
Anselmus Dore Woho Atasoge
Alumnus SESADO Hokeng
Kini Staf Pengajar pada Stipar Ende
Hari ini, Jumat (15/08/2025) Seminari Menengah San Dominggo Hokeng (SESADO) genap usia berlian, 75 tahun. Dalam perjalanan panjang melintasi tujuh dasawarsa lebih, Seminari Menengah San Dominggo Hokeng yang tumbuh dari lembah sunyi menjadi pelita nusantara dan dunia telah menorehkan jejak kasih, harapan, dan cahaya iman yang tak lekang oleh waktu. SESADO bukan sekadar tempat pembinaan, melainkan rahim panggilan yang memekarkan kehidupan, tempat nilai-nilai luhur ditanam dalam senyap dan bertumbuh dalam terang. Di antara doa pagi dan suara lonceng senja, tercipta generasi-generasi yang rela melayani, mengakar di tanah umat, dan menjulang dalam cahaya Kristus. Dari lembah Hokeng, telah menyala api panggilan yang menembus cakrawala sejarah dan menyulut harapan di pelataran dunia.
Kini, di usia ke-75, saat kenangan menyatu dengan impian, marilah kita menoleh sejenak: mengenang yang telah dirintis dan merajut yang akan datang. Buku ini adalah ajakan untuk menyapa masa lalu bukan sebagai nostalgia semata, melainkan sebagai bara yang terus dinyalakan agar nyanyian iman dan cinta yang pernah berkumandang di ruang-ruang SESADO tidak menjadi gema yang terhenti, tetapi irama yang mengalun menuju masa depan. Karena dari lembaga sederhana ini, lahirlah para pelayan, pemikir, dan pewarta yang menjadikan dunia sebagai ladang, dan hidup mereka sebagai benih kasih yang terus ditebar. SESADO akan tetap menjadi cahaya kecil yang memandu langkah besar.
Di usia intannya, panitia perayaan berlian melahirkan kisah awalinya, kisah tempo dulu, kisah-kecil kecil dan peristiwa-peristiwa besar yang telah terpatri dalam perjalanan sejarahnya dan impian-impian akan masa depannya dalam ‘buku kenangan berlian’ yang diberi judul JUBILEUM BERLIAN SEMINARI MENENGAH SAN DOMINGGO HOKENG: MENGAIS JEJAK KISAH, MENJAGA LANTERA PANGGILAN DAN MERAJUT IMPIAN. Narasi sederhana yang saya buat ini merupakan sebuah catatan pinggir atas buku kenangan ini. Juga boleh dipandang sebagai ‘sebuah kado kecil’ pada sebuah ‘perayaan besar’.
Berakar pada semangat Konsili Trente dan warisan Santo Dominikus, Seminari San Dominggo Hokeng hadir sebagai jantung Keuskupan Larantuka, memadukan tradisi dan pembaruan dalam pembinaan yang utuh. Didirikan pada 15 Agustus 1950, SESADO telah menjadi Rumah Rahim Kehidupan selama 75 tahun, menanam benih panggilan dengan kasih dan ketekunan.
Dalam bagian pertama karya kenangan ini, Romo Yosep Dominikus mengisahkan peran Yayasan Seminari sebagai fondasi pendidikan yang terus berkembang dan berkomitmen pada pembangunan manusia seutuhnya. Sementara itu, Romo Alexander Boli Losor menegaskan bahwa di usia ke-75, SESADO tetap adaptif dan profesional, menjaga mutu pendidikan di tengah perubahan zaman. Di akhir bagian pertama ini, Sr. Praksedes, SSpS membagikan refleksi pengabdiannya yang penuh warna, menyoroti pembentukan karakter dan penemuan panggilan sejati di tengah dinamika seminari. Bagian ini bukan sekadar dokumentasi, melainkan sebuah jalan untuk menyalakan semangat bahwa SESADO adalah tempat pembentukan pribadi yang melayani dengan iman dan membangun dengan cinta bagi masa depan Gereja dan bangsa.
Dalam bagian kedua buku ini, kita diajak menyelami catatan reflektif dari para alumni yang pernah merasakan kehangatan dan keindahan perjalanan mereka di SESADO. Kini, dari kejauhan waktu, mereka memandang kembali pengalaman itu sebagai sebuah oase, tempat perhentian yang menyejukkan jiwa, menghidupkan semangat, dan meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu. Bagi Albertus Muda, Seminari San Dominggo Hokeng adalah taman idaman tempat benih panggilan tumbuh dalam kesuburan iman, ilmu, dan karakter.
