Aksinews.id/Managua – Uskup Gereja Katolik Rolando Alvarez dijatuhi hukuman lebih dari 26 tahun penjara oleh pengadilan di Nikaragua, Jumat (10/2/2023). Monsigneur Alvares menolak dideportase ke Washington DC, dan memilih dipenjara di Nikaragua.
Pemimpin keuskupan Matagalpa yang lantang mengkritik Presiden Daniel Ortega itu dinyatakan bersalah atas pengkhianatan kepada negara, merusak integritas nasional, menyebarkan berita palsu, dan sejumlah dakwaan lainnya. Selama sidang hari Jumat juga diumumkan bahwa dia akan didenda dan dicabut kewarganegaraannya.
“Kebencian kediktatoran Nikaragua terhadap Monsigneur Rolando Alvarez tidak rasional dan di luar kendali,” tulis Silvio Baez, seorang uskup senior Nikaragua yang mengasingkan diri di Miami, melalui Twitter setelah hukuman tersebut, seperti dikutip jpnn dari reuters.
Alvarez termasuk dalam lebih dari 200 orang tahanan politik yang dibebaskan oleh pemerintah Ortega pada Kamis (9/2/2023). Namun, sang uskup menolak naik pesawat yang telah disiapkan untuk membawanya bersama eks tapol lainnya ke Washington DC.
Dalam pidato yang disiarkan televisi Kamis malam, Ortega mencemooh para tahanan yang dibebaskan sebagai kriminal tentara bayaran asing yang berusaha merongrong kedaulatan nasional, dan mengatakan Alvarez telah dikembalikan ke penjara.
Agustus lalu, polisi menangkap Alvarez setelah mengusirnya dari gereja tempat dia bersama empat imam lain dan dua seminaris dari keuskupannya membarikade diri. Seorang juru kamera untuk saluran televisi Katolik juga ditangkap bersama mereka.
Bulan ini, tujuh pria dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas tuduhan makar dan menyebarkan berita bohong. Namun, semuanya naik pesawat ke Washington pada hari Kamis lalu.
Ortega menuduh para pemimpin Katolik berusaha menggulingkannya ketika beberapa bertindak sebagai mediator dengan kelompok demonstran saat unjuk rasa besar-besaran mengguncang negara itu pada tahun 2018.
Sejak itu, rezim mantan pemberontak Marxis era Perang Dingin tersebut telah mengusir biarawati dan misionaris Katolik serta menutup stasiun radio dan televisi Katolik.
Setelah penangkapan Alvarez pada Agustus lalu, Paus Fransiskus menyerukan dilakukannya dialog terbuka dan tulus untuk menyelesaikan konflik di Nikaragua.
Komentar tersebut menandai satu-satunya ucapan Paus Fransiskus setelah protes tahun 2018, dan dia tidak secara khusus menyebut nama Alvarez.(*/AN-01)