Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Teka-teki tentang siapa yang menjadi calon dan pasangan calon gubernur NTT sangat kuat. Lebih lagi mendekati Pendaftaran Pasangan Calon (27-29 Agustus). Adalah hak setiap warga negara yang menganggap diri mampu untuk mencalonkan diri yang tentu saja diharapkan terdapat dukungan dari pihak luar juga. Pada sisi lain, inisiatif dari luar untuk mendorong seseorang juga wajar. Kita bisa dipilih tetapi juga bisa mengusulkan agar orang lain bisa dipilih.
Salah satu calon yang cukup banyak disebut oleh media baik sebagai cagub maupun cawagub adalah Johanis (Jhony) Asadoma. Tetapi sebelumnya saya perlu ungkapkan bahwa secara pribadi, saya tidak menjadi bagian daría tim sukses atau juga partai pendukung (karena saya tidak berpartai). Saya hanyalah seorang yang mengenal Asadoma secara sepintas tetapi yakin bahwa pria kelahiran 8 Januari 1966 ini memiliki sesuatu untuk bisa dipertimbangkan.
Pada sisi lain, hingga saat ini saya belum pernah bertemu dengannya. Beberapa kali sempat berkiriman WA, tetapi juga secara profesional dan tidak ada kaitan sama sekali dengan politik. Pengalaman sederhana seperti inilah yang ingin saya bagikan (kalau diizinkan pembaca).
Secara Kebetulan
Menjelang Olimpiade Jepang yang seharusnya diselenggarakan 24 Juli-9 Agustus 2020 tetapi kemudian ditunda menjadi 23 Juli-8 Agustus 2021, saya mendapatkan telepon dari seorang petinggi polri. Kepada saya tahu nama dan pangkatnya (brigjen) yang saat itu bertugas sebagai Wakapolda NTT.
Kepada saya ‘Sang Jenderal’, memperkenalkan diri bahwa ia membutuhkan penerjemah untuk tim pelatih tinju asal Kuba yang akan melatih petinju Indonesia untuk persiapan Olimpiade Tokyo, 2020 (kemudian ditunda ke 2021).
Perkenalan itu sangat singkat, tetapi segera diikuti dengan aksi nyata. Ia tidak basa-basi tetapi segera meminta saya untuk menjadi penerjemah atau mendelegasikan seseorang. Dari cara berdialog dengan segera saya kenal bahwa Jenderal Asadoma bukan orang yang ‘bertele-tele’. Ia tahu apa yang seharusnya ditawarkan dan ketika menawarkan sesuatu terlihat tidak ada dialog yang mengharuskan ‘negosiasi’.
Kesan pertama ini sangat kuat. Meski sepintas, tetapi saya bisa menafsir kepribadian pria yang sebelum menjadi polisi, adalah seorang petinju profesional. Ia pernah meraih medali pergugngu kelas layang kejuaraan Sarung Tinju Emas ke-8 di Denpasar 1982. Kemudian medali emas kelas layang Sea Games ke-12 di Singapura (1983), Medali Emas Piala Prdsiden ke-7 di Jakdrta (1984), dan sempat mewakili Indonesia dalam Olimpiade di Los Angeles 1984.
Dari cara bicaranya yang singkat, jelas, dan padat itu, saya merasa sangat terkesan. Saya tahu bahwa Brigjen Asadoma yang saat itu menjadi Wakapolda NTT bukan orang yang basa-basi. Ia juga bukan orang yang ‘bicara tinggi’. Bicaranya sederhana tetapi tepat sasar. Kemudian saya tahu bahwa prinsip seperti inilah yang barangkali dia dapat saat ditempah di ring tinju. Seorang petinju harus ‘fair’. Dengan sesama petinju ia bisa ‘jual-beli’ pukulanTetapi dengan orang ‘awam’, ia juga bisa menempatkan diri setingkat lawan bicara agar bisa mencapai ‘deal’. Itulah kesan awal yang tak terlupakan.
Saya tidak bisa berangkat ke Kupang, meski secara pribadi saya sangat mengharapkan bisa bersua langsung dengan ‘pria berdarah campuran Manmas, Alor Selatan, Alor dan Rote Ndao itu. Seorang teman saya yang kemudian saya rekomendasikan untuk menggantikan posisi sebagai penerjemah. Saya hanya beruntung menyimpan nomor WAnya, apalagi dengan posisi dan persahabatan itu (kata saya dalam hati), bila ada polisi yang ‘macam-macam’ di NTT, saya akan bilang, saya sahabat Brigjen (kemudian) Irjen Jhony Asadoma.
