bulan Februari 2021 tidak dibayarkan karena pihak rumah sakit terlambat mengajukannya.
Sehingga kucuran dana sebesar Rp 14,1 miliar itu hanya untuk 11 bulan sejak Januari sampai Desember 2021. Akan tetapi, dananya baru dikucurkan pada bulan April 2022. Sehingga tidak muncul dalam APBD murni tahun anggaran 2022.
Uniknya, setelah uangnya masuk ke rekening rumah sakit, pejabat Pemkab malah “memaksa” pihak rumah sakit menyetorkan keseluruhan uang tersebut ke kas daerah sebagai pendapatan lain-lain yang sah dari rumah sakit. Padahal, Perda Flores Timur menetapkan dana klaim BPJS dikembalikan kepada pihak Nakes sebesar 40% dari total dana yang dibayarkan. Artinya, harus dipotong Rp 5,6 miliar sebagai hak Nakes.
Nah, dalam pembahasan APBD Perubahan Tahun Anggaran 2022, pihak Pemkab dan DPRD Flores Timur malah berseberang jalan. Nakes yang meminta dukungan Komisi C DPRD Flores Timur pun tidak membuahkan hasil. APBD Perubahan ditetapkan dengan sama sekali tidak mengakomodir jasa pelayanan Nakes. Sempat muncul wacana untuk dicicilkan Rp 1 miliar pun raib. Tidak muncul dalam APBD Perubahan.
Ujungnya, 500 orang Nakes RSUD dr. Hendrikus Fernandez Larantuka menggelar aksi 1000 lilin di pelataran rumah sakit pada tanggal 3 November 2022 malam. Aksi ini mengundang simpati yang luar biasa. Lembaga Komando Pemberantasan Korupsi (LKPK) langsung melakukan public hearing dengan gabungan Komisi DPRD Flores Timur, tanggal 9 November lalu.
Menyusul LKPK, GERTAK pun melancarkan aksi unjukrasa. Tuntutannya, sama, minta Pemkab Flores Timur segera membayar hak Nakes sebanyak Rp5,6 miliar. Bagaimana tanggapan Pemkab?
Ini penjelasan PLT Sekda Flores Timur, Petrus Pedo Maran, yang disajikan secara utuh:
Harus menggunakan asas kehati-hatian. Karena kehati-hatian itulah maka dinamika itu terjadi. Ketika kami mengajukan perubahan di DPRD dibahas sampai pada penetapan atau pelaksanaan.
Soal Hak Nakes, dari aspek proses. Karena ini muncul di tengah tahun 2022 maka ruang perubahan anggaran itu kita gunakan untuk memangkukan di dalam APBD. Nah, ketika rancangan perubahan anggaran APBD dinamika terjadi. Pemerintah Provinsi wajib mengevaluasi APBD murni sehingga pembahasan sudah sampai kata akhir, ruang evaluasi provinsi itu yang digunakan.
Perbedaan pandangan dalam dinamika APBD perubahan itu, menurut bahasa kami, antara pemerintah dan DPRD harus dicarikan wasitnya. Karena ini dua lembaga dengan pandangan kebenarannya masing-masing.
Karena mekanisme perubahan anggaran murni itu evaluasi di provinsi sebagai wakil pemerintah pusat maka wasitnya kita gunakan pada ruang evaluasi pemerintah provinsi. Maka setelah evaluasi keluarlah SK Gubernur, maka keluarlah asas kepatuhan, baik pemerintah maupun DPRD. Jadilah proses itu sampai pada penetapan APBD perubahan.
Terkait hak Nakes, baik pemerintah dan DPRD, sikapnya adalah sekiranya ada hak-hak Nakes yang harus diselesaikan secara teknis. Dan, itu teman-teman administrasi. Ada ketentuan-ketentuan yang diwajibkan akan dibayar, maka itu harus ada dokumen pendukung. Dilakukan secara verifalid, direview oleh hakim/inspektorat. Kalau sudah klir, maka diakui sebagai hak yang harus kita bayar.
Jadi sikap pemerintah dan DPRD itu, prinsipnya bukan mengabaikan, tetapi ada hak Nakes dengan dibuktikan administrasi maka itu diajukan. Itu mekanismenya tetap berjalan, dan saat ini belum selesai. Kalau setelah perubahan anggaran, data itu klir, maka akan dibahas di APBD 2023.
Soal substansi. Kita semua boleh menafsirkan kebenaran. Tetapi pemerintah menggunakan kepatuhan. Ketika lembaga mana pun berbeda pandangan maka harus ada lembaga kompeten yang lebih tinggi yang menilai. Atau lembaga mana pun bisa menyurati gubernur. Kalau SK gubernur itu ditinjau kembali kita akan patuh. Soal substansi siapa saja bisa berpendapat. Tetapi ketika kita berbeda. Siapa saja yang menilai. (AN-02/AN-01)
Soal administrasi jelas rumah sakit punya bukti,ada padien covid yg dirawat, ada bukti pengajuan klaim, ada bukti pembayaran klaim, tanggal masuk dan plg pasien, surat keterangan kematian pasien, yg pafa dasarnya semua sdh diperiksa, namun bgmna bisa tim dr inspektorat yg dtg di rs cuma bisa atau mampuh meminta dlm bentuk soft data, sekali sekali bongkar data record pasien biar tau seberapa susahnya mengisi data pelayanan 1 pasien, , jgn cuma bicara omong kosong seenak maunya krna ada jabatan..semoga cepat mati biar beban flores timur berkurang…