Oleh: Robert Bala
Seorang Murid Pater Kirchberger
Berita wafatnya Pater George Kirchberger, SVD cukup mengejutkan. Hari ini pkl 19.44 (Senin 5 Juni 2023) sang teolog itu pergi. Artinya hanya setahun setelah meninggalnya Pater John Prior, SVD yang meninggal 2 Juli 2022. Artinya, dalam waktu yang relatif singkat, dua misionaris ‘pengganggu’ itu telah pergi.
Tentang Kirch, saat masuk di Ledalero saya merasa ‘aneh’ dengan tindakannya. Saat itu, Ledalero menjadi simbol keunggulan dan kelebihan serta mungkin juga kesombongan intelektual. Kirch memilih meminggir. Yang dia lakukan justru tinggal bersama mahasiswa ‘ekstern’, istilah mereka yang telah menanggalkan jubah tetapi masih mau menyelesaikan sarjananya di Ledalero.
Dengan tinggal di Wisma Agustinus, Kirch seakan menertawakan keangkuhan Ledalero yang tinggal bak dalam Menara Gading. Padahal di antara mereka ada kaum ‘anawim’ orang kecil yaitu mahasiswa yang karena tidak jadi frater lagi menjadi seperti kelompok pinggiran.
Kirch memilih tinggal dengan mereka yang tentu hidupnya serba kekurangan dan membantu sebisanya. Pasalnya, meski kuliah tidak terlalu mahal, tetapi para mahasiswa ekstern itu tentu menanggung banyak biaya. Sewaktu masih menjadi frater banyak memperoleh ‘rantangan’ (alias dukungan) tetapi setelah itu banyak ‘rintangan’.
Di situlah Kirch tidak saja menghibur tetapi tinggal bersama mereka. Ia turun dari ‘bukit matahari’ itu dan tinggal di lereng bukit alias Wairpelit. Itulah Kirch dengan kesaksian hidupnya.
Itu yang dilakukan Kirch secara konsisten. Apa yang dibuat secara konsisten itu akhirnya perlahan tapi pasti diikuti oleh komunitas Ledalero. Terima kasih atas ‘gempa’ 1992, ‘keagungan’ Ledalero itu mulai terbongkar. Justru tempat dimana mahasiswa ekstern tinggal itu akhirnya menjadi tempat unit-unit Ledalero. Kirch kemudian pindah ke komunitas Nitapleat bersama para frater yang mulai ‘mengunit’ di tengah umat. Itu semua tidak bisa dipisahkan dari inspirasi Kirch yang ‘mengumat’ dalam diam.
Dalam sebuah pembicaraan dengan Pater John Prior SVD dan Kirchberger, saya akhirnya mendapatkan penjelasan yang cukup mengherankan. Dua misionaris ‘asing’ itu diutus ke komunitas pembinaan terbesar di dunia itu untuk mengganggu kenyamanan. Ya, mereka sebagai pengganggu.
Yang disebut pengganggu karena pendidikan filsafat dan status baru sebagai biarawan telah membuat banyak orang ‘lupa akan akar’ darimana mereka berasal. Mereka yang berasal dari kampung kemudian mengambil status baru yang kerap kontradiktoris. Kirch dan Prior justru hadir dengan kesaksian hidup yang berseberangan. Keduanya yang berasal dari negara yang kaya dan hidup berkecukupan justru ‘mengumat’. Mereka menertawakan keanehan hidup para frater dan imam yang telah memperoleh ‘kasta’ baru setelah menjadi biarawan.
Bersama Prior, keduanya ‘mengganggu’ dengan cara yang unik. John Prior tentu dengan pikiran-pikirannya yang cukup kontroversial. Ia banyak kali mengganggu kekakuan berteologi dan terutama mengganggu orang yang hanya mau menjaga kemurnian doktrin. Prior justru mengganggu dengan caranya yang sangat membuat banyak orang tidak nyaman.
Kirchberger menjadi orang yang mengganggu orang dengan mempraksiskan apa yang disebut teologi. Saya ingat saat di semester 2 (dua) kalau tidak salah, saat mengajar Patrologi, saya merasa sangat terkesan dengan penjelasannya. Pada jam istirahat, saya langsung mencari buku Patrologi yang bercover agak coklat tua.
Di saat-saat itu, saya ingat ada sebuah pertanyaan tentang pola pemilihan para uskup. Saya ingat pertanyaan ini saya ajukan kepadanya: Apakah pemilihan para uskup juga berkaitan dengan orang yang biasa protes dan sengaja diberi tugas sebagai uskup supaya ‘diam’?
Ia menjawab bahwa tidak demikian. Hanya Kirch sedang mengangkat hal-hal sensitif tentang pengangkatan Uskup tetapi dengan kalimat yang beranak sehingga kadang ia sembunyikan kritik yang mau disampaikan.
Tetapi saya menangkap ada pesan menarik. Dan itu benar ketika ia mulai menggugat dengan cara menarik tentang infalibilitas Paus lalu dikaitkan dengan pemilihan Uskup. Tema-tema itu kian menarik karena di sana Kirch membeberkan pemikiran Hans Küng, teolog Swiss yang waktu itu ‘masih cukup halus’ dalam mengkritik meski kemudian cukup tegas mengkritik Gereja. Saya bersyukur karena saat berada di Madrid, Spanyol, saya hadiri kelasnya Hans Küng yang dulu dikisahkan oleh Kirch itu.
Jadi yang indah dari Kirch, bahwa dia bisa mengangkat tema-tema teologis mendasar mendunia. Dia sajikan dengan bahasa yang sangat terang meski terkesan agak kaku. Tetapi di sana sebenarnya ia mengajak para mahasiswa agar bisa mendalami lebih jauh apa yang ia sedang kemukakan. Diharapkan mereka bisa terdorong untuk bertanya dan mendalami secara sangat jauh.
Tetapi bukan itu yang utama. Kirchberger justru menunjukkan hal lain dengan perbuatannya yang nyata. Ia menghidupi apa yang ia sampaikan dan menyampaikan apa yang dia laksanakan. Itulah yang dilakukan Kirch untuk mengganggu. Banyak orang tentu butuh waktu untuk bisa menyelami apa yang ia maksudkan dan tunjukkan. Tetapi bagi banyak orang, apa yang ditunjukkan itu menjadi sangat nyata dan jelas. Itulah Kirchberger.
Saya sangat yakin, kepergian Kirch merupakan kehilangan. Sebuah sayap telah patah dengan kematian John Prior SVD dan kini benar-benar dua sayap itu patah. Fungsi mereka mematahkan keangkuhan teologis (bisa disebut demikian) dan menurunkannya menjadi teladan itu telah selesai. Mereka pergi sebagai orang asing yang datang dan tinggal di Ledalero dan mau menjadi orang yang jauh lebih Indonesianis daripada saya (kita) orang Indonesia. Mereka menjadi saksi di tengah dunia.
Selamat jalan Pater Kirch. Terima kasih untuk kehidupanmu sebagai saksi dan pengganggu. ***