Aksinews.id/Jakarta – Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) yang biasanya dipimpin politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kini berganti ke politisi Partai Amanat Nasional (PAN). Kebijakan menteri terkait tenaga pendamping profesional (TPP) desa pun jadi sorotan.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI dari PKB, Syaiful Huda menilai pengelolaan tenaga pendamping profesional di Kementerian/Lembaga (K/L) termasuk Kemendes PDT harus berdasarkan indikator yang jelas.
Hal itu disampaikan Syaiful Huda saat audiensi bersama anggota Perkumpulan Tenaga Pendamping Desa Indonesia (Pertepedesia). Sedikitnya 100 perwakilan Pertepedesia dari seluruh Indonesia menyampaikan pandangan atas aksi sepihak dari Kemendes PDT yang menggantung nasib mereka.
“Kami menilai pengelolaan tenaga profesional di kementerian/lembaga tidak boleh hanya didasarkan pada persoalan suka dan tidak suka tetapi harus didasarkan pada KPI yang jelas,” ujar Huda dalam keterangannya, Selasa 4 Maret 2025.
Dia menegaskan, alasan jika penghentian TPP di lingkungan Kemendes PDT karena faktor pencalegan cenderung dibuat-buat. Terlebih, tidak ada aturan yang melarang TPP menggunakan hak untuk dipilih dan memilih.
Bahkan dari laporan TPP, lanjut legislator PKB ini, ada korespondensi antara KPU dan Kemendes PDT yang menegaskan jika tidak ada masalah jika pendamping desa maju sebagai Caleg dalam Pemilu 2024.
“Lalu, tiba-tiba sekarang mereka dipersoalkan bahkan diberhentikan gara-gara mereka nyaleg. Padahal mayoritas mereka adalah TPP dengan masa kerja dan pengalaman panjang,” tuturnya.
Huda menegaskan jika TPP maju sebagai caleg tidak hanya didominasi salah satu partai politik. Dari laporan Pertepedesia, TPP yang maju caleg berasal dari lintas partai seperti PDI Perjuangan, PKB, Golkar, hingga Gerindra.
Dia meminta agar pengelolaan jasa profesional seperti pendamping desa di Kemendes PDT, pendamping keluarga harapan di Kemensos maupun penyuluh koperasi di Kementerian Koperasi dan UKM benar-benar dikelola secara profesional.
Sementara anggota Komisi V DPR dari PAN, A. Bakri HM menanggapi tudingan bahwa pemberhentian Tenaga Pendamping Profesional (TPP) alias pendamping desa, dilakukan sepihak dan didasarkan suka tidak suka (like dislike). Menurut Bakri, Komisi V DPR telah memberikan amanah kepada Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto untuk memilih tenaga profesional pendamping desa yang akan membantu tugasnya.
Bakri pun membantah tuduhan politisi PKB tersebut, karena pada prinsipnya TPP Kemendes adalah tenaga kontrak yang setiap tahunnya dilakukan evaluasi oleh menteri.
Dengan demikian, kata legislator PAN Dapil Jambi itu, ketika ada TPP yang tidak diperpanjang kontraknya, maka itu adalah langkah dari Mendes Yandri Susanto untuk mengevaluasi dan memilih figur profesional dalam struktur kerjanya.
“Jadi, apa yang dilakukan Menteri Desa itu sudah melaksanakan tugas sesuai dengan hasil rapat bersama DPR,” kata Bakri, Selasa (4/3/2025).
Bakri juga menepis anggapan pencopotan TPP itu semata karena alasan politis. Terutama, soal posisi TPP yang diberhentikan adalah mantan calon anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Dia meyakini Mendes Yandri tahu kebutuhan dalam membangun kinerja dari orang-orang yang profesional dengan pemikiran fokus membangun desa.
“Takutnya juga nanti terjadi kepentingan-kepentingan, oleh sebab itu pendamping desa perlu orang profesional yang murni betul memikirkan mensejahterakan masyarakat,” tuturnya.
Sementara itu, Perkumpulan Pendamping Desa Indonesia (Pertepedesia) berencana menggugat Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dugaan pemecatan sepihak ribuan tenaga pendamping profesional (TPP) desa di berbagai wilayah. Langkah ini diambil setelah Kemendesa PDT ngotot tidak melanjutkan kontrak para pendamping desa yang menggunakan hak politiknya dalam Pemilu 2024 lalu.
“Pertepedesia menilai Kemendes PDT tidak memberikan ruang klarifikasi cukup kepada anggota kami yang diberhentikan secara sepihak. Pertepedesia saat ini mengkaji secara serius membawa kasus ini ke jalur hukum, baik ke PTUN maupun menyiapkan pengaduan kepada Presiden Prabowo Subianto,” ujar Sekjen Pertepedesia, Bahsian Micro dalam keterangannya, Selasa (4/3/2025).
Dia menjelaskan, kebijakan pemberhentian TPP yang didasarkan pada status mereka sebagai mantan calon anggota legislatif (caleg) telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian bagi ratusan TPP di seluruh Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum kuat dan bertentangan dengan UU Nomor 6/2024 tentang Desa.
“Bahkan kebijakan penghentian kontrak TPP ini melanggar prinsip hak atas pekerjaan yang dijamin oleh UU Ketenagakerjaan. Penghentian ini akan memicu pengangguran baru yang tak perlu,” katanya.
Kebijakan penghentian TPP karena status mantan caleg, kata Bahsian, juga bersifat diskriminatif. Kebijakan ini menggenaralisasi jika semua TPP mantan caleg sebagai pihak yang berpotensi memiliki konflik kepentingan, tanpa mempertimbangkan integritas dan rekam jejak individu.
“Anggota Pertepedesia maju caleg tidak semata karena persoalan kekuasaan tetapi juga didorong keinginan untuk memperjuangkan desa mereka di ruang politik saat menjadi terpilih sebagai anggota legislatif,” katanya.
Bahsian menilai, penghentian massal TPP dapat menganggu program pembangunan desa yang sedang berjalan terutama di daerah tertinggal. Apalagi para pendamping desa yang dipecat adalah tenaga berpengalaman dengan masa kerja 4-8 tahun.
“Kebijakan Kemendes PDT ini mengancam pembangunan karena desa akan kehilangan tenaga pendamping yang berpengalaman melakukan advokasi baik dalam proses penyusunan, pengawasan, maupun evaluasi program pembangunan desa. Padahal berbagai program prioritas Presiden Prabowo seperti swasembada pangan bertumpu di kawasan perdesaan,” katanya.
Dari berbagai pertimbangan tersebut, kata Bahsian, Pertepedisia akan terus mendesak Kemendes PDT untuk mencabut kebijakan penghentian massal TPP karena status caleg. Pihaknya juga akan terus melakukan pendampingan hukum dan advokasi kepada para TPP yang terdampak kebijakan sepihak Kemendes PDT.
“Pertepedesia berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak TPP dan memastikan bahwa pembangunan desa dapat berjalan dengan adil dan berkelanjutan. Kami berharap langkah hukum ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki sistem dan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat desa,” ujar dia. (AN-01)
Terkait Masalah Pendamping Desa Pada Tahun 2015-2023 Dalam SOP Larangan Pendamping Desa tidak Boleh Berpolitik praktis, Tidak Boleh Rangkap Jabatan, Tidak Boleh Tender Proyek dll.
Beberapa Hal menjadi Catatan Serius adalah Banyak Desa Yang masuk Penjara Alasan Kurangnya SDM Pendamping Desa, Kerja Kirang Maksimal, Tidak Melakukan Advokasi Secara Baik sehingga Banyak Desa Yang Masuk BUI.