Oleh: Robert Bala
Rekan selama Novisiat Nenuk (1988-1989) Angkatan ke-2 Novis Nenuk
Kamis 18/7/24), seorang teman yang mendapatkan informasi via FB dan bertanya apakah benar Bruder Karel Boro SVD meninggal? Kami semua terkejut sambil berharap bahwa berita itu tidak benar. Tetapi makin siang kabar itu makin banyak diberitakan. Semua akhirnya hanya mengucapkan “RIP” seorang kawan tulus yang wafat sehari sebelum HUT kelahirannya (19/7).
Dikisahkan, seminggu sebelum meninggal (13/7/24), Br Karel tidak sadarkan diri. Ini merupakan puncak dari perjalanan selama 36 hari menjelang kematiannya. Karela kemudian siluman kembali dan sempbat berkomunikasi. Tetapi yang muncul dakam komunikasi itu tidak lain adalah pengalaman di kampung. Beruntung, di sampingnya ada Br Paulus Boli, SVD yang bisa meladeninya dalam bahasa daerah sambil mengenang nama orang dan tempat yang dia masih ingat.
Namun keadaan berkata lain. Kondisi fisik menurun dan perlahan kesadarannya pun sangat minim hingga wafat. Tentu saja sebuah kepergian yang menyedihkan terutama ketika berada jauh dari sanak kerabat. Tetapi suasana sedih itu juga sekalian menghadirkan rasa gembira dan bangga. Pasalnya, Bruder yang sudah berkarya di Papua New Guinea (PNG) hampir 28 tahun itu telah mematrikan kenangan yang indah. Karena itu demi menghormati permintaan kelanan di berbagai daerah di PNG, pemakaman baru akan dilakukan 5 hari sesudahnya (23/7/2024).
Hal ini memunculkan pertanyaan: apa yang menjadi rahasia sehingga Bruder yang berusia 61 tahun itu begitu dicinta dan dikagumi di PNG?
Saya mengenal Karel saat memulai pendidikan novisiat di Nenuk 1988-1989. Di antara banyak pengalaman, ada satu hal yang cukup menarik, ketika suatu saat dia mendekati saya: “Ama Obe, engko perbaiki saya punya bahasa Inggris dulu. Idioms ini macamnya te kena le…, apalagi Pater Ande Mua bilang, saya punya lidah ubi kayu bukan lidah bahasa Inggris”, demikian Karel dengan wajahnya yang lugu.
Permintaannya yang penuh kelembutan membuat siapa pun pasti mengulurkan tangan. Memang di Nenuk, P. Yosep Goopio, SVD sangat menekankan idioms untuk membantu percakapan. Lebih lagi ada hari harus berbahasa Inggris: “Inggris kita ini peku-leku le Reu”, demikian dia berucap. Bruder Karel dan beberapa teman bruder lainnya yang bukan tamat dari Seminari memang merasa beban (meski kita yang lain juga rasakan hal yang sama meski dibuat tanpa beban saja).
Tetapi kerendahan hati dan ketulusannya membuat orang pasti membantu. Lebih lagi pada masa novisiat sering dikisahkan cerita biarawan kudus seperti Yohanes Vianey yang meski mengalami kesulitan di kelas tetapi ia menjadi imam biarawan model. Gambaran ini pas dengan Karel. Meski kesulitan dalam bahasa Inggris tetapi soal pelayanan, maka dia ‘mati punya’.
Kepribadian Karel sangat memukau. Sapaannya selalu yang sama: “Ama…” (Bapa). Kalau bercanda, ia selalu memilih mendengarkan daripada ikut intervensi. Tetapi perhatiannya penuh menyimak pembicaraan. Sesekali baru dia bisa ‘nyelutuk’ dengan komentarnya yang buat orang tertawa sementara dirinya berdiri dengan ‘mulut kering’.
Kalau soal kerja, Karel yang jatahnya ‘ribut’. Dia ribut bukan dalam berbicara tetapi ribut dari bunyian alat yang digunakan untuk bekerja. Dia sangat fokus, berbeda dengan kami lain yang lebih banyak ‘ngoceh’ dari kerja. Cara kerja yang demikian rajin, konsisten, dan terutama jujur. Seperti kacamata kuda, yang Karel lihat hanya satu arah yaitu: tanggung jawab, keterbukaan, dan kejujuran.
Apa yang dilakukan Karel ini memang sedikit berbeda saat jadi ekonom. Mereka (maksudnya biarawan/imam) bisa (dan katanya itu wajar dan biasa) untuk ‘sisip-sisip’ untuk bantu keluarga. Tak heran, banyak imam dan bruder (yang katanya kaul kemiskinan) tetapi rumahnya di kampung mewah dan bisa saja jadi ‘pembicaraan’. Kalau Karel yang ia tahu hanya mencatat keuangan dan tidak tergoda sedikitpun.
Anekdot berikut sedikit lucu tetapi bisa menggambarkan siapa diri Bruder Karel. Katanya suatu saat waktu pulang ke Waipukang untuk berlibur. Tetapi saat memasuki lorong ke rumah, ia justru kehilangan jalan. Ia merasa bingung mana rumahnya. Pasalnya di samping rumah tumbuh beluntas yang tinggi sehingga rumahnya yang sudah rendah tidak terlihat. Bruder Karel lalu pulang ke pastoran dan meminta saudaranya datang menjemput karena ia telah tersesat masuk rumah sendiri.
