Aksinews.id/Larantuka – Ini sudah buka-bukaan. Ketua Komisi C DPRD Flores Timur, Ignas Uran bicara blak-blakan soal dana Rp 5,6 miliar yang menjadi hak Nakes RSUD dr. Hendrikus Fernandez Larantuka yang tidak muncul dalam APBD Perubahan Tahun Anggaran 2022. Menurut dia, sejak awal Pemkab Flores Timur memang tidak mengakui bahwa Nakes berhak atas dana Rp 14,1 miliar.
Hal itu diungkapkan Ignas Uran ketika menemui perwakilan GERTAK yang melancarkan aksi unjukrasa di gedung DPRD Flores Timur, Jumat (11/11/2022). Ignas Uran ditemani anggota Dewan dari PAN, Rofin Kabelen.
Pertemuan GERTAK dan perwakilan Komisi C DPRD Flores Timur itu dijaga anggota Polres Flores Timur dan Polisi Pamong Praja. Pertemuan berlangsung cukup lancer. Kedua anggota Dewan itu menjelaskan secara terbuka mengenai dana yang harusnya menjadi hak Nakes rumah sakit.
“Kami bersikukuh namanya hak nakes tetap dibayar. Kita tetap pada prinsip bahwa secara kelembagaan bahwa lembaga akan sesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Tentu, bagaimana kita cari uang yang terbaik agar tidak mengorbankan pihak lain,” ujar Rofin Kabelen, SH.
“Kita tidak akan tinggal diam. Lembaga DPRD agar sebisa mungkin untuk diagendakan agar dibicarakan agar hak-hak masyarakat tetap diperhatikan. Persoalan ini mesti kita selesaikan. Kami sementara cari pintu mana yang mesti kita pakai untuk perda APBD tahun 2022,” tandasnya.
Penjelasan lengkap Ignas Uran, Ketua Komisi C DPRD Flores Timur, yang berasal dari Fraksi Partai Golkar, disajikan secara lengkap berikut ini :
Saya tipikal yang bicara tentang fakta. Pemberitaan di luar, baik wartawan maupun non wartawan yang meliput pembahasan terkait jasa nakes mulai dari tingkat komisi sampai pada tingkat banggar.
Jadi cara pandang di luar itu persepsi semua pak, tidak benar. Jadi sekali lagi kita ingin peran kontrol masyarakat tapi rasionalitas dalam mengevaluasi pejabat itu penting.
Sejak awal pemerintah daerah Flores Timur tidak mengakui jasa dalam transferan pemerintah pusat Rp 14,1 Miliar. Meskipun rumah sakit dengan pendasaran PMK, sudah mengajukan hak mereka 40 prosen sesuai Perda nomor: 11 tahun 2012. Dengan nomenklatur yang sama tahun 2020, pemerintah daerah sudah membayar Rp 1,1 Miliar.
Karena itu, argumentasi yang dibangun oleh pemerintah daerah itu argumentasi tanpa dasar. Catat itu. Penjelasan rasional yang tidak masuk akal.
Tahun 2021, tidak mereka akui hak nakes, pertanyaan kita atas dasar apa anda membayar di tahun 2022. Jadi kami berbeda cara pandang secara signifikan mulai dari komisi-komisi.
Berdasarkan rapat komisi, kami berkesimpulan berdasarkan kesepakatan rumah sakit bahwa rumah sakit mempunyai hak sebesar 40 prosen. Kita bahwa ke pandangan umum fraksi-fraksi. Dalam pandangan umum fraksi-fraksi itu jelas keenam fraksi menyatakan sikap bahwa rumah sakit memiliki hak 40 prosen dalam Rp 14,1 Miliar. Lalu kita lanjut ke pembahasan banggar. Tidak semua anggota DPRD, kami sekitar 13 orang dengan tiga pimpinan.
Di dalam pembahasan, DPRD bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah, kita tetap berbeda pandangan. Pemerintah tetap konsisten tidak mengakui, kami tetap konsisten mengakui. Lalu kalau kebijakan sudah ditentukan, kenapa anggaran tidak dipanggukan? Kebijakan itu tidak akan kita tentukan, selagi masih ada perbedaan persepsi terkait kebijakan. Cara pandang kita yang berbeda. Kenapa anggaran tahun 2022 dipagukan? Jangan membangun opini yang salah pak. Jangan membangun opini publik yang keliru.
Itu hanya bisa terjadi karena pemerintah kabupaten Flores Timur tetap tidak mengakui hak tenaga kesehatan. Jelas itu kesalahan pemerintah daerah. Uang Rp 14,1 Miliar sudah bagi ke semua OPD. Pemerintah berargumentasi bahwa uang itu sudah dibagi dan tidak bisa ditarik kembali. Itu bukan soal.
Karena tidak diakui, maka kita beri solusi meminta rumah sakit untuk meningkatkan tambahan pendapatan. Karena uang sudah habis. Kami bawa evaluasi ke provinsi. Di sana pemerintah sudah lain. Konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri bilang rumah sakit sudah punya gaji banyak tunjangan banyak.
Jadi objektivitas pendasaran dari pemerintah itu tidak ada. Kita berharap forum ini terbuka, siapa itu DPRD dan siapa itu pemerintah. Pemerintah menjelaskan dalam konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri, padahal hal ini urusan Kementerian Kesehatan.
Kita pulang dari Provinsi (Kupang) penyempurnaan APBD, Rumah Sakit yang dulu optimistik bisa meningkatkan pendapatan Rp 2,4 Miliar berubah menjadi pesimis. Karena hak mereka tidak diakui oleh pemerintah daerah. Tidak mungkin you peras mereka tanpa hak. Dalam Rp 14,1 tidak ada hak. Rp 2,4 juga tidak ada hak. Kerja maksimal saja tidak punya hak, buat apa.
Hanya orang bodoh saja yang mau memaksa kinerja rumah sakit. Yang berubah bukan rumah sakit tetapi kebijakan pemerintah daerah.
Sikap lembaga DPRD sangat jelas, tetapi eksekusi itu kewenangan pemerintah daerah. Sampai dengan saat ini pemerintah tetap berpegang dengan yang ada. Saya harap preasure publik lebih besar lagi.(AN-02/AN-01)