Kehidupan masyarakat di sebuah kampung di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, bergantung pada mata air tersembunyi yang mereka sebut sebagai pela. Sekitar pukul 05.00 hingga 05.30 pagi, anak-anak harus bergegas untuk mandi di sana sebelum berangkat ke sekolah. Perjalanannya tidak mudah, mengitari punggung bukit dengan kemiringan yang cukup terjal. Di beberapa titik, tanahnya licin dan berbatu, membuat setiap langkah harus diukur dengan hati-hati. Salah pijakan sedikit saja, risiko tergelincir besar sekali.

Tak hanya medannya yang sulit. Di kampung ini, mitos tentang penghuni mata air juga menjadi desas-desus warga sejak lama. Mereka percaya jika seseorang pergi sendirian ke sana, ia bisa disesatkan, ditahan, atau bahkan dibawa pergi oleh penghuni gaib di mata air. Dan yang paling ditakuti, rumor tentang ata dora, sosok misterius yang konon akan menculik mereka yang berjalan sendirian.
Tapi tidak ada pilihan. External Communication Coordinator, Hesti Widianingtyas yang merilis catatan staf Plan Indonesia, Alfred Ike Wurin menyebutkan, setiap pagi dan sore anak-anak harus tetap pergi ke pela. Sebab, kembali ke rumah dengan tubuh bersih dan air yang cukup adalah kebahagiaan sederhana yang mereka perjuangkan setiap hari. Rutinitas ini sudah menjadi bagian hidup yang mereka jalani selama ini. Ada ketakutan, ada perjuangan, tapi juga ada kegembiraan.
Bertahan dengan Pela
Seperti yang dialami Mama Reta (49) dan anaknya, Eci (14). Pagi itu, hati Mama Reta menciut ketika melihat putrinya kembali dengan wajah pucat dan napas tersengal. Pikirannya dipenuhi bayangan buruk.
“Satu pagi, Eci pergi duluan ke kali untuk mandi dan menimba air, tapi dia pulang cepat sekali. Saya tanya dia kenapa? Dia takut karena di kali belum ada orang,” kenang Mama Reta (49).
Bagi anak-anak seperti Eci, mencari air adalah rutinitas yang tak terelakkan. Dengan gembira mereka menjalani perjuangan yang cukup melelahkan ini.
“Kami pulang mendaki. Kalau capek, kami istirahat dulu, baru jalan lagi. Sampai di rumah, siap-siap, baru ke sekolah. Kadang terlambat. Kalau terlambat, dihukum disuruh berlutut,” ungkap Eci sambil tertawa.
Di sekolah akses air pun terbatas. Air yang mereka bawa adalah satu-satunya sumber untuk mencuci tangan, membasuh wajah, bahkan menyiram toilet. Setiap murid membawa airnya sendiri, menuangkannya ke penampung di toilet sekolah. Jika persediaan habis, guru dan beberapa murid harus bekerja sama untuk pergi menimba air ke kali.
Upaya Bersama Hadirkan Akses Air Bersih
Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi krisis air bersih setiap tahun akibat iklim tropis kering. Musim kemarau di daerah ini berlangsung hingga delapan bulan dengan curah hujan yang rendah dan tidak merata, antara 800 hingga 1.500 milimeter per tahun. Angin muson timur dari Australia yang berlangsung dari April hingga Oktober menyebabkan kekurangan hujan dan memperpendek musim penghujan.
Dampak dari kondisi ini, ditambah perubahan iklim global, membuat pasokan air bersih berkurang selama musim kemarau. Memaksa masyarakat, terutama di pedesaan, untuk menempuh jarak jauh dan mendapatkan air dengan kualitas yang seringkali tidak layak konsumsi.
Kondisi air bersih ini sudah lama mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat setempat. Dulu, mereka sempat membangun jaringan pipa dan bak penampung secara swadaya. Namun, upaya itu tidak bertahan lama karena kurangnya kapasitas perencanaan dan perawatan.
“Waktu itu sekitar tahun 2002, yang pasang pipa juga orang kami sendiri, sehingga putarnya jauh sekali. Air juga cepat kering. Akhirnya, air ini juga selesai, tidak sampai tiga bulan,” terang Sevrin (32), kepala salah satu dusun di kampung ini.
Plan Indonesia melalui Programme Implementation Area (PIA) Nagekeo kemudian berupaya menghadirkan air bersih di kampung ini. Namun, perencanaan matang masih terbentur berbagai hambatan teknis dan sosial.
“Dari semua upaya itu, yang paling berat adalah ketika kami butuh daya listrik yang sangat besar untuk naikan air ke kampung. Meteran yang ada tidak mampu mendukung pompa karena kami pakai metode antigravitasi. Setelah rekayasa teknik dan uji coba, ternyata kita butuh daya sebesar 10.600-watt agar pompa bisa mengangkat air ke reservoar penampung,” ungkap Kosmin (48), staf Plan Indonesia di Nagekeo yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak anak terhadap akses air bersih.
Hambatan teknis yang seolah tidak pernah selesai ini memicu gejolak sosial. Masyarakat yang masih percaya terhadap hal-hal mistis mulai ragu terhadap keberhasilan proyek ini. Partisipasi warga mulai menurun.
Menghadapi situasi ini, Philip dan John, dua staf lapangan Plan Indonesia, segera mengambil langkah advokasi strategis untuk membangkitkan kembali semangat gotong royong masyarakat. Momentum yang tepat datang ketika pompa hidran pengganti tiba di lokasi. Kerja keras bersama masyarakat setempat akhirnya berhasil menaikan air dari pela ke kampung.
Sumber Air Bersih Makin Dekat
Sejak saat itu, kampung-kampung kecil di Nagekeo ini mencatatkan sejarah baru. Hidran umum yang tersebar di seluruh kampung mulai berfungsi, mendistribusikan air bersih bagi seluruh warga. Jarak dari rumah ke hidran umum terdekat hanya 5 hingga 20 meter.
Selain itu masyarakat setempat juga membentuk Badan Pengelola Air Minum Desa yang masih mendapatkan pendampingan dari Plan Indonesia. Secara bertahap kelompok ini akan ditingkatkan kapasitas terkait pengelolaan, perawatan, hingga pengembangan saran prasarana air bersih yang sudah ada ini.
“Sekarang, air ada di dekat rumah. Anak-anak mandi ke sekolah tidak jauh di kali lagi, terima kasih, ini dulu kami kira tidak akan pernah bisa, sekarang sudah ada.” ujar Mama Reta.
“Kami sudah tidak ambil air di kali lagi, jadi pagi saya suka bantu mama masak dulu, baru saya mandi dan siap-siap ke sekolah. Tidak terlambat lagi, dan guru juga tidak suruh kami bawa air ke sekolah lagi,” tambah Eci yang berdiri di samping mamanya sambil tersenyum. (*/AN-01)