Sejak ditinggal mendiang almahrum ayahnya, Yohanes Kalvin Mage, Dominikus Demon (24) bersama lima orang adik perempuannya hidup sendiri bersama ibundanya, Katarina Kewa Kolin di Kelurahan Pohon Bao, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
Sang ibu Katarina pandai membuat berbagai jenis kue dan menjajakannya kepada warga di sekitar pemukiman Perumahan Batu Ata, Kota Larantuka. Dua anak perempuannya, Maria Magdalena Mage (14) dan Yuliana Veronika Tuto Mage (14), pagi-pagi buta harus menggandeng stoples berisi roti goreng, donat dan juga dadar gulung. Kue buatan ibunda mereka itu dijajakkan dua gadis belia yang kini mengenyam pendidikan SMP di kota Larantuka.
Karena kebutuhan ekonomi rumah tangga, sang ibu pun harus berhutang pada rentenir untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama anak-anaknya. Dia berharap bisa mengembalikan pinjaman dari hasil jualan kue, sekaligus membiayai kebutuhan hidup sehari-hari serta biaya sekolah keempat anaknya.
Sayang seribu sayang, hutang Katarina tak kunjung lunas. Malah terus membengkak dari hari ke hari, dan belum bisa dibayar.
Karena utang yang belum lunas, pada tanggal 7 Januari 2023 lalu, Katarina Kewa Kolin nekad berangkat ke Kalimantan. Ya, dia merantau ke sana untuk mencari kerja. Selain untuk melunasi hutang, juga untuk biaya sekolah anak-anaknya. Dia tinggalkan keenam anaknya hidup sebatang kara.
Memanggul Utang Ibu, Jadi penjual Kue
Bermodalkan ajaran sang ibu, Anastasia Febriana Mage (18), gadis SMA itu terus membuat kue dan menjajakannya pada pagi hari.
Ia bangun subuh, sekitar pukul 02.00 Wita, mencampur tepung terigu dengan mentega, garam dan bibit roti, serta membiarkannya beberapa menit, lalu menggoreng dan menjajakannya kepada warga. Ia dibantu dua adiknya, Maria Magdalena Mage dan Yuliana Veronika Tuto Mage.
Pukul 06.00 Wita, kedua adiknya berjualan keliling kampung. Kedua adiknya yang sekarang duduk di bangku SMP ini harus pulang lebih awal, sekira pukul 06.30 Wita. Sebab, mereka harus menyiapkan diri dan bergegas ke sekolah dengan jarak 2-3 kilometer dengan berjalan kaki.
“Saya diajarkan ibu buat kue. Kami keluarkan uang 86.000-90.000 buat kue. Kami dapat untung kadang Rp.50.000 kadang juga Rp.60.000,” cerita Anastasia Febriana Mage (18), pembuat kue.
Dari hasil jualan kue, mereka pergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup mereka. Ada juga yang mereka gunakan untuk membayar utang ibunya. Bahkan, saat mereka sedang berjualan, di jalan ada rentenir yang memalak mereka untuk segera memotong utang ibunya.
Sehingga mereka harus pulang ke rumah dengan membawa uang Rp.5000 dari hasil jualan kue. Memang tak ada modal sehingga mereka kerap kewalahan untuk kembali membuat kue. Sesekali, kisah Anastasia, ia tidak ke sekolah hanya karena ingin buat kue dan menjual kue demi kebutuhan hidup dan membayar utang ibunya.
“Kerja bayar utang. Kalian mau makankah, tidak makan, itu urusan korang (kalian). Mereka tagih terus, kadang ganggu fokus belajar saya di sekolah juga,” kata Anastasia, siswa SMA menirukan ucapan rentenir.
Beras Habis, Tidak Makan Dari Pagi Sampai Sore dan Hanya Tidur
Siapa yang tidak terenyuh mendengar kisah keenam kakak beradik yang hidup sendiri sejak ditinggal pergi ibunya karena terlilit utang.
Mereka harus hidup sendiri dan mandiri. Di tengah kehidupan yang mereka jalani, keenam kaka beradik itu kerap mengalami situasi ketiadaan makanan. Mereka rela menahan perut dari pagi sampai sore dengan tidur. Hal itu terjadi bukan sekali tapi berulang kali.
Mereka bahkan hanya mencicipi seteguk air untuk bertahan dan tertidur pulas hingga sore menjemput.
“Kadang sehari tidak makan. Dan kami minum air lalu tidur dari pagi sampai sore,” kisah Anastasia Febriana Mage (18) yang diamini oleh adik-adik dan kakanya.
Keenam kakak beradik tersebut begitu rapi membungkus rapi situasi hidup mereka dengan diam. Mereka layaknya berpuasa. Mereka tidak mau minta-minta pada siapa pun. Mereka diam meski perut mereka membutuhkan sesuatu untuk diisi.
Kisah hidup mereka ini tak banyak diketahui orang. Tetangga rumah Halima Anwar (42) kadang mengetahui kejadian itu dan membantu seperlunya.
Apalagi sebagai ibu rumah tangga, Halima punya filling meski keenam anak itu tidak memberitahukan kondisi mereka saat itu.
“Mereka tidak pernah mengeluh beras tidak ada. Air galon saja mereka sulit beli apalagi air mandi. Kadang mereka pergi sekolah hanya cuci muka saja,” tutur Halima.
“Yang membuat saya salut itu kekurangan mereka di dalam rumah itu banyak orang tidak tahu. Mereka tahan diri. Kalau saya panggil suara tidak ada. Maka mereka tidak makan. Mereka tidur saja itu. Di situ saya panggil untuk makan,” kata Halima Anwar tetangga keenam kakak beradik tersebut, menambahkan.
Halima berharap usia anak-anak tersebut sedang dalam proses pertumbuhan, dan hal itu mereka butuh senang-senang. “Saya takut mereka depresi,” ujarnya.
“(Saya) rasa lingkungan ramai jadi mereka tidak terlalu tertekan. Takutnya mereka depresi kalau orang datang tekan mereka tagih utang. Umur begini kan usianya senang-senang,” beber Halima.
Yosua Mage (22) anak kedua dari Bapak Yohanes Kalvin Mage dan Ibu Katarina Kewa Kolin mengatakan mereka sering ditelpon oleh ibunya dalam waktu dua hari sekali.
Meski begitu, ketiga adiknya tetap semangat bersekolah. Mereka tidak parah arang. Dalam keterbatasan, mereka tetap riang gembira sama seperti anak-anak seusianya.(Yurgo Purab)