Di sana, ia mengalami pembentukan utuh sebagai pribadi yang tangguh dan berintegritas, melalui disiplin studi, kehidupan rohani, dan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, serta solidaritas. Tulisan Yulius Maran menyuguhkan refleksi mendalam tentang bagaimana ketekunan dalam keheningan dan kesetiaan pada proses di Seminari Hokeng membentuk jiwa yang tangguh. Ia menunjukkan bahwa pendidikan sejati tumbuh dari hal-hal kecil yang dijalani dengan hati. Hilarius Ola Muda menulis bahwa Seminari San Dominggo adalah kandil mungil yang bersinar, menjadi rahim kasih bagi lahirnya pribadi tangguh dalam imamat, literasi, dan solidaritas. SESADO menjadi ladang tumbuhnya sastra dan pemikiran, serta ruang belajar dan berbagi yang membentuk pemimpin masa depan melalui keberanian untuk bertumbuh bersama.
Dalam permenungannya, John Fisher Yosep Wure Wujon menggambarkan SESADO sebagai komunitas pembelajaran yang tidak hanya membentuk pengetahuan akademis, tetapi membina kehidupan dan karakter melalui nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan adaptasi. Meski dihadapkan pada pandemi, bencana alam, hingga perubahan kurikulum dan sistem pembinaan, SESADO tetap setia pada visinya sebagai tempat persemaian panggilan imamat, terus menyesuaikan diri tanpa kehilangan identitasnya. Tulisan Yurgo Purap merefleksikan dampak erupsi Lewotobi yang memaksa komunitas SESADO mengungsi ke Saron Larantuka, sambil menggali makna teologis di balik penderitaan. Ia menegaskan bahwa ujian adalah bagian dari rencana Tuhan untuk menumbuhkan harapan dan iman, dan bahwa formasi tetap berjalan sebagai perjalanan spiritual menuju kesadaran akan cinta Tuhan yang abadi. Sementara itu, artikel Ricardo Rosario Taran Ujan menghadirkan refleksi seorang alumni yang menamatkan formasinya di tengah erupsi Lewotobi, perubahan kurikulum, dan relokasi darurat ke Saron. Dengan narasi yang mendalam, ia menegaskan bahwa formasi bukan soal durasi, melainkan intensitas pembinaan dan pengalaman batin yang membentuk pribadi utuh dalam pelukan realitas dan rahmat. Dalam kesaksiannya sebagai guru di SESADO, Katarina Cicih Karnengsih mengungkapkan bagaimana lembaga ini tak henti-hentinya menyemai benih perubahan melalui pembenahan sistem, penguatan pola hidup bersama, dan pelayanan yang tulus ikhlas. Dari proses refleksi kolektif yang penuh ketekunan, SESADO menjelma menjadi taman harapan yang merangkul setiap jiwa muda dan menuntunnya bertumbuh dalam terang nilai-nilai Kristiani dengan iman yang mengakar, ilmu yang mencerahkan, dan kasih yang mengalir sebagai daya hidup masa depan Gereja dan bangsa. Sementara itu, Fr. Yohan Mataubana merefleksikan panggilannya sebagai frater TOP di Seminari San Dominggo Hokeng seperti perahu Petrus yang sempat kosong namun dipenuhi mukjizat karena ketaatan pada Sabda. SESADO baginya bukan sekadar tempat praktik, tetapi rahim kehidupan yang membentuk dan menyalakan semangat misioner yang total dan penuh kasih.
Dan melalui artikelnya, Pater Yakobus Umbu Warata, C.Ss.R menggarisbawahi peran istimewa Seminari San Dominggo Hokeng dalam 75 tahun perjalanan panggilan dan formasi. Lebih dari sekadar lembaga pendidikan, SESADO adalah tanah subur tempat benih iman dan karakter ditanam, dipupuk dengan nilai sanctitas, scientia, sanitas, sapientia, dan solidaritas. Dari sana lahir pribadi-pribadi yang siap melayani Gereja Lokal dan Universal, membawa terang di tengah dunia dan menghadirkan penebusan yang berlimpah—copiosa apud Eum redemptio. Bagi Kongregasi Redemptoris Indonesia, SESADO bukan hanya ladang panggilan, tetapi juga sumber harapan yang terus hidup.
