Part I
Terima Kasih kepada langit yang telah menitipkanmu pada rahim Yohana,
Ibu bagi segenap bangsa manusia…
“Sejujurnya tidak ada yang lebih besar dari harapan saya, selain kebersamaan”.
Langit selalu begitu mengingatkan saya pada pertemuan pertama, pertengakaran, juga peluk erat yang menjadikan kita bertahan sampai hari ini.
Malam ini kita gelisah,
ada debaran dilema yg sulit untuk diterjemahkan.
Berharap untuk tinggal.
Kepelabuan manakah kita memutuskan untuk berlabuh….Entalah….
Sengaji…
Untuk mematahkan segala inginku, sesekali aku harus berusaha menyiksa batin memberikan pelajaran pada diriku bahwa cinta itu menguatkan bukan melemahkan,
Cinta mesti membawa bahagia bukan tangisan.
Ahh….ini sungguh sangat menyakitkan. Kamu akan tau siapa aku sebenarnya bahwa didepan patah hati aku bukan apa-apa dan siapa-siapa.
Hujan luruh dari kelopak mengisi penuh ruang harapan dengan luka.
Aku harap kau kau tahu bahwa disela rinai yg paling luka itu, kau masih kujaga dengan doa yg kulantunkan dalam bait-bait puisiku.
Kau akan senantiasa kupeluk dalam sujud paling setia diujung malam…
Gelisah ini akan kudekap
Bersama sunyi yang bergemuruh
Dan sepih yang bergema
Meski air mata harus kutelan bersama kepedihan,
Akan kupastikan padamu bahwa rindu ini akan tetap jadi milikmu seutuhnya….
Sengaji…
Bila keluh berujung amarah
bisakah kau pastikan padaku bahwa
Kau akan tetap tinggal…
Bila rindu sulit ditebus
Pastikan bahwa kau selalu meramu doa terbaik di sepertiga malammu untuk memelukku…
Semoga kita tetap membuat Tuhan sibuk dengan segala aminmu dan aminku, saat rindu menghardik dalam sunyi…
Kenangan tentang kibaran bendera, baliho-baliho yang bertuliskan “Breun Center Vs Motong enak tapi dosa” ataupun “Rampas saja hatiku jangan rampas tanahnya rakyat” dan juga teriakan revolusi yang memekikan telinga para politisi bedebah di gedung bale gelekat
Tentu kamu tetap ingat dan semoga kamu tetap jatuh cinta dengan pertemuan pertama itu…
Percayalah detak jantungku akan tetap berdenyut didadamu…
Kota Tua Larantuka, 29 Desember 2020