Aksinews.id/Jakarta – Ini peringatan bagi para calon anggota DPD RI, para calon angota legislatif maupun para calon presiden. Jangan sekali-kali menggunakan tempat ibadah untuk berkampanye. Sebab, akan ada sanksi dan bahkan dendanya.
Hal itu disampaikan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Lolly Suhenty di Jakarta Pusat, Sabtu (25/3/2023). “Sanksi yang berkenaan dengan Pasal 280 itu sifatnya pidana, dalam konteks ini kita harus hati-hati.”
“Ketika Bawaslu melakukan penanganan pelangaran, dia pasti akan diiringi dengan upaya pencegahan,” kata Lolly Suhenty.
Sebagai informasi, Pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur hal-hal yang dilarang dalam kampanye. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka termasuk dalam tindak pidana pemilu.
Larangan tersebut di antaranya ialah menghina agama, suku, ras, golongan calon atau peserta pemilu. Kemudian menghasut dan mengadu domba masyarakat. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Hingga menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
“Ini yang sedang kami lakukan saat ini memastikan seluruh teman-teman parpol yang memang sudah punya nomor itu tidak lakukan yang sebagaimana dilarang,” jelasnya.
Berdasarkan Pasal 521 UU Nomor 7 Tahun 2017, peserta pemilu yang melanggar larangan kampanye sebagaimana diatur Pasal 280, akan dipidana 2 tahun penjara dan denda Rp24 juta.
“Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar Larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah),” bunyi Pasal 521.
Bawaslu RI juga menegaskan, peserta Pemilu 2024 dilarang berkampanye di tempat ibadah. Larangan keras peserta Pemilu 2024 kampanye di tempat ibadah, sejalan dengan amanat Pasal 280 Undang Undang (UU) Pemilu.
Dalam lampiran penjelasan Pasal 280 huruf (h) UU Pemilu, peserta Pemilu 2024 hanya boleh memakai tempat ibadah, ketika diundang oleh pihak penanggung jawab tempat ibadah dan tidak memakai atribut kampanye pemilu.
“Jika peserta pemilu hadir (di tempat ibadah) dengan catatan tidak membawa atribut kampanye, catatan kedua diundang. Jadi peserta kampanye hadir (di tempat ibadah) jika diundang,” kata Lolly.
“Catatan ketiganya di Bawaslu ditambah aturannya, (peserta pemilu) diundangnya (ke tempat ibadah) tidak boleh hanya salah satu peserta pemilu saja,” sambungnya.
Lebih lanjut, Bawaslu mendukung langkah Kementrian Agama yang menyatakan mesjid tidak boleh menjadi tempat ajang kampanye. Bahkan di Bawaslu pun, kata Lolly, semangat larangan kampanye di tempat ibadah tidak didefinisikan hanya masjid, namun mushola, surau, klenteng, pura, gereja juga tidak boleh dijadikan arena kampanye.
“Di halaman tempat ibadah juga tidak boleh, pagarnya juga tidak boleh karena itu masih dalam ruang lingkup tempat ibadah,” tegas Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas ini.
Lolly menilai masjid merupakan tempat tumbuh-kembang peradaban Islam serta tempat untuk melakukan pendidikan. Dia meyakini masjid akan menjadi garda terdepan untuk menjaga kerukunan umat, termasuk dalam konteks pemilu.
“Kita semua harus memastikan Pemilu 2024 berjalan dengan baik, lancar, dan tentu penuh keadaban. Mesjid pun bisa jadi pelopor bagaimana moderasi beragama kuat mengawal Pemilu 2024,” harap Lolly, sebagaimana dilansir wartakotalive.com.
Selama masa kampanye, apa saja larangan pejabat negara hingga pejabat di tatanan desa? Koordinator Divisi Humas, Data dan Informasi Bawaslu Provinsi DKI Jakarta, Sitti Rakhma menjelaskan bahwa hal tersebut sudah diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 282.
Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye. Pasal itu berbunyi:
- Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
- Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Mengenai dana kampanye, Sitti Rakhma menuturkan laporan dana kampanye calon anggota DPD dimuat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 334.
Laporan dana kampanye calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di antaranya sebagai berikut;
- Pasangan calon dan tim kampanye di tingkat pusat wajib memberikan laporan awal dana Kampanye pemilu dan rekening khusus dana kampanye pasangan calon dan tim kampanye kepada KPU paling lama 14 (empat belas) hari setelah Pasangan calon ditetapkan sebagai peserta pemilu Presiden dan Wakil presiden oleh KPU.
- Partai Politik Peserta pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya wajib memberikan laporan awal dana Kampanye pemilu dan rekening khusus dana Kampanye pemilu kepada KPU, KPU Provinsi. Lalu, KPU Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan Kampanye Pemilu dalam bentuk rapat umum.
- (3) Calon anggota DPD peserta pemilu wajib memberikan laporan awal dana kampanye pemilu dan rekening khusus dana Kampanye Pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan Kampanye pemilu dalam bentuk rapat umum.
Batas Besaran Dana Kampanye Calon Anggota DPD Undang-undang No. 7 Tahun 2017 sebagai berikut:
- Dana Kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) huruf b tidak melebihi Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
- Dana Kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) huruf b tidak melebihi Rp 1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah);
- Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan identitas yang jelas. (*/AN-01)