Larantuka – Rupanya manejemen PT BPR Bina Usaha Dana gerah dengan “manuver” debiturnya, Richardus Ricky Leo. Buntutnya, manejemen BPR membongkar “ulah” debiturnya dalam proses cicilan kredit yang berlarut-larut. Janji setor tunggakan kredit sebesar Rp.100 juta dengan harapan terjadi penjadwalan ulang pinjamannya, malah berujung gugatan di PN Larantuka.
Jumat (19/2/2021), manejemen BPR Bina Usaha Dana menggelar jumpa pers di kantornya, Larantuka, dipimpin langsung Direktur Utamanya, Monika V.I Fernandes, S.Sos didampingi Komisaris, Dominikus Demon, SH, Moses Kopong Beda, S.Sos (Direktur Kepatuhan), Marianus Mitak (Kabag Ekonomi Setda Flotim), Elisabeth Dahu Kehik (Kasubag Eko Setda Flotim), dan kuasa hukum Bank, Yoseph Pelipi Daton,SH. Monika membeberkan kronologi masalah hingga lahirnya gugatan dari debitur BPR Bina Usaha Dana, Richardus Ricky Leo.
Monika mengisahkan bahwa Richardus Ricky Leo mengajukan pinjaman pada tanggal 28 September 2018. Plafon pinjaman sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dengan suku bunga 13,2% per tahun, untuk jangka waktu 36 bulan. Lima bulan awal, cicilan sebesar Rp.19.388.900 per bulan, dibayar lancer.
Jadi, “Berdasarkan lampiran riwayat kredit yang bersangkutan maka tidak benar selama 6 (enam) bulan, sesuai dengan riwayat status kredit hanya 5 (lima) bulan sejak tanggal realisasi lancar yaitu bulan Oktober 2018 – Februari 2019, dengan besaran angsuran Rp.19.388.900 per bulan,” jelasnya.
Bulan keenam, Maret 2019, debitur Richardus Ricky Leo hanya menyetor Rp.3.250.000 dari total angsurannya Rp 19.388.900/bulan. Setoran yang tak sampai separoh dari angsuran bulanan itu lantaran dia mengaku mengalami kecelakaan berat dan tidak membuka tokonya selama 3 (tiga) bulan. “Hal ini bank tidak pernah diinformasikan baik secara lisan maupun secara tulisan. Bahkan, berdasarkan hasil kunjungan penagihan, usaha yang bersangkutan tetap dibuka yang dijaga oleh keluarga yang bersangkutan. Jawaban yang diberikan nasabah bahwa usahanya tetap berjalan dan dijaga oleh keluarga yang bersangkutan”, ungkap Monika Fernandez.
Sejak Juni 2019, papar Monika, debitur tidak pernah menjalankan kewajiban mengangsur kreditnya di BPR. BPR Bina Usaha Dana tetap melakukan pendekatan untuk pembayaran dan menawarkan jalan keluar penyelesaian tunggakan, baik secara tertulis maupun lisan. “Secara tertulis dengan SP I tanggal 19 Juni 2019, SP II tanggal 2 Juli 2019, dan SP III tanggal 23 Juli 2019. Namun dari SP I sampai SP III, debitur yang bersangkutan tidak menanggapinya. Hanya memberikan janji secara lisan”, tukasnya.
Bahkan, menurutnya, debitur pernah mendatangi kantor BPR. Dia pengakuan memiliki uang Rp.50.000.000 yang akan disetor. Saat itu, ia meminta bantuan bank melakukan rescheduling. BPR Bina Usaha Dana menyetujui.
“Ternyata ditunggu-tunggu yang bersangkutan tidak datang membawa uang tersebut. Akhirnya, petugas mendatangi yang bersangkutan. Yang bersangkutan berjanji bahwa uangnya masih ada di tabungan Bank Mandiri, dan akan dilakukan penarikkan siang nanti, karena tidak datang maka petugas mendatanginya. Namun jawaban nasabah bahwa uang Rp.20.000.000 sudah dipakai belanja barang kios,” ujarnya.
