Sabtu, 12 Maret 2022
Mikha 7:14-15.18-20; Luk.15:1-3.11-32
Prapash II
“Aku tak layak disebut anak Bapa, jadikan aku sebagai salah seorang upahan”
(Mat. 15:19)
Merasa tak layak merupakan sebuah kesadaran tentang diri yang berdosa. Kesadaran demikian menjadi kunci menghantar anak bungsu pada jalan kembali. Jalan pertobatan. Ia telah pergi dan berfoya-foya. Habiskan harta hingga melarat. Dan ketika terpuruk, ia temukan momen balik. Ia sadari keadaannya, lalu berbisik dalam hati “Aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap Bapa”.
Ia meniatkan segera kembali, apapun resikonya. Entah tak di terima, bahkan diusir pergi. Ia merasa diri tak layak diterima sebagai anak. Maka niatnya hanya minta jadi hamba di rumah ayahnya, tanda sesal dan silih atas dosanya.
Dan betapa kasih Allah melampaui rasa bersalah dan harapan si bungsu. Ia bahkan tetap diterima sebagai Anak. Bukan orang upahan, apalagi hamba. Hal yang terlihat dalam pemberian terbaik dari Bapa seperti Jubah dan sepatu terbaik, lebuh tambun, cicin di jari. Untuk apa? Supaya aib dosa si bungsu dihapus dan melayakan dia tetap sebagai anak.
Si Bungsu adalah kita. Yang sering keras hati dan tegar tengkuk. Dengan tahu dan mau, memilih ‘pergi”, hidup sesuka hati, tak peduli bisikan nurani, dan menjauh dari kasih Allah karena dosa. Maka seharusnya mesti diberi pelajaran sebagai hukuman.
Dan sang Ayah (ALLAH) memberi kita pelajaran bukan tentang hukuman melainkan tentang kasih yang tak berubah. Allah senantiasa menanti kita kembali. Ia akan merangkul kita dalam kasihNya saat kita menyadari dosa kita dan dengan tulus hati menyesalinya.
Kiranya masa tobat ini menggetarkan niat tulus di hati untuk menempuh jalan kembali. Dan berusaha tidak menjauhi dan memojokan siapapun, melainkan dengan rendah hati saling memberi maaf serta tetap saling menerima sebagai saudara yang sama-sama dari debu tanah.
Selamat berpuasa. Tuhan memberkati. SALVE.***
RD. Wens Herin