Aksinews.id/Lewoleba – Peserta workshop ‘Penguatan Kelembagaan DESBUMI (Desa Peduli Buruh Migran) – PPT & Paralegal’ mendesak Pemerintah Kabupaten Lembata untuk mengimplementasikan Perda Lembata Nomor: 15 Tahun 2015 dan Perbup Nomor 3 Tahun 2017. Pasalnya, dua aturan itu mendorong Pemkab untuk mengupayakan pelayanan dokumen keimigrasian bagi calon buruh migran di Lembata.
Workshop ini digelar Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) bekerjasama dengan Migrant Care-Jakarta di aula Hotel Annisa, Lewoleba, Lembata, Kamis (26/1/2023). Forum ini menghadirkan dua narasumber, yakni Petrus Payong dari Dinas Nakertrans Lembata, dan Hubertus Benediktus Holo, Sub Koodinator Substansi Fasilitasi Keuangan dan Aset Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Lembata.
Saat sesi tanya jawab, para peserta hampir senada, mendesak Pemerintah Kabupaten Lembata agar mengimplementasikan Perda dan Perbup tersebut. Menurut mereka, aturan yang saling terkait soal buruh migran itu digembar gembor sebagai salah satu capaian Indonesia dalam proses ratifikasi konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran. Tapi, kenyataannya di lapangan justeru tidak jalan sama sekali.
Mereka mencontohkan, urusan paspor ataupun visa jalan ke luar negeri harus diurus di Kupang, Maumere atau bahkan di Nunukan, Kalimantan. Dan, biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit.
“Urusan paspor di Kupang biaya normalnya 300 ribu rupiah. Tapi kalau mau cepat, harus bayar sampe satu juta rupiah. Kalau pelayanannya di Lembata, kita tidak perlu jauh-jauh ke Kupang atau ke Maumere,” ungkap seorang peserta, yang mengaku sebagai mantan buruh migran saat sesi tanya jawab.
“Kalau di Nunukan, kita harus siapkan sampai Rp.3 juta. Sehingga kami harapkan Pemerintah Kabupaten bisa mengurus pelayanan di sini saja,” ujar peserta workshop.
Menanggapi desakan peserta lokakarya, Petrus Payong menjelaskan bahwa pihaknya selalu mengajukan kajian dan pertimbangan kepada pimpinannya untuk mendorong hal ini. “Ini sempat dibicarakan di tingkat atas. Waktu itu, pihak Imigrasi menyatakan siap membuka unit pelayanan disini asalkan Pemkab menyiapkan gedungnya. Bahkan, pak bupati (Eliaser Yentji Sunur, alm) sempat ke Malaysia untuk menjajaki urusan ini. Tapi, setelah beliau meninggal, belum dilanjutkan lagi,” jelasnya.
Menurut dia, Kadis Nakertrans Lembata, Rafael Betekeneng, belum lama ini, sudah melakukan pembicaraan dengan pihak Imigrasi di Maumere. “Mudah-mudahan pembicaraan Pak Kadis dengan Imigrasi Maumere bisa membawa dampak dibukanya kantor layanan di Lembata,” ujarnya, singkat.
Saat menyampaikan materi bertajuk ‘Peran Desa dalam Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan Keluarga PMI Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017’, Petrus Payong menegaskan bahwa desa merupakan pintu pertama keberangkatan PMI. “Peran pemerintah desa sebagai ujung tombak keberhasilan penyelenggaraan penempatan PMI begitu penting. Pemantauan keberangkatan bahkan situasi bekerja di negara tujuan maupun kepulangan PMI ke daerah asal diharapkan dapat dicermati secara baik oleh pemerintah,” ujarnya.
Sayangnya, kata dia, pola keberangkatan PMI keluar negeri yang tidak prosedural. “Alasan mendasar dan urgent sehingga mengambil keputusan untuk bekerja ke luar negeri jangan sampai mengabaikan prosedur legal yang diatur oleh pemerintah. Pemalsuan dokumen, penipuan yang dilakukan oleh oknum perekrut sudah menjadi masalah yang seringkali terjadi,” tandas Petrus Payong, mengingatkan.
Menyitir pasal 42 UU 18 Tahun 2017, Petrus Payong mengingatkan aparat desa yang hadir akan tanggungjawab pemerintah desa dalam urusan PMI. Dia menegaskan bahwa pasal itu sudah secara jelas mengatur mengenai layanan administrasi bagi calon PMI, pemantauan keberangkatan dan kepulangan PMI, hingga pemberdayaan calon PMI, PMI maupun anggota keluarganya.
“Pemberdayaan ekonomi terhadap PMI sangatlah diperlukan seperti edukasi yang baik tentang pengelolaan keuangan, kewirausahaan serta pemberdayaan ekonomi produktif lainnya,” tandas Petrus Payong.
Sementara Hubertus Benediktus Holo, yang akrab disapa, Hubert Kedang, memaparkan materi bertajuk ‘Optimalisasi Dana Desa Untuk Peningkatan Tata Kelola Migrasi Aman Di Tingkat Desa’. Ia menjelaskan mengenai arah kebijakan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa yang selaras dengan upaya terpadu Pembangunan Desa untuk percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs (sustainable development goals).
Dia mengingatkan aparat desa agar tidak gegabah menggunakan dana desa untuk ikut menangani masalah PMI. Akan tapi, kata dia, harus diselaraskan dengan Permendesa Nomor 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023.
Hubert memberi contoh-contoh kegiatan yang dapat diintervensi dengan dana desa, dan dapat dianggarkan dalam APBDes. “Asalkan mekanismenya berjalan sesuai aturan, seperti sudah masuk dalam RPJMDes,” tandasnya.
Menurut dia, hal yang sudah dapat dilakukan dengan intervensi dana desa adalah pendataan PMI. Dikatakan, salah satu program prioritas dalam penggunaan dana desa adalah perbaikan dan konsolidasi data SDGs desa dan pendataan perkembangan desa melalui indeks desa membangun. “Nah, ini termasuk didalamnya adalah data tentang buruh migran kita. Dan, ini menjadi keharusan di semua desa karena menjadi kebijakan nasional,” tandasnya.
Direktur YKS, Mansetus Balawala saat membuka workshop ini, menjelaskan bahwa DESBUMI di Lembata dilaunching oleh Menteri Tenaga Kerja RI, waktu itu, Hanif Dakiri di Lembata. Namun perkembangannya, menurut dia, masih belum menggembirakan.
Kendati begitu, jelas dia, tahun ini pihaknya akan mengembangkan lagi DESBUMI di tiga dari enam desa yang sedang dijajaki. “Desa mana saja yang terpilih, masih sedang berproses,” jelasnya. (AN-01)