Aula gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata, Kamis (20/10/2022), penuh. Semua kursi yang ditata panitia Seminar Bulan Bahasa 2022, sebanyak 100 kursi, terisi penuh. Malah, panitia harus menambah lagi kursi agar semua yang hadir bisa duduk mengikuti jalannya seminar.
Semua peserta seminar diajak makan siang ala kadarnya yang disiapkan ‘tuan rumah’, staf Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (DKP) Kabupaten Lembata. Yang tersedia di meja makan, tampak ikan kuah dan daging ayam potong yang digoreng kering, serta sayur. Seolah berada di rumah sendiri, semua peserta menikmati santap siang tanpa omelan lezat tidaknya makanan.
Para tokoh tua, tokoh pemuda, kepala sekolah, guru-guru, siswa siswi serta pegiat literasi dan jurnalis berbaur dalam santap siang bersama. Tidak tampak kesenjangan sama sekali. Padahal, yang datang bukan kaleng-kaleng, ada camat dan mantan camat, ada mantan anggota DPRD Lembata, bahkan hadir pula Wakil Bupati Lembata periode 2006-2011, Drs. Andreas Nula Liliweri. Semua peserta seminar seolah fokus pada topik seminar: Menelisik Peran Prof. Dr. Gorys Keraf Dalam Perkembangan Pengajaran Bahasa di Indonesia.
Ya, untuk membicarakan seorang tokoh besar, Prof. Dr. Gorys Keraf, semua peserta seolah menanggalkan embel-embelnya. Topik tentang sosok Gorys Keraf seolah mampu menyatukan segenap anak Lepan Batan. Maklum, tesis doktoralnya berjudul Morfologi Dialek Lamalera yang kemudian diterbitkan menjadi buku, memang tak terbantahkan sampai sekarang. Gorys Keraf memetakan secara apik dan ilmiah bahasa-bahasa lokal di Lembata, yang menjadi referensi berbagai penulisan ilmiah, termasuk skripsi-skripsi mahasiswa terutama jurusan bahasa dan sastra.
Saya agak terkejut, ketika nama saya disebut Sekretaris DKP, Raymundus Beda sebagai orang yang berperan besar dalam mempersiapkan kegiatan seminar. Sebab, ide memunculkan perbincangan soal sosok Prof. Dr. Gorys Keraf dan perannya dalam pengajaran bahasa Indonesia sesungguhnya tidak lahir dari batok kepala saya. Gagasan ini justeru datang dari seorang putra Nagekeo, jurnalis Harian Umum Pos Kupang yang bertugas di Lembata, Ricko Wawo. Dia datang ke Pondok Perubahan, rumah saya, saat saya bersama istri, Fince Bataona sedang asyik ngobrol. Ia baru usai mengikuti acara launching penyematan nama Anton Enga Tifaona pada aula kantor Camat Nubatukan oleh penjabat Bupati Lembata, Drs. Marsianus Jawa, MSi.
“Sebaiknya kita usahakan agar gedung Perpustakaan Daerah diberi nama gedung Gorys Keraf. Saya rasa pak Gorys Keraf lebih dikenal dan perannya di Indonesia lebih diketahui. Kita wartawan perlu mengusulkan itu. Coba om Fred komunikasikan dulu dengan pak Kadis Perpustakaan,” ujar Ricko Wawo, agak memaksa untuk segera ditindaklanjuti.
Saya melakukan permintaannya. Ternyata, gayung bersambut. Kadis Kearsipan dan Perpustakaan, Apolonaris Mayan, SPd menyambut gembira. Tapi, saya sendiri masih belum yakin. Sehingga saya usulkan agar pelabelan nama Gorys Keraf pada gedung Perpusda didahului dengan seminar, dan salah satu pembicaranya Ricko Wawo sebagai penggagas.
“Jangan saya om. Sebaiknya, Yoris Wutun. Panggung harus dikasih ke Yoris, sebagai anak muda yang rajin membaca dan pernah mewakili pemuda Indonesia dalam forum interasional di New York, Amerika Serikat,” ujar Ricko Wawo, menolak permintaan saya.