Cerita ini lucuh dan aneh tetapi di baliknya terdapat pesan. Selama bekerja sebagai ekonom ia memang ‘bergaul’ dengan angka dan uang. Tidak seperti biarawan lain yang (katanya tidak salah juga) memperhatikan rumah orang tuanya. Tak heran, ada rumah yang besar, megah. Tetapi Karel menjadi contoh tentang orang yang konsisten. Meski pegang uang (banyak), tetapi ia tidak tergoda untuk membangun rumah keluarganya.
Ingin Mati di Tanah Misi
Kejujuran dan ketulusan serta konsistensi dalam tugas yang menjadi modal utamanya. Tidak lama setelah sampai di PNG, Karel yang awalnya bekerja di bagian keuangan, terpilih menjadi Praeses (pimpinan komunitas). Sebuah tugas yang tentu didasarkan pada kesaksian bahwa dalam mengurus orang (apalagi para pastor dan bruder), diperlukan pribadi yang penuh pelayanan seperti Karel.
Saat bersamaan, Karel juga menangani keuangan di Keuskupan Wewak. Sebuah jabatan yang membuat Karel harus ‘bergaul’ dengan uang dan angka. Namun seperti biasa dan karena sudah melekat pada karakter dirinya, maka yang ia lakukan hanyalah bekerja secara jujur.
Dari jabatan Praeses, pimpinan meminta Karel memimpin rumah formasi untuk para bruder: Brother Fromation Community di Madang. Keterpilihan Karel tentu bukan hal lain kecuali kalau dirinya dianggap pantas memberikan contoh untuk para bruder saat pembentukan. Selain itu kejujuran, ketulusan, kerajian, dan ketulusan menjadi modal yang cukup untuk memberi contoh.
Jabatan seakan tidak kurang menunggu. Dari pembinaan para bruder, Karela dipercayakan untuk menangani Institut Melanesia (Melanesian Institute). Pada periode ini datanglah penyakit yang (2020) yang memulai menurunkan ketahanan fisiknya untuk bekerja.
Adanya kepercayaan yang diberikan tidak dianggap sebagai beban tetapi dipikul dengan semangat. Hal ini pula yang membuatnya merasa berat ketika sakit dan harus pulang ke Indonesia untuk berobat. Lebih lagi karena ayah dan ibu yang sudah rentan tentu butuh perhatian juga. Adalah wajar ketika cukup banyak yang menganjurkan agar terus tinggal di Indonesia untuk pengobatan. Permintaan ini bahkan sudah diungkapkan tahun 2020 dan kembali disuarakan lagi tahun 2022 saat kembali ke Indonesia untuk berobat lagi.
Tetapi jawaban Karel hanya satu: “Saya mau mati di tanah misi”. Itula komitmennya. Karena itu dengan kondisi kesehatan yang kurang baik, ia putuskan untuk pulang dan mati di tanah misi. Ia mati sebagai orang yang menyerahkan dirinya seutuhnya untuk misi dan tidak menyisikan sedikitipun untuk keluarga. Sebaliknya keluarnya juga tahu telah menyerahkan anaknya dan tidak meminta kembali terus hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan itu pula yang memberikan umur panjang sehingga ayah dan ibu pun terus hidup sampai kini meski tentu saja kematian putra mereka ditanggapi dengan sedih.
Kepada Reu Karel yang sekarang lebih hebat bahasa Inggris setelah kursus di Australia dan 28 tahun terakhir ‘omong inggris tiap hari’, saya hanya menitip kalimat indah dari Mark Twain. Novelis, penulis, dan pengajar berkebangsaaan AS ini pernah menulis: The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time. Ketakutan akan kematian muncul dari ketakutan akan hidup. Seseorang yang hidup sepenuhnya siap untuk mati kapan saja).
Reu telah siap untuk mati kapan saja karean hidupmu telah menjadi contoh. Reu ingin mati di tanah misi karena memang Reu telah hidup untuk misi. Keberanian untuk mati di tanah misi dan berani hidup miskin, menjadi catatan kami.
Ada satu hal lagi. Reu meninggal hanya sehari sebelum HUTmu. Itu sebuah pesan bahwa untuk hidup kita ternyata harus mati. Reu telah bekerja mati-matian untuk menghidupi banyak orang. Selamat jalan Reu.***
Sy meneteska.n air mata membaca berita duka ini. Sy menangisinya se-olah2nya sy mengenalnya. Pdhal sy tdk pernah mengenalnya. Benar2 seorang biarawan yg mengabdikan diri semata utk Tuhan.
Semoga bnyk yg tersentuh dan mengikuti teladan hidupnya. Bruder, semoga suatu hari sy punya kesempatan mengunjungi keluargamu.
Selamat jalan Bruder, sampai bertemu di Rumah Bapa.
Terima kasih bu Hani Chandra atas tanggapannya. Semoga arwah Bruder Karel beristirahat dalam damai.