Oleh: Anselmus DW Atasoge
Staf Pengajar pada Stipar Ende, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ramadan menjadi bulan yang spesial bagi kaum Muslim lantaran maknanya yang amat mendalam. Secara umum, bulan ini dipandang sebagai bulan suci yang akan dilalui dengan tujuan untuk meningkatkan ketakwaan, memperbaiki diri, dan mempererat hubungan dengan Allah serta sesama manusia.
Pendiri organisasi NU, KH. Hasyim Asy’ari menyebut bahwa ramadan merupakan waktu untuk menyucikan diri, memperkuat iman, dan melatih kesabaran. Beliau menekankan pentingnya ibadah, seperti salat dan tadarus Al-Qur’an, sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah.

Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah memandang ramadan sebagai momentum untuk meningkatkan amal ibadah sekaligus merefleksikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Beliau menekankan pentingnya kesalehan sosial, seperti membantu komunitas dan menyelesaikan masalah masyarakat.
Secara spesifik, ulama dan penulis terkenal, Buya Hamka memaknai ramadan sebagai bulan introspeksi, di mana manusia tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga dari perbuatan tercela. Beliau sering menekankan nilai sosial ramadan, seperti berbagi kepada sesama dan peduli terhadap yang membutuhkan.
Di bulan ini umat Islam diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh: menahan segala hawa nafsu, berperilaku sabar, dan tahan akan adanya ujian. Rasulullah SAW bersabda, “Puasa (Ramadan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi).
Al-Ghazali mengingatkan bahwa puasa merupakan bagian dari iman (al-shaum rub’ul iman). Pendapat al-Ghazali didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: “berpuasa adalah separuh kesabaran” (al-shaum nisf al-shabr) dan “kesabaran adalah separuh dari iman” (al-shabr nisf al-iman). Berpuasa melatih kesabaran seorang hamba Allah untuk menjalankan perintah Tuhannya.
Inilah kesempatan umat Islam untuk melipatkangandakan amal saleh. Karenanya, ramadan menjadi bulan penuh dengan berbagai macam kebaikan serta keberkahan.
Bagi umat kristiani, prapaskah menjadi sebuah momen untuk melaksanakan retret agung selama empat puluh hari, masa merenung diri dan merenungi ‘jalan salib-Nya, Sang Mesias’ serentak masa membangun peradaban diri dan sesama melalui aksi puasa Pembangunan (APP). Masa yang ditetapkan Gereja Katolik bagi umatnya untuk melalukan perubahan batin, masa tobat, peralihan dari keburukan hidup menuju kebaikan hidup, baik secara individual maupun komunal. Inilah masa untuk memperbaiki kembali jalinan relasional antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan alam semesta.
Prapaskah berlangsung selama 40 hari, dimulai pada Hari Rabu Abu dan berakhir sebelum perayaan Minggu Paskah. Angka 40 melambangkan perjalanan rohani, mengacu pada masa 40 hari Yesus berpuasa di padang gurun.
Di masa selama 40 hari ini, secara umum umat Katolik diajak untuk melakukan empat hal penting. Pertama, pertobatan. Umat Katolik diajak untuk merenungkan kehidupan mereka, mengakui dosa-dosa, dan bertobat. Ini diwujudkan melalui sakramen tobat atau pengakuan dosa. Kedua, puasa dan pantang. Dua aktivitas ini bertujuan untuk melatih pengendalian diri, meneladani pengorbanan Yesus, serta meningkatkan kesadaran akan kebutuhan sesama.
Ketiga, doa. Masa prapaskah menjadi kesempatan untuk memperdalam hubungan dengan Allah melalui doa, meditasi, dan perayaan Ekaristi. Keempat, amal kasih. Umat Katolik diharapkan untuk melakukan tindakan berbagi dengan mereka yang membutuhkan, menjalankan nilai-nilai kasih dan pelayanan terhadap sesama.
Sejatinya, masa prapaskah juga menjadi momen refleksi mendalam untuk memahami pengorbanan Yesus dan mempersiapkan hati menyambut sukacita Paskah. Tentu dengan hati yang bersih, pikiran yang damai dan seluruh keadaan diri yang layak di hadapan Tuhan dan sesama.
Di tahun 2025 ini, ramadan dan prapaskah dilaksanakan dan dirayakan pada bulan yang sama (Maret-April). Keduanya dilaksanakan dan dirayakan dengan cara yang berbeda namun bermuara pada satu tujuan yang sama: kebaikan manusia di hadapan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta. Keduanya menjadi jalan bagi para penganutnya untuk memandang kehidupan sebagai anugerah terindah dari ‘yang ilahi’ dan menjadi momen untuk berbalik arah dari ‘kemungkaran’ menuju kebaikan bersama. Kaum muslimin menyebutnya ‘amar ma’ruf nahi munkar’, sebuah prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang berarti mengajak kepada kebaikan dan mencegah perbuatan buruk atau kemungkaran.
Prinsip ini menjadi landasan bagi setiap Muslim dalam menjalani kehidupannya, baik secara individu maupun dalam masyarakat. Tujuan akhir dari menjalankan amar ma’ruf nahi munkar adalah menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh berkah.
Saya kira, prinsip yang sama juga menjadi ‘bingkai’ bagi seluruh aktivitas umat Katolik selama masa prapaskah ini. Ramadan dan Prapaskah membangkitkan kembali impian untuk memperindah nilai tanggung jawab sosial seorang beragama dan beriman, di mana seseorang diharapkan tidak hanya memperbaiki diri sendiri, tetapi juga peduli terhadap kebaikan masyarakat di sekitarnya.
Kebaikan bersama yang pernah ‘terganggu’ oleh pesta demokrasi, yang sedang ‘diganggu’ oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang jauh dari demokrasi yang substansial, kiranya boleh kembali ‘dinikmati’ oleh segenap warga bangsa Indonesia.
Sekiranya, dua momen penuh berkah ini boleh menjadi ‘jalan-jalan kecil’ untuk melahirkan rahmat bagi para penganutnya tetapi juga terutama bagi Indonesia yang harmonis.(*)
Umat katolik dan umat islam menjalankan kewajiban dalam agamanya dimana, awal puasa bagi umat katolik diawali dengan penerimaan abu didahi. Bagi umat Islam bulan Ramadhan merupakan bulan suci untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Intinya puasa membantu para penganutnya untuk memperbaiki hidup dan tingkah lakunya.
Ibadah puasa umat beragama muslim harus meningkatkan amal bakti kepada sesama agar mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
Dan puasa bagi kaum penganut kristen harus bisa berpantang, apa yang buruk selama ini harus dirubah menjadi lebih baik sehingga pengorbanan Yesus tidaklah sia-sia.