Membaca puisi kita akan dapat pelbagai tafsiran. Tafsiran pertama adalah daripada tanggapan luaran penyair serta puisi ciptaannya. Masuk ke dalam bagian yang lebih kompleks ialah apabila kita mulai menafsir dan memberi arti dan inti kepada puisi yang dibacanya. Inilah yang saya dapati apabila membaca beberapa puisi dalam kumpulan puisi Rungku Kata karya Yurgo Purab dalam kumpulan puisi ini. Puisi Yurgo relatif pendeknya. Namun isinya tidak sependek wujud tubuh puisinya. Misalnya saya ambil daripada puisi Luka yang ditulis seperti ini:
kudapati lukamu mengalirkan rindu
pada sorotan mata lelaki tua itu
sepertinya engkau penasaran
mengapa kau jatuh cinta pada luka-nya
Puisi pendek ini meraih kita tentang kedapatan rahasia di dalamnya. Secara umum dapat kita katakan bahwa memang banyak dan dalam masalah atau hal yang kita ketemukan daripada kependekan puisi penyair. Walaupun kelihatannya kurang padu sehingga tak kita temukan imaji yang padu dan dalam pula.
Soal sulit tidaknya menafsir sajak sebenarnya belum tentu mengurangi atau menambah nilai sajak. Juga persoalan banyak, dalam dan luasnya isi yang dikandung walaupun potensil dapat membangun keindahan tetapi belum keharusannya. Puisi pendek seringkali menambah penasaran pembacanya.
Dalam sajak Isabella, Yurgo menulis begini:
pada bola matamu
kutemukan nafsu memburu
dan kerinduan merapat dibibirmu
hingga makam noda tak sempat terbaca pada air matamu
Dalam menilai sebuah cipta sastra, ada dua hal yang harus kita ingat, pertama, kita harus mengakui bahwa cipta sastra itu mempunyai nilai-nilai sendiri dalam dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai eksistensi sendiri dan harus punya syarat-syarat tertentu supaya dapat menarik perhatian pembaca atau penanggapnya. Dalam dua puisi di atas, ternyata ada ketertarikannya sendiri dalam bentuk fizikal puisi Yurgo. Pertamanya, kependekan puisinya. Malah untuk menanggap puisi yang pendek lebih jauh sukar daripada menanggap puisi yang panjang. Jelas puisi panjang seperti balada misalnya, sudah banyak menghuraikan maksud dan maknanya dalam diksi-diksinya. Namun dalam puisi pendek, semua itu ternyata terkambus. Yang kita dapat lihat adalah nilai-nilai yang dibangunkan seperti harmoni, orkestrasi bunyi dan lain-lain yang kita sebut nilai instrinsik. Sedangkan nilai lain yang memboboti permasalahan itu disebut ekstrinsik kemudian saja diperhalusinya.
Apakah dengan mencipta puisi pendek itu, penyair sebenarnya mnenyembunyikan sesuatu? Lihat puisi Puspatajem ini..
terlalu subuh
aktus itu dipentaskan
hingga aku lupa mencatat
alur perwayangannya
Penyair menyatakan tidak keberdayaan dalam menafsir sesuatu yang belum pantas baginya menilai. Sudah tentu ia meninggalkan banyak persoalan kepada pembaca. Seperti Sitor Sitomurang meninggalkan dogmanya dalam Malam Lebaran. Ia ditulis dalam satu baris saja, yaitu:
bulan di atas kuburan
Sudah tentu yang disebut Malam Lebaran itu tanggal satu bulan syawal mengikut kalendar Islam. Bulan masih terlalu imbas untuk dilihat. Namun yang dikatakan Sitor semestinya bukan bulan dan benda, tetapi bulan yang simbol atau matafora. Bercakap tentang matafora tentu bukan bercakap tentang yang terlihat di mata. Begitu juga Yurgo menafsirkan aktus yang dipanggungkan di awal subuh. Hingga tidak ada kesediaan baginya untuk mencatat sesuatu. Saya kira begitu. Nada puisinya adalah frustasi dan kekecewaan. Mengapa kecewa. Nah! inilah yang mahu dibobotkan oleh penyairnya…
Teringat saya akan puisi Toto Sudarto Bachtiar, Dia..
ketika masih hidup
patung-patung belum berarti suatu apa
kamar tak betah buat tinggal
hanya lampu sunyi jadi penghuninya
dunia kami dunia kata
dunia kami dunia kata
jadi kosong tapi tanpa ruang
dia cuma diam tanpa berkata apa
kalau dia sudah lama pergi
setiap orang baru mengerti puisi
dialah orang besar yang bisa bicara sonder kata
tapi dia sudah lama pergi
Begitulah puisi untuk kita fahami.
Tentang puisi religius yang diungkap oleh Yurgo, Hartojo Andangdjaja menyatakan, bagaimana sebuah puisi religius yang baik, soalnya bukan religi mana yang menjadi keyakinan penyairnya, melainkan bagaimana interpretasi puitik si penyair terhadap religi tersebut (1991:16). Saya perturunkan tiga puisi Yurgo yang bernafas religius, yaitu Sujud Malam, Jubah dan Doa.
terang cacat sebentar
sekedar suluh kata
membaca hikmat di titik pelita
ada doa tersembunyi di sumbuhnya
( Sujud Malam )
benang-benang menyulam debu
mendandani simpul
membaca tiap sulurnya
melepaskan arang dan ampas kopi kemarin
( Jubah )
ayah
dinding hati tercabik
ketika kabar mendengar aku
lantas beribu cemas beradu rasa
aku diam seribu bahasa
kau terbaring beralas infus
di rumah pesakitan kau merintih
dalam harap kami datang
namun tangan terbentang laut
senyum dengan kabar tiba
air mata curahan hati
melimpah tiada berarti
hanya
bibir terkatup, getar tepian
pada seuntai rosario
kugenggam erat
melafal kata demi kata
lalu terucap doa tukmu ayah
( Doa )
Religi adalah kebenaran yang bersumber pada Tuhan. Dan interpritasi puitik seorang penyair terhadap religi merupakan usaha kreatif dia, dengan latar belakang pengalaman insaniahnya, untuk mecuba mengungkapkan kebenaran religi tersebut dalam hubungan hidupnya sebagai manusia berupa pengucapan puisi. Itulah yang dapat saya fahami dari kenyataan-kenyataan puisi pendek yang berakar dan berarus di ruang sadarnya sebagai penyair. ***
Djazlam Zainal
Kritikus Malaysia