Kupang – Kajati NTT Yulianto sepertinya memang sudah berniat untuk tidak menindaklanjuti secara sungguh-sungguh substansi Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kupang dalam amar Putusan Nomor 31/Pid. Sus-TPK/2020/PN Kpg tanggal 20 November 2020 atas nama terdakwa Didakus Leba dalam kasus korupsi Pemberian Fasilitas Kredit Modal Kerja pada Bank NTT Cabang Surabaya yang merugikan negara senilai Rp 127 miliar.
Bagaimana tidak? Advokat Peradi yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Wilayah NTT, Meridian Dewanta Dado, SH menjelaskan bahwa halaman 545 amar putusan itu berisi pertimbangan hukum majelis hakim. “Menimbang, bahwa Saksi Benny R. Pellu selaku Kepala Divisi Pemasaran Kredit dan Saksi Absalom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit sebagai pejabat pemutus terhadap permohonan kredit PT. Indoport Utama/Ilham Nurdiyanto, PT. Mulia Badja Karya Bersama/Lo Mei Lien, CV. Makmur Berkar Jaya/Willyan Kodrata, CV. Luis Panen Berkat/Siswanto Kodrata, CV. Titan Cellular/Rudi Lim, CV. MM Linen Indonesia/Yohanes Ronald Sulayman dan UD. Makmur Jaya Prima/Muhammad Ruslan telah mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudential banking) tanpa menganalisa lagi secara mendalam terhadap kelayakan pemberian kredit dan memastikan kebenaran serta kecukupan nilai agunan kredit yang diusulkan atau direkomendasikan oleh PT. Bank NTT Cabang Surabaya tetapi justru menyetujui dan memberikan Surat Persetujuan Kredit”.
“Menimbang, bahwa Saksi Benny R. Pellu selaku Kepala Divisi Pemasaran Kredit dan Saksi Absalom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit PT. Bank NTT Kantor Pusat memiliki kewenangan untuk menolak terhadap permohonan kredit yang diusulkan atau direkomendasikan oleh PT. Bank NTT Cabang Surabaya, tetapi hal tersebut tidak pernah dilakukan, sehingga Saksi Benny R. Pellu dan Saksi Absalom Sine sudah seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap penyimpangan yang terjadi dalam pemberian kredit kepada 7 (debitur) di PT. Bank NTT Cabang Surabaya tersebut”.
“Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kupang dalam Putusan Nomor 31/Pid. Sus-TPK/2020/PN Kpg tertanggal 20 November 2020 atas nama terdakwa Didakus Leba pada halaman 545 putusan mengurai peran dan tanggungjawab hukum Absalom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit dan Benny R. Pellu selaku Kepala Divisi Pemasaran Kredit PT. Bank NTT Kantor Pusat itu, adalah sama dan serupa dengan Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1114K/Pid/2006 tertanggal 13 September 2007 yang menghukum mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe serta Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M. Sholeh Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan dalam kasus pengucuran kredit senilai Rp 160 miliar ke PT. Cipta Graha Nusantara.
Mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe serta 2 (dua) direktur itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung RI pada tahun 2005, selanjutnya ketiganya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan diputus bebas pada bulan Februari 2006. Lalu Kejaksaan Agung RI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI, dimana Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung RI dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1114K/Pid/2006 tertanggal 13 September 2007 yang menghukum E.C.W. Neloe cs itu menegaskan bahwa ketiganya selaku pemutus kredit tidak bertindak hati-hati, tidak jujur, dan tidak cermat dalam memutus pemberian kredit kepada PT. Cipta Graha Nusantara senilai Rp 160 miliar”, papar Meridian Dewanta Dado.
E.C.W. Neloe cs selaku para Direksi Bank Mandiri merupakan orang yang dipercaya pemegang saham untuk melakukan pengurusan Bank Mandiri dengan itikad baik dan hati-hati, justru telah bertindak sembrono dan tidak jujur. Padahal selaku professional, seharusnya E.C.W. Neloe cs sudah mengetahui dan patut harus menduga bahwa perbuatannya dalam pemberian kredit pada PT. Cipta Graha Nusantara senilai Rp 160 miliar wajib memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan ketentuan khusus PT. Bank Mandiri.