“Pihak bank meminta sisa Rp 30.000.000 itu diserahkan kepada bank. Namun nasabah bersangkutan beralasan bahwa nanti siang dia akan mengambil di Bank Mandiri, namun tidak pernah dilakukan. Petugas datangi lagi yang bersangkutan, tapi dia beralasan bahwa kartu ATM eror”, jelas Monika Fernandez.
Minggu berikutnya, kisah Iren, nama panggilan Minika Fernandez, petugas BPR kembali mendatangi debitur Richardus Ricky Leo. Uniknya, dia mengaku kalau duitnya cuma tersisa Rp.15.000.000. Petugas bank minta agar disetor saja duit itu. Tapi, dia malah beralasan masih sibuk.
Terus-terusan di ping pong, pihak bank mengambil sikap tegas. Bank mengeluarkan Surat Pemberitahuan Pemasangan Papan Pengawasan tanggal 7 Agustus 2019 sesuai dengan SPK pasal 8 tentang Ingkar Janji. Saat itu, debitur melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan keringanan. Dia membawa uang senilai Rp.5.000.000 untuk angsuran kredit.
Namun karena jumlah uangnya tidak sesuai dengan kesepakatan, maka pihak bank menyarankan untuk dititipkan di rekening tabungan debitur sambil melengkapi kekuranggannya hingga mencapai Rp 50 juta. Rencananya, jika disetor Rp 50 juta baru dilakukan rescheduling. Namun kuasa hukum debitur menolak, dan membawa kembali uangnya. Pihak bank kembali menyurati debitur dan menegaskan akan tetap melakukan pemasangan papan pengawasan pada tanggal 8 Agustus 2019.
Melalui kuasa hukumnya, bank mengajukan somasi 1 tanggal 26 Agustus 2019. “Itu pun tidak ditanggapi oleh yang bersangkutan”, papar Iren, sehingga tanggal 4 September 2019, Bank mengajukan Somasi II. Tapi, “Juga tidak ditanggapi oleh yang bersangkutan.”
Karena yang bersangkutan tidak menanggapi somasi I dan II pada tanggal 8 September 2019, Kuasa Hukum Bank mengajukan permohonan eksekusi lelang atas sertifikat hak tanggungan. Tanggal 2 Oktober 2019 melalui kuasa hukum, Bank mengajukan Somasi III. Tanggal 29 Oktober 2019, Ketua PN Larantuka menetapkan anmaning kepada termohon (debitur).
Dan, berdasarkan anmaning tersebut, debitur menghadap ketua PN Larantuka dan menyatakan akan membayar tunggakan sebesar Rp.100.000.000 ke bank pada bulan Nopember 2019. Selanjutnya, dibuat rescheduling sesuai kemampuan debitur. “Itu pun, sampai pada akhir Nopember 2019 debitur belum melakukan penyetoran ke Bank, akhirnya debitur menjanjikan akan menyetor Rp 100.000.000 pada tanggal 27 Desember 2019,” ungkap Monika Fernandez.
Tanggal 17 Desember 2019, debitur mendatangi bank dengan membawa Rp.50.000.000, dan oleh Pimpinan Bank disarankan untuk dititipkan ke rekening tabungan debitur sambil menunggu kekurangannya dilengkapi. Namun debitur menolak bahwa akan menggenapi sekaligus.
Monika Fernandez mengatakan bahwa bukti fisik uang Rp.50.000.000 tidak pernah diperlihatkan ke bank hingga saat ini. Bahkan, debitur menjanjikan untuk menjual beberapa asset (mobil dan tanah) untuk mengurangi baki debet kredit yang bersangkutan. Sampai pada proses penjualan asset tersebut debitur sama sekali tidak menyetor ke bank. Proses hukum tetap berjalan sampai pada lelang eksekusi. Pihak debitur melakukan gugatan perlawanan sehingga pada saat mediasi debitur menawarkan menyetor Rp. 100.000.000 ke Bank dan melakukan Rescheduling, tetapi karena pihak Bank mempertimbangkan proses hukum sudah berjalan sampai pada lelang eksekusi sehingga permintaan tersebut ditolak dan meminta untuk melakukan pelunasan. “Tanggal 20 Januari 2020, debitur melalui kuasa hukumnya menggugat Bank di Pengadilan Negeri Larantuka”, tutup Monika. (Yurgo Purab)