Aksinews.id/Lewoleba – Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) menyelenggarakan kegiatan Diskusi Kelompok Terarah terkait budaya lokal dalam mendukung perlindungan anak sebagai upaya memperkuat mekanisme perlindungan anak melalui pendekatan budaya lokal.

Kegiatan yang berlangsung di Lewoleba, Jumat (21/11/2025) ini, melibatkan 66 peserta dari enam desa target di Kabupaten Lembata, yang difasilitasi oleh tim Plan Indonesia bersama para fasilitator dan perekam proses.
Temu aparat desa bersama para tokoh adat dari desa-desa dampingan Plan Indonesia ini bertujuan untuk menggali kearifan lokal yang berkaitan langsung dengan perlindungan anak serta memahami bagaimana nilai budaya dan norma sosial mempengaruhi sistem perlindungan anak di tingkat komunitas.
Para peserta berasal dari Desa Meluwiting, Benihading II, Mampir, Normal 1, Bareng, dan Merdeka. Masing-masing desa diwakili oleh Kepala Desa, Sekretaris Desa, ketua dan anggota BPD, serta enam tokoh lembaga adat. Komposisi ini menunjukkan komitmen kuat komunitas dalam memperkuat perlindungan anak dengan memadukan pendekatan budaya dan mekanisme formal.
Asal tahu saja, kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia masih menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan di sekolah sepanjang 2024, meningkat 100% dibanding 2023. Di Kabupaten Lembata, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 27 kasus kekerasan anak pada periode yang sama.
Tingginya angka ini menunjukkan masih lemahnya dukungan, pemahaman perlindungan anak, serta pencegahan dan penanganan kekerasan di komunitas dan lingkungan pendidikan. Padahal, anak hanya dapat tumbuh optimal jika aspek fisik, psikis, emosional, dan sosial mereka didukung secara memadai oleh lingkungan terdekat.
Kegiatan dibuka oleh Manager Programme Implementation Area (PIA) Lembata – Plan Indonesia yang diwakili oleh Deputi PIA Manager, Kornelis Sabon.
Dalam sambutan mewakili PIA Manager, Kornelis menyampaikan pentingnya kegiatan ini untuk menemukan solusi yang tepat bagi upaya perlindungan anak di lembata, khususnya solusi yang berbasis kearifan local.
Ya, “Melalui kegiatan ini, kami ingin menggali pemahaman mendalam tentang nilai-nilai budaya yang membentuk mekanisme perlindungan anak di komunitas. Kami juga mendorong lahirnya langkah-langkah konkret berbasis praktik budaya lokal yang dapat diterapkan bersama oleh semua pihak. Harapannya, tersusun dokumentasi lengkap tentang praktik perlindungan anak berbasis budaya dari enam komunitas serta komitmen untuk menindaklanjutinya,” ujar Kornelis.
Budaya lokal memiliki peran besar dalam sistem perlindungan anak. Sebelum hadirnya regulasi formal, masyarakat Indonesia telah memiliki mekanisme adat yang menjunjung nilai kebersamaan, keharmonisan, dan tanggung jawab kolektif.
Melalui kegiatan ini, Plan Indonesia mendorong sinergi antara perlindungan anak berbasis hukum formal dan pendekatan kultural yang telah hidup di tengah masyarakat.
Paulus Beni (62), salah seorang tokoh masyarakat adat yang hadir dalam kegiatan ini menyatakan adat di Lembata sesungguhnya memuat nilai-nilai perlindungan bagi perempuan dan anak. Mulai dari ritus hingga mekanisme pemulihan pasca kekerasan.
“Tapi, praktik-praktik ini memudar dari waktu ke waktu. Karena itu, melalui kegiatan hari ini, kita akan coba untuk tata kembali aturan-aturan itu,” ungkapnya.
Beni juga menegaskan kembali bahwa adat harus berjalan seiring hukum positif: perempuan dan anak yang disakiti—terutama yang masih di bawah umur—harus dilindungi melalui proses hukum, sementara adat menjaga martabat dan memulihkan sosial.
“Kita harus tunjuk kalau perlindungan bukan sekadar wacana, tetapi tindakan nyata yang membuka mata masyarakat bahwa kekerasan adalah salah, dan hukum serta adat berdiri bersama untuk melindungi perempuan dan anak-anak,” kata Beni. (Alfred Ike Wurin – Plan Indonesia/AN-01)

























