Aksinews.id/Jakarta – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui tidak memenuhi permintaan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan penunjukan penjabat kepala daerah. Pasalnya, ia menilai MK hanya meminta agar ada aturan turunan untuk para penjabat kepala daerah akibat pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
Ya, “MK dalam pertimbangannya hanya meminta pemerintah mempertimbangkan dan memberi perhatian untuk membuat PP (Peraturan Pemerintah-Red) tentang penunjukan PJ (penjabat-red) yang sesuai dengan semangat demokrasi transparansi. Itu bahasanya. Bukan mewajibkan,” kata Tito usai Rapat Pleno DBON di Istana Wapres, Kamis (12/5/2022), sebagaimana dikutip dari Medcom.id.
Mendagri berpandangan bahwa kebijakan penunjukkan penjabat kepala daerah merupakan diskresi pemerintah. Dan, menurutnya, aturan-aturan mengenai penunjukan penjabat sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Apalagi, MK hanya menyebutkan mempertimbangkan.
Artinya, “Boleh membuat, boleh juga tidak. Nah pemerintah beranggapan, aturan-aturan mengenai penunjukan penjabat itu sudah ada,” tandasnya.
Selain itu, para penjabat ini hanya mengisi posisi kepala daerah selama setahun. Setelah itu, pemerintah akan memutuskan apakah diperpanjang atau tidak.
“Tergantung hasil evaluasi dan per tiga bulan sekali mereka harus membuat laporan pertanggungjawaban gubernur kepada presiden melalui Mendagri, bupati/walikota kepada Mendagri melalui gubernur,” jelas dia.
Tito mengajak DPR dan masyarakat untuk mengawasi kinerja para penjabat kepala daerah ini.
Sementara itu, Anggota Dewan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyayangkan pernyataan Mendagri yang menyebutkan permintaan MK bukan sesuatu yang wajib. Seharusnya, kata Titi, pertimbangan MK harus dibaca menyeluruh satu kesatuan dengan amar putusan.
“Tidak bisa secara parsial seperti itu,” kata Titi ketika dihubungi, Rabu, 11 Mei 2022.
Menurut Titi, MK menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan ‘secara demokratis’ sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Makanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Dengan adanya adanya aturan pemerintah akan tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel,” jelas Titi. (*/AN-01)