“Pemidanaan terhadap mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe serta Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M. Sholeh Tasripan, dan beberapa kasus yang mirip lainnya di negeri ini adalah bukti kesungguhan, kesigapan dan komitmen serius institusi Kejaksaan Agung RI dan segenap jajarannya untuk menerapkan instrumen hukum pidana melalui Undang-Undang Pemberantasan Tindak Piana Korupsi dalam kasus Kredit Macet Perbankan. Oleh karena itu sungguh aneh bin ajaib bila dalam kasus korupsi Pemberian Fasilitas Kredit Modal Kerja Pada Bank NTT Cabang Surabaya, Kajati NTT Yulianto justru tidak juga segera menggelar proses penyidikan terhadap Absalom Sine dan Benny R. Pellu serta pihak-pihak lainnya antara lain yaitu Notaris/PPAT atas nama Erwin Kurniawan dan Maria Baroroh, padahal segenap alat bukti sudah memenuhi syarat bagi Kajati NTT Yulianto untuk menetapkan pihak-pihak tersebut sebagai tersangka”, tandas Meridian Dewanta Dado.
Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 31/Pid.Sus-TPK/2020/PN Kpg tertanggal 20 November 2020 atas nama terdakwa Didakus Leba, menurut dia, seharusnya menjadi dasar pijak bagi Kajati NTT Yulianto untuk mengembangkan proses penyidikan dalam kasus korupsi Pemberian Fasilitas Kredit Modal Kerja Pada Bank NTT Cabang Surabaya demi mengungkap siapakah pelaku yang sesungguhnya atau aktor intelektualnya. Sehingga yang jadi pesakitan dalam perkara tersebut tidak hanya pimpinan Bank NTT Kantor Cabang Surabaya Didakus Leba cs dan para debiturnya Muhammad Ruslan cs yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Kupang dengan vonis hukuman penjara bervariasi dari 10 tahun sampai yang terberat 18 tahun.
“Diantara nama-nama pihak yang belum juga dilakukan penyidikan oleh Kajati NTT Yulianto tersebut, maka nama Absalom Sine diketahui merupakan suami dari Jaksa Henderina Malo yang memegang jabatan penting sebagai salah satu koordinator di Kejaksaan Tinggi NTT, sehingga publik sangat patut mencurigai bahwa mandeknya proses penyidikan terhadap Absalom Sine cs diduga kuat karena keberadaan Jaksa Henderina Malo di dalam institusi Kejaksaan Tinggi NTT tersebut, padahal bila sekiranya Kajati NTT Yulianto berambisi menjadi Jaksa Agung RI atau setidak-tidaknya bermimpi menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, maka seharusnya dia bersemangat dan tidak loyo untuk segera menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan menetapkan Absalom Sine cs selaku tersangka dalam kasus korupsi Pemberian Fasilitas Kredit Modal Kerja Pada Bank NTT Cabang Surabaya,” ungkap Meridian Dewanta Dado.
Pada sisi lainnya, sambung dia, publik heran dan terkesima menyaksikan sepak terjang Kajati NTT Yulianto yang justru sangat bersemangat dan begitu ngotot dalam menetapkan dan melakukan penahanan terhadap Advokat Ali Antonius selaku tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi. Ali Antonius disangka telah dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi, serta dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dalam kasus dugaan korupsi Pengelolaan Aset Tanah Pemda Kabupaten Manggarai Barat seluas 30 hektare (ha) di Kerangan/Toro Lema Batu Kallo, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, yang merugikan negara senilai Rp.1,3 triliun.
“Padahal berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang Pengadilan”, tandas Meridian Dewanta Dado, dalam press release yang diterima aksinews.id, Sabtu (20/2/2021).(*/fre)