Kupang – Pemanggilan advokat Ali Antonius, SH, MH oleh Kejaksaan Tinggi NTT melalui surat panggilan tanggal 11 Februari 2021 mendapat sorotan dan tanggapan luas. Ali Antonius, SH, MH adalah kuasa hukum Bupati Manggarai Barat dalam kasus pengalihan aset Pemda Manggarai Barat berupa tanah seluas kurang lebih 30 hektar yang terletak di Labuan Bajo.
Atas penetapan tersangka pada diri Bupati Manggarai Barat tersebut kemudian Ali Antonius, SH, MH selaku kuasa hukum Bupati Manggarai Barat mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Kupang untuk menguji status tersangka pada kliennya, Bupati Manggarai Barat.
Akhmad Bumi, SH dari Firma Hukum ABP selaku salah satu kuasa hukum Ali Antonius, SH, MH kepada media ini, Minggu, (14/2/2021), mengatakan, sebagai kuasa hukum Ali Antonius, SH, MH prihatin atas masalah ini.
“Harusnya semua pihak menghormati UU Advokat. Ali Antonius, SH, MH seorang advokat, bekerja berdasar surat kuasa dan dilakukan secara profesional. Advokat itu salah satu penegak hukum dan hal itu diatur dalam UU Advokat,” tandasnya.
Advokat dengan posisi sebagai penegak hukum, ungkap Akhmad Bumi, maka advokat itu setara dengan Polisi, Jaksa dan Hakim. “Harusnya sesama penegak hukum saling melengkapi. Ada kode etik yang berlaku pada organisasi advokat,” ucap dia, mengingatkan.
Dalam surat panggilan Kejaksaan Tinggi NTT kepada advokat Ali Antonius, SH, MH terkait pasal 21 UU Tipikor yakni sengaja mencegah, merintang, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung atas proses penyidikan perkara korupsi.
Akhmad Bumi, SH menanyakan apa tolak ukur penerapan pasal 21 UU Tipikor kepada Ali Antonius? “Perlu ada tolak ukur agar tidak bias tafsir atas pasal tersebut. Apa advokat yang sedang menjalankan kuasa yang sah menurut UU dalam mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka kliennya dianggap melanggar pasal 21 UU Tipikor?” ujarnya, mempertanyakan.
Dia menjelaskan bahwa praperadilan itu upaya hukum yang diatur secara ketat dalam KUHAP, demikian juga putusan MK dan lain-lain. “Orang mengajukan praperadian tidak dapat dianggap sebagai menghalang-halangi penyidikan. Jika ada orang yang menganggap demikian, maka pemahaman hukum belum paripurna”, jelas Akhmad Bumi.
Dijelaskan bahwa dalam proses persidangan praperadilan Ali Antonius, SH, MH menghadirkan saksi. “Keterangan saksi telah selesai didengar dalam persidangan. Setelah mendengar keterangan saksi selesai, baik Pemohon maupun Termohon akan menanggapi keterangan saksi tersebut dalam kesimpulan masing-masing.
Tidak ada yang keberatan terhadap saksi kepada hakim pemeriksa praperadilan,” ungkap dia.
“Setelah selesai sidang, Ali Antonius, SH, MH kembali ke kantor advokat Ali Antonius, SH, MH di Oebufu Kupang. Sesaat kemudian kedua saksi praperadilan tersebut ditangkap tim Kejaksaan Tinggi NTT,” urai Akhmad Bumi.
Lebih jauh dia mengatakan, dalam persidangan, saksi dibalas dengan saksi, bukti dibalas dengan bukti, para pihak saling membuktikan. “Yang menilai keterangan saksi atau bukti yang diajukan para pihak serta memutuskan adalah hakim. Bukan saksi dibalas dengan tangkap dan tahan. Jika keterangan saksi dibalas dengan tangkap dan tahan itu sewenang-wenang. Keterangan saksi itu diberikan di bawah sumpah, berkekuatan hukum, tercatat sebagai fakta sidang dan termuat dalam risalah siding,” tandasnya.
“Dalam kasus memberi keterangan palsu ini siapa yang menjadi korban dan siapa yang pelapor? Apa tertangkap tangan OTT?” ujarnya, bertanya-tanya.
“Kalau dianggap itu keterangan palsu harusnya saat saksi memberikan keterangan dalam persidangan langsung minta kepada hakim agar saksi tersebut ditahan dengan perintah dari hakim, atau sekalian tangkap dalam ruang sidang sebagai bentuk OTT. Tapi inikan tidak,” tegas Akhmad Bumi.
Pasal 22 UU Tipikor dilaksanakan berdasar Pasal 147 KUHAP. Jika dilakukan dengan pasal 147 KUHAP maka harus dengan perintah hakim. Pasal 22 UU Tipikor juga diterapkan saat persidangan pokok perkara. “Yang terjadi adalah sidang praperadilan, pengujian status tersangka dan lain-lain. Dalam pengujian praperadilan dalam penanganan perkara apa saja dan dimana-mana, biasanya atas perkara itu sudah dapat dinilai, apa dakwaan nanti dibuat itu kuat atau tidak. Hal itu terlihat dari alat bukti yang diajukan para pihak dalam sidang pembuktian praperadilan. Bacaan orang akan melihat itu, demikian juga hakim,” ucap Akhmad Bumi.
Misalnya, terkait perkara tanah yang arahnya ke pidana. Orang melihat siapa yang mengusai fisik tanah, ada bukti yuridis berupa sertifikat atau tidak atau bukti hak lain, jika itu tanah negara tercatat atau tidak dalam aset dan lain-lain. “Jika itu tidak dibuktikan atau tidak ada tapi asal klaim, ya ini soal. Jika hal itu lemah maka strategi lain bisa muncul”, jelas Bumi.(*/fre)