Oleh: Yurgo Purab
Alumnus SMA Seminari San Dominggo (Sesado) Hokeng
Saya coba merekam kembali ingatan semasa berada di lembaga pendidikan SMA Seminari San Dominggo Hokeng- Larantuka. Saat itu, Romo Agustinus Siswani Iri menjadi frater TOP bagi kami.
Romo Gusti pernah mengajar kami pendidikan agama Katolik, Dramaturgi serta beberapa mata pelajaran lainnya.
Di Seminari kami memiliki dua buku rapor: rapor kuning adalah buku rapor yang memuat mata pelajaran khas seminari seperti Akademi, Bahasa Latin, Konferensi, Dramaturgi, Bahasa Jerman dan lain sebagainya. Sedangkan buku rapor merah memuat rapor seperti SMA pada umumnya.
Saya ingat beberapa kali frater Gusti Iri yang masih muda dan energik itu memberi kami bekal pendidikan politik di seminari. Ketertarikan Romo Gusti Iri pada bidang politik dan hukum bukan setelah jadi imam tetapi saat dirinya masih menjadi frater TOP.
Frater Gusti yang masih muda itu tampak bersemangat memberi kami bekal politik meski waktu itu masa-masa kami “angin ribut” (masa nakal dan suka jail teman).
Frater Gusti pada masanya adalah sosok yang mau dibilang cukup bijaksana. Konon katanya, saat sidang nilai dan sikap di Seminari Hokeng, Romo Gusti pernah membela seorang siswa yang kedapatan mencuri buah-buahan di kompleks Seminari.
Akibat ketidakdisiplinan dan sikap mencuri ini, siswa seminari itu terancam dikeluarkan. Namun berkat frater Gusti Iri maka ia tetap dipertahankan.
Analogi frater Gusti waktu itu sederhana saja. Dalam pembelaannya, frater Gusti mengatakan apakah satu buah mangga bisa membatalkan panggilan seorang anak yang ingin menjadi imam Tuhan?
Analogi sederhana ini merupakan bentuk perhatian dan tanggung jawab frater Gusti pada masa itu guna mendukung panggilan para siswa di Seminari Hokeng.
Cara bicaranya yang tenang dan pelan serta sifatnya yang baik dan peduli terhadap para siswa menjadikan frater Gusti pada masanya adalah sosok yang dikagumi banyak siswa karena kedekatannya dengan para seminaris.
Sewaktu menjadi frater, Romo Gusti dan rekannya Romo Moses Watan Boro –guru Matematika kami di Seminari Hokeng sangat banyak memberi kami kontribusi dalam bidang pendidikan.
Setelah jadi imam, Romo Gusti Iri masih seperti yang dulu. Perawakannya kalem, tenang dan berwibawa. Suaranya pelan dan cara bicaranya amat teratur.
Tak banyak yang saya rekam. Tapi sejak jadi imam, beberapa tulisan Romo Gusti yang cerdas dan mendidik baik dari segi hukum dan pertimbangan politik-etis selalu memenuhi ruang media massa.
Ia sering tampil bersama rombongan para imam di jalan untuk membela kepentingan masyarakat banyak. Suara kenabiaannya tidak hanya bergetar di mimbar gereja namun memekik di jalan-jalan perjuangan. Ia adalah aktivis Gereja, yang diharapkan jadi penerus Romo Frans Amanue–imam berambut putih yang pernah berseteru dengan Bupati Felix Fernandez kala itu.
Romo Gusti Iri adalah salah satu pastor yang berani ke luar dari rasa nyaman dan merasakan betul perjuangan kaum marjinal. Ia perihatin bahkan peduli pada nasib masyarakat yang sering kali absen dari perhatian Pemda setempat.
Ia adalah sosok imam yang cerdas dan peduli. Kepeduliaannya merupakan bentuk kepedulian Kristus kepada umat-Nya. Kini, imam yang peduli itu kembali menghadap Tuhan. Tentu banyak orang kehilangan sosok imam yang satu ini.
Sebab, selama hidupnya Romo Gusti sungguh menghayati kata-kata Paus Fransiskus: Saya lebih memilih “Gereja yang memar, terluka dan kotor karena pergi keluar ke jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri” (Evangelii Gaudium, 49).
Ia telah pergi tetapi api perjuangannya terus menginspirasi. Selamat jalan Kaka Romo, Tuhan yang kita imani bersama menjemputmu di pintu rahim-Nya. ***