Tujuh tahun silam, Lembata bercokol di urutan teratas kesakitan Malaria di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dan, NTT sendiri menjadi satu dari lima provinsi di Kawasan Timur Indonesia yang masuk dalam kategori gawat Malaria. Maka, jelas bahwa kegawatan Malaria di Lembata boleh dibilang cukup tingkat secara nasional.
Tak ayal lagi, Perdhaki mulai menjalin kerjasama dengan Keuskupan Larantuka untuk mendorong percepatan eliminasi malaria di Kabupaten Lembata. Maklum, Lembata merupakan satu dari tiga dekenat yang berada dalam Keuskupan Larantuka. Dua dekenat lainnya, adalah Dekenat Larantuka dan Dekenat Adonara.
Keuskupan Larantuka lalu membentuk Yayasan Papa Miskin Dekenat (YPMD) Lembata, yang selain mengurus Rumah Sakit Bukit (RSB) Lewoleba, juga menangani program Malaria Perdhaki. Maka, sejak 2015, terbentuklah Sub-Sub Recipient (SSR) YPMD Lembata yang berkedudukan di bawah Sub Recipient (SR) Keuskupan Agung Ende. Uskup Larantuka menerbitkan keputusan mengenai kepengurusan SSR YPMD Lembata.
Badan Pengawas ditetapkan beberapa orang, yakni RD Philipus Sinyo da Gomez, RD Yos Kuben, Pater Frans Soo, SVD, dan Suster Ignastin, CB. Sedangkan, kepala YPMD Lembata ditunjuk RD. Kristoforus Kristo Soge, dengan Program Manejer Marselina Serly Maran, dan Finance Admindnya Hironimus Reda Asan. Tim ini melaksanakan program Malaria selama tiga tahun hingga 2017.
Memasuki tahun 2018, program Malaria masih diperpanjang Perdhaki yang masih ditetapkan Globan Fund – Jerman, sebagai Principil Recipient (PR) di Indonesia. Periode kedua ini berjalan selama tiga tahun, hingga tahun 2020. Dan, untuk mempercepat kerja lapangan, dibentuk lagi tambahan satu tim yang disebut SSR YPMD II, dengan kepala Paulus Manggotu Uja. Program Manejernya, Etick Purwanti, SAg., dan Finance Admindnya Blasius K. Welan.
Apa yang dikerjakan YPMD Lembata?
Ini yang menarik. YPMD Lembata I dan II bertugas menangani tiga hal utama. Yakni, UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat), PLA (Parcipatory Learning Action), dan UPK (Unit Pelayanan Kesehatan). Sejak 2015 hingga 2022, YPMD Lembata sudah membentuk UKBM di 45 desa dengan dukungan 3 UPK (Klinik Ratu Rosari Kalikasa – Atadei, RS Damian dan RS Bukit Lewoleba).
Desa-desa yang menjadi sasaran atau wilayah kerja YPMD Lembata itu tersebar di 9 kecamatan. Nubatukan meliputi Desa Bour (Riang Dua), Desa Bakalerek, dan Desa Paubokol. Ada dua UPK di Nubatukan, yakni UPK. Damian (RS Damian) dan UPK. RS Bukit.
Kecamatan Ile Ape, meliputi Desa Muruona, Amakaka, Laranwutun, Kolipadan, Napasabok, Lamawara, dan Kolontobo. Kecamatan Ile Ape Timur meliputi Desa Aulesa, Waimatan, Lamawolo, Lamagute, dan Lamatokan. Kecamatan Lebatukan mencakup Desa Merdeka, Lamalela, Atakowa, Seranggorang, Lerahinga dan Tapobaran. Empat desa di Kecamatan Buyasuri, yakni desa Tobotani, Bean, Leuwohung dan Mampir.
Kecamatan Omesuri mencakup Desa Wowong, Atanila, Roma, Leuwayan, Walangsawa dan Meluwiting. Kecamatan Atadei meliputi Desa Ile Kimok, Nogodoni, Nubaboli, dan Ile Kerbau. Ada satu UPK di Atadei, yakni UPK Klinik Ratu Rosari.
Kecamatan Wulandoni mencakup empat desa, yakni desa Alap Atadei, Ataili, Tapobali dan Lelata. Sedangkan, kecamatan Nagawutung meliputi Desa Wuakerong, Pasir Putih, Warawatung, Lusiduawutun, Tewaowutung, dan Penikenek.
Tim UKBM di setiap desa terdiri dari tiga orang. Dimana, dua orang warga desa dan seorang tenaga kesehatan (nakes). Satu dari dua warga desa menjadi ketua tim. Tugas tim ini adalah melakukan pertemuan internal, Outreaching – penemuan kasus, menggelar sekolah Malaria atau diskusi kampung, melakukan aksi pencegahan malaria, dan membuat laporan.
“Outreaching, penemuan kasus, jika ditemukan maka harus diobati. Mereka harus memastikan bahwa yang sakit Malaria diberi obat dan minum sampai habis. Obatnya DHP dan primaquin, obat malaria harus diminum sampe habis,” jelas Program Manejer YPMD Lembata, Etick Purwanti, dalam perbincangan di kantornya, Lewoleba, Lembata.