Selanjutnya, Pastor FX. Martana menulis bahwa dari bilik pembinaan yang sederhana hingga ladang pengutusan yang luas, SESADO telah menjadi saksi perjalanan iman yang kokoh, membentuk para pelayan Gereja melalui integritas rohani, intelektual, dan pastoral. Di tengah tantangan zaman, SESADO tetap menjadi oase panggilan, tempat surga menyapa bumi dan harapan tumbuh dalam pelukan waktu dan rahmat. Dalam semangat yubileum ini, refleksi Adi Rianghepat menghidupkan makna dari semboyan “Deo et Patriae” sebagai benih yang tumbuh dan berbuah dalam panggilannya sebagai jurnalis. Dalam arus zaman yang kian bising, semangat formasi SESADO tetap menyala dalam dirinya, menjadikannya penjaga lentera literasi dan suara bagi mereka yang tak terdengar. Semangat yang sama direfleksikan pula dalam tulisan Pater Har Yansen, SVD yang mengungkapkan pengalaman pribadinya sebagai Frater TOP yang sekaligus menjadi pendidik dan yang terdidik.
Ia melihat Hokeng sebagai rumah formasi yang membentuk jati dirinya, menanamkan semangat persaudaraan, kedisiplinan, dan pelayanan yang egaliter. Meskipun bukan alumnus langsung, pengalaman di Hokeng mengakar dalam pelayanannya di Jerman. Ia mengenang bahwa komunitas ini bukan hanya tempat belajar, tetapi rahim yang memanusiakan, menumbuhkan solidaritas lintas latar belakang, dan terus memberi inspirasi untuk menjadi terang di tengah dunia. Bagian kedua diakhiri dengan refleksi pastoral Pater Kris Ibu, SVD, yang menuturkan perjalanan batin yang sarat kecemasan, perjuangan, dan pembelajaran spiritual. Selamat masa TOP di SESADO, ia meniti meniti proses spiritual yang awalnya penuh keraguan, namun berubah menjadi medan pembelajaran yang membentuk panggilan dan pribadi. Dari keseharian bersama imam, guru, dan komunitas, ia menemukan bahwa menjadi utusan Tuhan berarti terus belajar dalam keheningan, pelayanan, dan cinta yang tak selesai.
Di balik kisah panggilan dan pengalaman eksistensial selama berada di SESADO yang penuh cahaya itu, Pater Paulus Boli Lamak, imam angkatan perdana SESADO menyampaikan sebuah catatan penting bagi SESADO. Sembari mengenang tempat itu sebagai rahim suci yang melahirkan kesetiaan lewat keheningan dan doa, Beliau memberi beberapa catatan untuk SESADO hari ini dan di masa yang akan datang. Dalam pengamatannya, seiring perubahan zaman, hal yang paling utama ditemui di SESADO adalah keheningan memudar, disiplin melemah, dan panggilan tak selalu lahir dari hati yang murni. Meski begitu, Pater tetap menaruh harapan bahwa bara panggilan harus tetap menyala. Dengan cinta yang tulus, pendampingan yang dekat, dan kesungguhan dalam pembinaan, bara panggilan itu bisa tetap dinyalakan kembali. Baginya, rahim panggilan sejati tak pernah mati. Ia hanya menunggu untuk dihidupkan kembali agar terus melahirkan terang bagi dunia.
Bagian ketiga dari buku kenangan ini menghamparkan untaian harapan dan impian tentang masa depan Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, sebuah visi yang lahir dari cinta dan kerinduan akan perubahan. Emelia Julia Nomleni menegaskan bahwa 75 tahun SESADO adalah narasi kasih dan visi luhur yang menerangi pendidikan dan moral bangsa. Lembaga ini telah menabur nilai, membentuk karakter, dan menjadi tiang penyangga masyarakat berbelarasa, bahkan di mata Pemerintah NTT sebagai fondasi moral strategis.
Sementara itu, Antonius Doni Dihen melihat SESADO sebagai mercusuar harapan di tengah krisis moral, tempat formasi holistik membentuk calon imam sebagai agen transformasi sosial yang berbelarasa dan relevan. Ignasius Boli Uran menyebutnya sebagai tempat penempaan diri lahirnya pemimpin berjiwa Kristiani yang melayani dengan iman dan membangun dengan cinta. Dalam bagian ini, Romo Yohanes Hans Monteiro dan Debi Angelina Br. Barus mengajak kita meninjau ulang pendekatan formasi di era Gen-Z, menekankan perlunya transformasi menuju pembinaan yang lebih manusiawi dan adaptif, terutama pasca-erupsi Lewotobi yang menjadi simbol “letusan rahmat.” Searah dengan itu, tulisan reflektif dari Romo Gius Lolan mengisahkan perjalanan batin dan intelektual SESADO sebagai “Rumah Rahim Kehidupan dan Taman Kegembiraan”, tempat di mana fondasi teologis-biblis, berakar pada Teologi Tempat dan Teologi Sentrum menjadi landasan inovasi pembinaan yang memeluk spiritualitas kasih Allah dan memberdayakan dari dalam.
