
Oleh: Anselmus DW Atasoge
Staf Pengajar STIPAR Ende
Kenaikan Yesus ke surga adalah titik kulminasi dari perjalanan Ilahi-Nya di dunia, sebuah transisi agung dari kehadiran fisik yang nyata menuju eksistensi spiritual yang terus membimbing umat manusia dalam perjalanannya. Dalam lensa sosiologi agama, peristiwa ini bukan sekadar dogma teologis, tetapi juga cerminan dinamika sosial yang mengakar dalam konstruksi nilai moral dan etika masyarakat. Sebagai sosok yang menjunjung tinggi keadilan dan kasih, Yesus hadir sebagai paradigma bagi manusia untuk menghidupi integritas yang murni serta menumbuhkan kepedulian bagi mereka yang terpinggirkan dan tertindas. Ajaran-Nya bukan sekadar seruan moral, tetapi juga panggilan transformatif yang mengilhami perubahan sosial demi tatanan yang lebih adil dan berperikemanusiaan. Salah satu panggilan itu adalah menegakkan keadilan dan melawan korupsi.
Di Indonesia, korupsi telah menjadi masalah sistemik yang merusak tatanan sosial dan ekonomi. Fenomena ini bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menekankan kejujuran dan keadilan. Ironisnya, Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi, namun korupsi tetap merajalela. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara ajaran agama dan praktik sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks ini, refleksi atas kenaikan Yesus dapat menjadi pengingat bagi umat Kristen untuk menginternalisasi nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Korupsi memiliki dampak yang luas, terutama terhadap masyarakat miskin. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat sering kali disalahgunakan oleh para pejabat yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya menjadi terbatas bagi kelompok yang paling membutuhkan. Dalam ajaran Kristen, Yesus selalu berpihak kepada kaum miskin dan tertindas, mengajarkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk melayani, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam Injil Matius 6:11, terdapat ajaran tentang pentingnya berbagi dan mencukupi kebutuhan sesama, yang bertentangan dengan praktik korupsi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Jika nilai-nilai ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik, maka korupsi dapat diminimalisir dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Pendidikan antikorupsi yang berbasis nilai-nilai agama juga dapat menjadi solusi dalam membentuk karakter yang berintegritas sejak dini.
Sosiologi agama mengajarkan bahwa agama memiliki peran penting dalam membentuk perilaku sosial. Namun, jika ajaran agama hanya menjadi simbol tanpa dihayati dalam tindakan nyata, maka dampaknya terhadap kehidupan sosial akan minim. Oleh karena itu, refleksi atas kenaikan Yesus harus diiringi dengan tindakan nyata dalam menegakkan keadilan dan melawan korupsi. Gereja dan komunitas religius memiliki tanggung jawab untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Selain itu, pendekatan teologis terhadap korupsi menunjukkan bahwa tindakan korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga dosa yang merusak hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Kesadaran akan hal ini harus ditanamkan dalam setiap individu agar mereka memahami bahwa korupsi bukan hanya masalah ekonomi dan politik, tetapi juga masalah moral dan spiritual.
Dengan demikian, refleksi atas kenaikan Yesus ke surga dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia untuk lebih berkomitmen dalam memberantas korupsi. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama harus menjadi landasan dalam kehidupan sosial dan politik. Jika ajaran agama benar-benar dihayati dan diterapkan, maka korupsi dapat dikurangi dan kehidupan masyarakat, terutama kaum miskin, dapat menjadi lebih baik.
Korupsi bukanlah takdir yang membelenggu tanpa harapan, melainkan bayang-bayang kelam yang dapat sirna oleh cahaya kesadaran kolektif dan aksi nyata. Dalam denyut nadi bangsa, setiap individu memiliki peran dalam merajut kembali tatanan yang tercerai oleh ketidakadilan, menciptakan sistem yang jernih, bermartabat, dan berlandaskan kejujuran. Kenaikan Yesus ke surga adalah pesan transenden tentang tanggung jawab manusia atas dunia yang ditinggalkan-Nya—sebuah panggilan untuk menapaki kehidupan dengan penuh integritas, karena setiap langkah yang diambil membawa jejak moral yang tak terhapuskan.
Oleh sebab itu, refleksi sosiologis agama terhadap peristiwa ini harus menjadi nyala api yang membakar kesadaran kolektif, mendorong masyarakat untuk menggenggam harapan dan membangun masa depan yang berkeadilan bagi setiap insan. (*)