Kupang – Kasus yang menimpa advokat Ali Antonius, SH, MH mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan. Kali ini datang dari akademisi fakultas hukum Universitas Muhamadiyah Kupang Andi Irfan, S.H., M.H.
Melalui releasenya yang diterima media ini Sabtu, (13/2/2021) menjelaskan terkait kedudukan advokat dalam membela kliennya dan menghadirkan saksi dalam perkara praperadilan.
Irfan menjelaskan “profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile). Advokat sebagai profesi yang mulia karena advokat mengabdikan dirinya serta kewajibannya kepada kepentingan masyarakat dan bukan semata-mata karena kepentingannya sendiri.
Advokat adalah salah satu penegak hukum yang termasuk dalam catur wangsa penegak hukum selain Polisi, Jaksa dan Hakim.
Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Ini.
Advokat juga turut serta dalam menegakkan hak-hak azasi manusia baik tanpa imbalan maupun dengan imbalan. Advokat mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan demi penegakkan hukum yang berdasarkan kepada keadilan, serta turut menegakkan hak-hak asasi manusia.
Di samping itu, advokat bebas dalam membela, tidak terikat pada perintah kliennya dan tidak pandang bulu terhadap kasus yang dibelanya, serta tidak dapat dikaitkan dengan kasus serta klien yang didampinginya.
Namun demikian menurut Irfan, dalam membela kliennya advokat tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku. Tidak boleh melanggar prinsip moral, serta tidak boleh merugikan kepentingan orang lain.
Terkait dengan kasus Ali Antonius di atas, tidak ada tindak pidana sendiri yang mengatur tentang kejahatan bagi seorang advokat yang menganjurkan, menghadirkan saksi dipersidangan memberi keterangan palsu didepan sidang pengadilan sehingga tuduhan terhadap Pak Ali Antonius dikaitkan dengan ketentuan Pasal 55 Ayat (2) yang mengatur tentang pembujukan, uitlokking.
Pasal 242 Ayat (1) berbunyi , “Barang siapa dalam hal-hal yang menurut undang-undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang khusus untuk itu dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Kemudian, Pasal 55 Ayat (2) berbunyi, “Barang siapa yang dengan pemberian janji-janji, penyalahgunaan wewenang, kekerasan, ancaman, tipu muslihat, atau dengan cara memberi kesempatan, sarana atau informasi sengaja menganjurkan atau membujuk (dilakukannya) suatu tindak pidana akan dipidana sebagai pelaku kejahatan.”
Pertanyaannya, kapan seorang “saksi atau pembujuk saksi” di depan persidangan dapat dihukum karena memberi keterangan palsu melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP?
Agar seorang saksi persidangan yang memberi keterangan palsu dapat dihukum, harus memenuhi syarat formal dan material. Syarat formalnya adalah seorang saksi persidangan dituduh memberi keterangan palsu di persidangan harus ada penetapan hakim sidang.
“Syarat materialnya adalah harus atas sumpah, keterangan itu diwajibkan menurut UU atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu, dan keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuannya diketahui oleh si pemberi keterangan (saksi). Hal lain yang perlu diperhatikan pula dalam video kasus di atas, bahwa upaya paksa penjemputan atau penangkapan saksi yang dilakukan oleh pihak kejaksaan Tinggi NTT seharusnya didahului dengan pemanggilan untuk menghadap secara persuasif guna mereka dimintai keterangannya (upaya klarifikasi) terkait apa yg dituduhkan kepada mereka terlebih dahulu, kecuali tertangkap tangan”, jelas Irfan.(*/fre)