Melalui pendekatan coaching profesional, yang berfokus pada eksplorasi potensi diri dan transformasi personal secara inside-out, SESADO menghadirkan paradigma pendampingan yang humanis, dinamis, dan menyentuh kedalaman jiwa. Dengan membaca Kitab Suci sebagai rahim kasih, merangkul coaching sebagai percakapan pembebasan, serta menjadikan inspirasi Kristiani sebagai denyut refleksi, SESADO menegaskan dirinya sebagai ruang formasi yang selaras zaman, tempat kehidupan dan panggilan iman bersemi dalam wajah Allah yang ramah, rahim, dan transformatif.
Pater Markus Solo Kewuta, SVD memandang SESADO sebagai taman interkultural tempat benih panggilan tumbuh dalam harmoni iman, intelektualitas, dan kemanusiaan, komunitas pembelajar yang tetap setia pada misinya meski tempat berpijak berubah. Romo Philip Ola Daen menegaskan bahwa revitalisasi disiplin di Seminari San Dominggo Hokeng merupakan strategi penting untuk membentuk habitus pemuridan yang unggul dan kontekstual, melalui aturan keasramaan yang membiasakan rutinitas edukatif. Disiplin bukan sekadar tindakan, melainkan karakter yang teruji oleh kesulitan dan dibentuk dalam proses panjang yang konsisten.
Dengan pembiasaan ini, murid-calon imam diharapkan mampu mencapai kompetensi spiritual dan emosional yang menjadi ciri khas pemuridan Yesus. Yoseph Yapi Taum memberikan catatan bahwa erupsi dahsyat Gunung Lewotobi pada November 2024 menyadarkan publik akan rapuhnya keamanan kawasan Hokeng sebagai lokasi pendidikan jangka panjang. Karena itu, melalui kajian ilmiah atas risiko vulkanik, relokasi permanen Seminari Hokeng ke wilayah yang lebih aman dipandang sebagai langkah bijak untuk menjamin keselamatan dan kelangsungan pembinaan generasi muda.
Di balik keputusan tersebut, tersimpan harapan akan pendampingan dan penguatan komunitas lokal menuju masa depan yang lebih terlindungi dan bermakna. Selanjutnya, Robert Bala mengajak kita membaca peristiwa sejarah sebagai tanda zaman (signo temporum), menekankan pentingnya refleksi teologis dan pendidikan yang inklusif serta berpijak pada kesalehan rakyat. Alexander Take Ofong memperluas makna spiritualitas SESADO yang melampaui altar dan menjelma dalam ruang publik, menghadirkan alumni yang menjadi wajah harapan di tengah dunia yang gelap. Akhirnya, Anselmus Dore Woho Atasoge menegaskan bahwa kaum muda seminaris dan alumni bukan hanya pewaris masa lalu, tetapi pilar masa depan yang membawa garam dan terang bagi dunia yang terus berubah. Mereka diutus untuk menghidupi Injil secara nyata dengan daya kreasi, semangat kasih, dan kepedulian sosial demi memulihkan martabat, memperkuat solidaritas, dan menyalakan harapan di tengah zaman yang majemuk dan penuh tantangan.
Kini, dalam usia yang matang dan bermakna, SESADO mengajak kita menengok jejak-jejak yang telah tertulis dan menyulam impian yang masih terbentang. Sekiranya, buku kenangan ini bukan hanya kumpulan nostalgia, tetapi saksi hidup dari bara-bara kecil yang terus dijaga agar tetap menyala—bara panggilan, bara cinta, dan bara cita-cita. Di balik setiap kisah yang tertulis, terpatri harapan baru: agar dari SESADO terus tumbuh pemikir, pelayan, dan pewarta yang menghidupi terang Injil di tengah zaman yang berubah. Semoga gema cinta yang pernah berkumandang dari ruang-ruang SESADO terus mengalun menuju masa depan, membentuk generasi yang rendah hati dalam pelayanan dan berani dalam kasih. SESADO akan terus hidup dalam kenangan, dalam impian, dan dalam langkah kaki mereka yang diutus. Ad multos Annos, SESADO! ***