Aksinews.id/Lewoleba – Kapolres Lembata AKBP Dwi Handono Prasanto benar-benar menepati janjinya untuk mengumumkan tersangka pelaku tindak kekerasan terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Yosef Kapaso Bala Lata Ledjab alias Balbo (33). Namun baru oknum berinisial ID sendiri yang ditetapkan menjadi tersangka.
Adanya penetapan tersangka itu diketahui dari Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang dikirim kepada keluarga Balbo. Dalam SP2HP itu, Polres Lembata menjelaskan, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap empat orang saksi berikut bukti-bukti permulaan tindak pidana penganiayaan terhadap Balbo.
Empat orang saksi yang diperiksa oleh penyidik polres Lembata antara lain Kristoforus Igo Elanor, Petris Daton, Petrus Bulet Diaz, Yulianus Basilius Ata Pito Henakin.
Keterangan para saksi dan pemeriksaan barang bukti, Polres Lembata menerapkan SLB alias ID sebagai tersangka.
“Tidak menutup kemungkinan ada penetapan tersangka lainnya,” tulis Kapolres Lembata melalui Kasat Reskrim I Wayan Pasek Sujana, SH dalam SP2HP, 21 Januari 2023, setelah penyidik melakukan gelar perkara.
Sejak awal, kasus pengeroyokan oleh sekelompok orang yang diduga kuat personil polisi ini mengundang perhatian publik. Korban dianiaya hingga babak belur. Bahkan, ia sempat diikat, dihajar, dan dibiarkan dalam kondisi terikat tak berdaya.
Keluarga yang menemukannya langsung mengadukan kasus ini ke SPKT Polres Lembata, dan membawa Balbo untuk melakukan visum luar. Proses penyelidikan dan penyidikan berjalan tersendat-sendat hingga komunitas BEKUK melancarkan aksi unjukrasa di Mapolres Lembata, mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus pengeroyokan dan penganiayaa ODGJ ini.
Sekalipun proses penyidikan sudah berjalan, keluarga korban masih mempersoalkan pasal-pasal pidana yang diterapkan dalam menjaring tersangka pelaku. Bahkan, praktisi hukum pun ikut mempersoalkannya.
Pengacara muda asal Lembata, Mathias Stiphout Bala Kayun, SH.,MH mengingatkan masyarakat Lembata untuk terus mengawal kasus ini karena yang terpenting adalah sejauhmana penerapan pasal yang tepat agar korban dan keluarga memperoleh keadilan. Mencermati dan mempelajari sangkaan yang tertuang dalam Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), dia meyakini bahwa sangkaan pasal 170 ayat 1, Subsider 351 ayat 1 junto 55 ayat 1, pasal 64 ayat 1 adalah tidak tepat.
“Kalau korban mengalami luka, maka jelas sangkaan yang tepat adalah pasal 170 ayat 2e. Kalau ayat 1 itu kan kekerasan secara umum. Karena itu harus dikawal biar korban dan keluarga tidak dirugikan,” ujar Mathias.
Dia juga tidak setuju jika subsider yang disangkakan adalah 351 yang adalah penganiayaan ringan, karena pasal 170 ayat 2e ancaman hukumannya 7 tahun dan tidak akan sinkron dengan subsider 351 yang adalah penganiayaan ringan.
Menurutnya, subsider yang tepat adalah pasal 353 ayat 1 yaitu penganiayaan yang didahului dengan sebuah perencanaan dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara karena berdasarkan keterangan saksi, sebelum melakukan pengeroyokan, para terduga pelaku mendatangi rumah korban, mencari dan mengancam keluarga korban.
“Apalagi sudah diingatkan kalau korban adalah orang dengan gangguan jiwa. Itu artinya mereka dengan tahu dan mau, melakukan tindakan melawan hukum secara bersama-sama. Bersama-sama setelah ada perkelahian yang hanya melibatkan sebagian kecil diantara mereka, ini jelas ada mobilisasi, berarti ada rencana,” jelas Mathias.
Mathias juga menegaskan, jika 170 ayat 1 tetap digunakan maka ada indikasi untuk melindungi terduga pelaku dari jeratan pasal yang seharusnya.
“Dan perlu diingat bahwa jika di pengadilan nanti penyidik tidak bisa atau dengan sengaja tidak membuktikan unsur-unsurnya maka pasal 170 ayat 1 pun bisa gugur. Nah, kalau pasal primer 170 ayat 1 ini gugur dan subsidernya 351 maka apakah itu adil? Ini korbannya mengalami luka kok, itu jelas, sehingga 170 ayat 2e dengan subsidernya 353 itu yang paling tepat,” jelasnya.
Karena itu, putra Ilekimok, Atadei ini meminta penyidik untuk mendalami unsur-unsur dari pasal 170 ayat 2 angka 1e yakni jika bersama-sama dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.
“Kita semua mengerti hukum jadi Saya minta penyidik jangan main-main dengan hukum. Kita tahu saat ini institusi Polri kian mengalami kemerosotan kepercayaan dari publik, sehingga jangan sampai masyarakat menilai skenario kasus Ferdy Sambo adalah cerminan perilaku aparat di tubuh Polri dari atas ke bawah,” tutup Mathias.(AN-01)