Anselmus D. Atasoge
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pastoral Reinha – Larantuka
Myanmar tengah tercabik-cabik oleh kudeta militer. Dalam beberapa hari terakhir ini, PBB telah menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kekerasan dalam bentrokan antara petugas polisi dan warga sipil di negara itu. Peristiwa ini telah melahirkan protes massal di negara-negara di Asia Tenggara semenjak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021.
Dilaporkan bahwa setidaknya 54 orang tewas dalam aksi protes yang menyerukan diakhirinya pemerintahan militer dan pembebasan para pemimpin pemerintah terpilih negara itu, termasuk Aung San Suu Kyi, yang digulingkan dan ditahan dalam kudeta tersebut.
Salah satu peristiwa yang paling menarik perhatian media-media dari pelbagai belahan dunia adalah peristiwa biarawati Katolik yang menghadapi sekelompok perwira keamanan bersenjata berat demi menyelamatkan nyawa para pengunjuk rasa di kota Myitkyina di wilayah utara Myanmar.
Sembari berlutut di tanah, dengan tangan terentang lebar, suster Ann Rose memohon kepada para perwira itu agar meninggalkan kompleks Gereja. Kata-kata permohonannya kemudian menjadi viral di jagad media: “Jika Anda benar-benar perlu membunuh, silakan tembak saja saya, saya akan menyerahkan nyawa saya!” Kalimat lainnya: ‘Jika Anda benar-benar perlu membunuh, saya bisa menyerahkan hidup saya!’ Lantas, dua orang perwira bergabung dengannya seraya berlutut di jalan. Mereka menangkupkan tangannya dalam posisi berdoa, seraya berujar bahwa mereka juga memiliki tugas yang harus dipenuhi.
Kepada BBC Burma setelah insiden di Myitkyina, Suster Ann Rose berkisah: Dalam peristiwa itu, ada anak-anak yang terperangkap dan mereka tidak tahu harus lari ke mana, mereka sangat ketakutan katanya. Anak-anak itu kemudian mengelilingi saya, mereka kelaparan, kehausan dan ketakutan, serta tidak berani pulang. Sementara itu, aparat militer terus menembak ke arah kerumunan pengunjuk rasa anti-kudeta di wilayah tersebut. Ada begitu banyak suara tembakan sehingga saya harus lari ke arah gereja. Ia meneriaki orang-orang agar tenang, tetapi tidak ada yang bisa mendengarnya pada saat itu. Ia menambahkan situasi itu ia rasakan seperti dunia sedang runtuh. Suster Ann Rose dipandang menjadi simbol persatuan di Myanmar. Aksinya telah dipuji secara luas di negara yang mayoritas penduduknya memeluk Buddha itu.
Membaca kisah tentang Suster Ann Rose, saya teringat akan beberapa kisah senada. Ada kisah Lassana Bathily, seorang Mali yang bekerja sebagai asisten di sebuah toko supermarket makanan halal Hypercacher di Porte de Vincennes di timur Paris. Bathily juga dipuji sebagai pahlawan dalam krisis sandera untuk menyembunyikan orang-orang dari pria bersenjata yang bernama Amedy Coulibaly, yang menyerang orang-orang di supermarket tersebut dan membantu polisi setelah melarikan diri.
Selama penyanderaan itu, Bathily membantu menyembunyikan sandera yang umumnya dari kalangan Yahudi dalam the downstairs cold storage room (wadah penyimpanan dingin di ruang bawah tanah). Ketika Coulibaly melepaskan tembakan di dalam supermarket yang menewaskan Cohen, Hattab, Saada, dan Braham dan menyandera, Bathily memimpin lima belas orang ke ruang bawah untuk menyelamatkan diri. Bathily kemudian bisa melarikan diri sendirian dengan menyelinap keluar dari toko menggunakan peralatan lift. Setelah meninggalkan toko, dia segera diborgol dan ditangkap oleh polisi yang mencurigainya berperan dalam serangan itu. Dia dibebaskan setelah satu setengah jam. Bathily juga memberi petugas kunci untuk membuka tirai supermarket.
Ada juga kisah Mohammad Salman Hamdani, seorang Pakistan Amerika ilmuwan Departemen Kepolisian Kota New York kadet dan Darurat Medis Teknisi. Hamdani tewas pasca serangan teroris 9/11 di World Trade Center, tempat dia pergi untuk mencoba membantu para korban.
Diyakini bahwa pada pagi hari tanggal 11 September 2001, dalam perjalanan ke Universitas Rockefeller, Hamdani menyaksikan asap yang berasal dari Menara Kembar dan bergegas ke tempat kejadian untuk membantu korban, menggunakan identitas polisi dan EMT miliknya untuk dapat berkendara melalui jalur lalu lintas terbatas.
Dalam minggu-minggu setelah 9/11, muncul laporan bahwa Hamdani diselidiki karena dipandang memiliki kemungkinan keterlibatan dengan para pelaku. Namun, kecurigaan ini terbukti salah dan dia kemudian dipuji sebagai pahlawan oleh walikota dan komisaris polisi New York City.
Hemat saya, Ann Rose, Lassana Bathily dan Salman Hamdani memiliki “jiwa the good samarithan”, sebuah terminologi biblis-injili dari perspektif Katolik. Orang Samaria yang murah hati, suku yang dipandang asing oleh kelompok Yahudi itu, rela melepaskan prasangka buruk terhadap bangsanya dan melakukan sebuah passing over. Dia tidak melewati korban perampokan dari pinggiran jalan lain seperti dua tokoh yang lainnya. Ia menambatkan tunggangannya, mendekati korban, memapahnya, membopongnya dan mengantarkannya ke tempat perawatan. Dia tidak meninggalkannya begitu saja melainkan ‘mengurusinya’ meski dia tak kenal siapa orang yang dibantunya. Dia tidak menjadikan ketidak-kenalannya itu sebagai halangan untuk berbuat baik.
Ada sebuah perasaan sekaligus impian yang sama yang hendak ditampilkan oleh Suster Ann Rose dan kedua tokoh di atas. Perasaan dan idealisme itu berkaitan dengan perjuangan mewujudkan jati diri kemanusiaan. Ada semacam satu ‘gerakan ke pinggiran jalan lain’ atas dasar kemanusiaan.
Dari perspektif Studi Antariman, aksi-aksi heroik tersebut merupakan contoh implementasi ajaran agama-agama yang tak henti-hentinya mengajarkan tentang kesaling-mengasihi antara seorang dengan “yang lain” sekalipun dia yang lain itu amat berbeda. Saling mengasihi tanpa mempertimbangkan siapakah diri yang lain itu, apa agamanya, apa keyakinannya, apa sesembahannya, apa budayanya, apa prinsip hidupnya.
Kisah Suster Ann Rose dan dua kisah yang lain mengisyaratkan tema tentang penerimaan ‘yang lain’ sebagai yang berbeda. Hemat saya, dasar penerimaan keberbedaan itu adalah mulianya harkat dan martabat manusia. Siapapun manusia dengan segala latar belakang yang dibawanya sejak lahir adalah mulia di mata Tuhan, serentak pula di mata manusia. Agama anak-anak Abraham (Yahudi, Kristen dan Islam) mengajarkan tentang kebaikan dan agama itu sendiri merupakan sebuah kekuatan untuk kebaikan, tulis Chaiwat Satha-Anand.(*)