Beruntung ‘kedekatan’ ini (padahal tidak dekat sama sekali) tidak saya salagunakan. Tetapi sebagai penulis, kadang untuk sedikit ‘memaksa’ untuk mendapatkan informasi yang penting saya tulis karena menyangkut kepentingan banyak orang. Biasanya kalau sebut nama Asadoma, urusan menjadi lancar. (Ini termasuk cara licik tetapi tentu saja demi kepentingan umum).
Menjadi Sempurna
Nomor WA dari Brigjen Asadoma yang saya simpan dari 2019 saat berkomunikasi pertama baru saya gunakan sekitar 5 tahun kemudian. Saya baru gunakan nomor itu bulan Februari 2024. Itupun saat mengirimkan WA secara massal ke banyak orang yang ada di nomor kontak dan saya kirimkan secara massal. Inti komunikasi saya sederhana saja, menyampaikan bahwa saat ini saya sedang membangun gedung SMA SKO SAN BERNARDINO di Lembata NTT. Kami butuh minimal 1 sak semen, itulah formatnya.
Salah satu nomor yang saya kirim adalah Jhony Asadoma. Tidak ada sapaan khusus Ia hanyalah salah satu dari 256 nomor yang saya kirim. Kata orang, kalau mau dapatkan bantuan maka harus sapa dengan ‘bahasa yang ramah-tamah, kadang dengan kata-kata menggugah’. Tetapi untuk Irjen (Purn) Asadoma, saya hanya mengirimkan dengan format umum. Saya pun tidak berharap kalau salah satu petinggi polri (meski sudah pensiun) bisa membalasnya. Apalagi dikirim dalam format massal dan tidak perlu ditanggapi.
Tetapi jawabannya mengagetkan saya: “Saya akan berkontribusi 100 sak semen”, demikian jawabannya singkat. Tidak ada basa-basi, tidak ada permintaan harus ‘ini dan itu’. Tidak. Apalagi saat itu belum ada cerita bahwa ia ingin mencalonkan diri sebagai gubernur dan bisa saja Irjen (Purn) Asadoma juga belum berencana untuk maju. Juga setelah memberikan sumbangan, ia pantau dan ketika ada hambatan ia berdiri di depan menawarkan bantuan. Seorang pengurus Yayasan berbisik, “nampaknya pak Asadoma bukan seorang politisi yang pandai berbohong. Ia seorang pribadi yang mengatakan apa yang dibuat dan melakukan yang dikatakan”.
Saya lalu berkesimpulan, apakah ‘watak’ seperti ini yang membuat banyak orang mendorong sang jenderal untuk maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur? Tentu hanya masyarakat (dan parpol) yang lebih kompeten untuk menjawabnya. Tetapi ada dua pesan penting.
Pertama, sikap berani untuk segera bertindak (tipikal seorang eksekutor) menjadi hal menarik. Sebagai seorang pemimpin, sangat penting dibutuhkan keberanian menghadapi masalah dan menawarkan solusinya. Itulah kesan kuat yang muncul. Tetapi pada saat bersamaan, keberanian juga tentu saja disertai rasa takut. Kita bisa mengartikan sebagai sikap takut akan Tuhan. Ia tidak saja berani bertindak tetapi selalu diseimbangakn oleh rasa takut akan Tuhan. Hal ini mengingatkan kita akan kata-kata Muhammad Ali, petinju legendaris: We cannot be brave without fear (Kita tidak akan menjadi berani tanpa rasa takut).
Kedua, bila hingga titik ini, Asadoma mau maju menjadi salah satu kandidat gubernur NTT, maka tidak lain bertujuan mencapai kesempurnaan. Dengan pengalaman sebagai anggota polisi yang lebih menjadi penegak hukum, ia tahu bahwa pelayanannya tidak bisa sebatas menegakkan hukum. Penegakkan hukum terjadi ketika ada kesalahan dan perlu ditindak. Ia bisa saja beranggapan, tindakan penegakkan hukum mestinya dilaksanakan secara antisipatif melalui penataan kesejahteran.
Dalam arti ini maka cita-cita menjadi gubernur atau wakil gubernur sebenarnya hanya punya tujuan untuk mencapai kesempurnaan, hal mana dikatakan oleh petinju berleher emas: Mike Tyson. Ia mengatakan: “I fight for perfection,” (saya beradu/berjuang untuk kesempurnaan).
Kalau demikian, pantas (ini menurut saya) orang meletakkan ASAHnya pada ASADOMA. Namun semuanya akan kembali ke Parpol yang punya kuasa, karena kalau soal rakyat, biasanya mereka akan mudah tergugah dengan kesaksian hidup sederhana seperti ini. ***