Kendati kesal dengan penolakannya, saya tetap berusaha menggali informasi tentang sosok Prof. Dr. Gorys Keraf dan menghubungi para pihak. Menariknya, saat saya terhubung dengan dokter Nina Keraf, putri mendiang almarhum Gorys Keraf, kalimat yang mengalir dari dokter cukup menghentak. “Bapak itu orang yang sederhana saja. Pergi kasih kuliah dan pulang ke rumah. Kami baru tahu kalau Bapak itu ‘orang besar’ justeru saat bapak meninggal dunia. Hahahaha…,” ungkap dokter Nina Keraf, kepada saya melalui saluran telepon seluler.
Ini yang bikin saya makin penasaran. Saya menuliskannya di laman facebook saya, sembari membumbuinya dengan informasi yang diperoleh dari google. Sambutan nitizen ternyata luar biasa. Seorang doktor linguistik jebolan Universitas Udayana Bali, Lanny Koroh malah mengusulkan agar professor Gorys Keraf diperjuangkan menjadi pahlawan nasional. Ya, “Seharusnya beliau juga bisa didukung menjadi pahlawan nasional asal Lembata, untuk bidang Linguistik,” tulis Dr. Lanny Koroh, seorang pegiat literasi berdarah Sabu Raijua, mengomentari status facebook saya.
Respon teman-teman pegiat literasi dari luar Lembata terhadap ketokohan dan peran Prof. Dr. Gorys Keraf sungguh luar biasa. Saya makin bersemangat menggali informasi melalui googling. Sayang, tidak banyak orang menulis soal tokoh yang satu ini. Yang muncul malah gambar-gambar buku karyanya, yang dicetak ulang berkali-kali dengan perubaan wajah sampul depan. Bahkan, mencari foto beliau pun sulitnya minta ampun. Hanya foto hitam putih dengan kaca mata hitam yang muncul di google. Sisanya, malah muncul gambar wajah Dr. Sonny Keraf, mantan Menteri Lingkungan Hidup, ponakan professor Gorys Keraf.
Saya sempat minta dokter Nina Keraf agar mengirimkan foto berwarna almarhum ayahnya. Tapi, apa jawabnya? Saya malah diomelin. “Waduh… Coba minta dari jauh-jauh hari supaya Mama bisa cari… Coba nanti saya tanya dulu… Yang ada di saya, foto-foto yang ramai-ramai. Kamu sudah baca sendiri bagaimana sifat kami…. agak cuek dengan hal-hal seperti itu,” begitu gerutunya, kepada saya, saat saya minta dikirimi foto berwarna professor.
Walhasil, saya memutuskan menggunakan foto hitam putih berkacamata itu. Paling tidak, agar tidak terus diomelin. Dan, saat design baliho, saya minta Paul Ama Duli dari 3Telur Digital Printing, menambahkan wajah Gorys Keraf pada pamflet yang sudah dibikin Yoris Wutun. Dan, dia malah memasang wajah Dr. Sonny Keraf. Ketika saya bilang, itu bukan Gorys Keraf, dia malah kaget. Karena yang muncul di google justeru Sonny Keraf.
Dan, seminar tentang sosok dan peran Prof. Dr. Gorys Keraf pun sukses digelar. Malah, perbincangan yang direncanakan tak lebih dari dua jam, justeru tergelar sejak pukul 14.30 Wita hingga jelang pukul 19.00 Wita. Para peserta, baik anak-anak sekolah yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya, para guru, kepala sekolah, camat atau yang mewakili camat hingga para sepuh Lembata, bertahan dalam ruang seminar. Mengagumkan memang.
Apalagi, semua peserta bersuara bulat agar gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata diubah namanya menjadi Gedung Perpustakaan Prof. Dr. Gorys Keraf. Ya, nama profesor ahli bahasa itu disematkan pada gedung megah yang tegap berdiri di antara dua bangunan tua, bekas kantor Bupati Lembata dan bekas rumah jabatan bupati Lembata.