Diakui bahwa dalam kegiatan sekolah malaria, warga juga mengemukakan mengenai obat tradisional yang ada di kampung-kampung. Namun pihaknya harus melaksanakan program sesuai standard kesehatan, yang mengharuskan penggunakan obat-obatan yang sudah disiapkan. “Ini sesuai standar layanan kesehatan yang ditetapkan,” tegasnya.
Melalui Sekolah Malaria, YPMD Lembata dalam mensosialisasikan berbagai hal. Termasuk soal penggunaan kelambu, jentik nyamuk dan tempat penampungan air, saluran pembuangan, tempat sampah, tanaman pengusir nyamuk, kebersihan lingkungan, tempat cuci tangan, jamban, dan pengasingan ternak. “Semua hal bisa didiskusikan di Sekolah Malaria atau forum diskusi kampong. Dan, kami tidak melakukan untuk satu desa karena tidak efektif. Tapi di tingkat RT atau kelompok kecil warga,” jelasnya.
Dari diskusi kampung atau sekolah malaria, jelas Etick Purwanti, terbentuklah tim penggerak di tingkat desa. Ini meliputi tim malaria desa, tim garda desa, tim mama mala(ria), dan tim kader cilik (anak-anak). “Masyarakat diajak untuk mengenali masalah di lingkungannya, dan menyelesaikan dengan sumber daya yang mereka miliki, seperti mengatasi masalah genangan air yang berpotensi berkembang biaknya jentik nyamuk malaria,” jelasnya.
Sementara aktivitas UPK menyangkut pemeriksaan, screaning ibu hamil, pembagian kelambu, publik private mix, dan pelaporan. Dan, PLA mencakup advokasi, koordinasi, diskusi kampung, dan pelaporan.
YPMD Lembata menyadari sungguh bahwa program malaria yang dimotori Perdhaki suatu saat akan berakhir. Tapi, ancaman penyakit malaria masih terus menghantui warga. Karenanya, selain menjalani pendampingan untuk membangun kesadaran warga guna melakukan eliminasi malaria, juga mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak pada penanggulangan penyakit malaria.
SSR YPMD Lembata bahkan mendorong DPRD untuk merancang dan menetapkan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Malaria di Kabupaten Lembata. Ini diperlukan dalam kaitan percepatan eliminasi, sekaligus menjadi payung hukum bagi gerakan desa “melawan” malaria.
Kendati Ranperda tentang Penanggulangan Penyakit Malaria masih belum tercapai, SSR YPMD Lembata masih bisa bernapas lega dengan lahirnya Peraturan Bupati Lembata nomor 80 Tahun 2022 tentang Eliminasi Malaria di Kabupaten Lembata, yang ditandatangani Penjabat Bupati Lembata, Drs. Marsianus Jawa, MSi pada tanggal 17 Oktober 2022.
Perbup itu memerintahkan untuk membentuk Tim Koordinasi Eliminasi Malaria, dengan koordinator pelaksananya Badan Perencanaan, Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) dan tim teknisnya adalah Dinas Kesehatan (pasal 17). Selain itu, Perbup juga mengharuskan adanya kelompok kerja. Dimana, Pokja I mengurus informasi, dana dan pengamatan. Pokja II mengurus Penggerakan Masyarakat dan Kemitraan. Pokja III bertanggungjawab atas pengobatan dan pelayanan, dan Pokja IV bertanggungjawab dalam pengendalian lingkungan.
Apakah Perbup itu akan efektif dilaksanakan? Entahlah. Tapi, upaya YPMD Lembata dalam mendorong percepatan malaria sudah mulai membuahkan hasil. Apalagi, beberapa kader yang sebelumnya terlibat dalam UKBM, kini terpilih menjadi kepala desa. “Beberapa desa malah sudah memasukan penanggulangan malaria dalam RPJMDes. Ini tentu memberi harapan bagi percepatan eliminasi malaria di Lembata,” ungkap Etick Purwanti.
Kepala YPMD Lembata, RD Kristoforus Kristo Soge mengungkapkan kalau kerjaan sekarang jauh lebih ringan dibanding saat-saat awal sekitar tahun 2015 silam. “Dulu, kami keluar masuk kampung sampe harus tidur di kampung. Saya pernah menginap dan tidur di Tobotani dalam proses sekolah malaria atau diskusi kampung itu,” ujar Romo Kristo soal pengalamannya dalam penanganan program malaria Perdhaki ini.
Memang, sekolah malaria atau diskusi kampung merupakan jalan menuju Deklarasi Gerakan Kampung Bebas Malaria. Jika semua desa di Lembata sudah mendeklarasikannya, maka otomatis Lembata pun bisa dideklarasikan sebagai Kabupaten Bebas Malaria. Target sudah dipatok, 2025 Lembata Bebas Malaria. Mungkinkah? (freddy wahon/bersambung)