Ya, “Dengan lokasi di tengah kota diapiti oleh bangunan historis kantor bupati lama dan rujab bupati lama, Perpustakaan ini harus dimaknai sebagai perwujudan tekad untuk memajukan Lembata dengan basis ilmu pengetahuan. Sekarang gedung perpustakaan yang membanggakan ini perlu diberi nama yang sesuai bobotnya. Dan, dalam konteks kita hari ini Prof. Dr. Gorys Keraf dipandang paling cocok,” tandas Emanuel Prason Krova, S.Fil., M.Si., saat menyampaikan materinya berjudul ‘Menelisik Peran Prof.Dr Goris Keraf dalam Perkembangan Pengajaran Bahasa Indonesia (Sebuah Sketsa)’ pada seminar itu.
Alwi Murin, mantan anggota DPRD Lembata dua periode, malah mengusulkan agar Prof. Dr. Gorys Keraf tidak sekedar dilabelkan pada nama gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata. “Saya kira, kriteria seseorang untuk diperjuangkan menjadi pahlawan nasional terpenuhi pada Profesor Gorys Keraf. Pemda Lembata harus bisa memperjuangkannya menjadi pahlawan nasional,” ungkap Alwi Murin dalam seminar.
Dan, saat menyampaikan informasi kegiatan ini kepada penjabat Bupati Lembata, Drs. Marsianus Jawa, saya katakan bahwa ide penggunaan nama Prof. Dr. Gorys Keraf ini datang dari seorang putra Nagekeo, dan yang akan mengeksekusi keputusan pemberian nama gedung itu juga seorang putra Nagekeo. Ya, Ricko Wawo dan Marsianus Jawa adalah dua putra Nagekeo yang sedang mengabdi di tanah Lepan Batan ini. (freddy wahon / bersambung)
Stelah membaca catatan jurnalistik bulan bahasa dan ada wacana mengabadikan nama besar seorang putra Lembata alm. Prof. Dr. Gorys Keraf pada Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kab. Lembata dan disetujui pula oleh Penjabat Bupati Lembata Drs. Marsianus Jawa, M. Si, sy jadi teringat sosok sang Profesor tata bahasa kelahiran Lamalera trsebut.
Pada thn 1993, saat itu sy menjadi guru honorer mapel Agama Katolik di SMPN 4 Dili Timor Timur, sy ikut trpilih sbg satu dr 26 org guru yg diusulkan menjadi Tim Penulis Muatan Lokal Bahasa Tetum. Persyaratannya, setiap peserta yg terpilih wajib mengirimkan karya tulisnya untuk dipelajari dan memastikan kualitas tulisannya yg akan dibaca dan diputuskan oleh Ketua Tim Pembimbing dr Universitas Indonesia yaitu bp. Prof. Dr. Gorys Keraf sebelum datang ke Dili. Yang artinya semua karya tulis dr ke-26 calon peserta itu, naskah dan karyanya telah dikirim ke UI untuk dipelajari para Tim UI.
Cuma butuh 2 minggu, para Tim dari UI sudah tiba di Dili untuk melakukan Bimbingan dan pendampingan tuk kami.
Dihari pertama pertemuan itu, ketua Tim dr UI yakni alm. Prof. Dr. Gorys Keraf yg didampingi dua org asistennya mengumumkan hasil karya tulis dr ke-26 calon peserta Tim penulis buku mulok.
Saya yg saat itu baru berusia 23 tahun, sedang kuliah di Institut Pastoral Indonesia Filial Malang di Dili sambil menjadi guru honorer, sambil menulis seadanya pd Harian Umum Suara Timor Timur, tersentak kaget tatkala nama sy dibacakan oleh ketua tim UI sbg calon peserta Tervaforit dan layak mendapatkan hadiah dr Tim UI berupa sehelai baju batik Solo. Sejak saat itu hingga dua minggu ke depan, stiap hari kegiatan berlangsung, alm. Gorys Keraf selalu sj menghampiri sy dan terus memotivasi sy tuk menulis.
Satu pesan beliau kpd sy dalm bentuk pertanyaan nakal yg berbunyi, “apakah sdr Damianus sudah menikah? Jwb sy, belum pak”. Setelahnya beliau berujar, nikmatnya setelah menyelesaikan sebuah karya tulis… Sama seperti kita baru saja berhubungan badan dengan istri. Ada kepuasan tersendiri yg tidak semua org bisa menikmatinya.
Dan masih banyak lagi kisah cerita antara sy dan alm. Prof. Dr. Gorys Keraf selama dua minggu tatap muka.
Bersambung……