Oleh: Peter Witin Silvester
Orang Kampung Lewotobi
Kuawali goresan kenangan yang menginspirasi ini dengan mengutip kata-kata reflektif Antonio Machado, penyair ternama berkebangsaan Spanyol yang hidup di sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20, dalam sebuah puisinya yang berjudul “CAMINANTE, yakni Musafir.
Suatu waktu di titik ini, ketika daun hijau berselimutkan duri, terdengar suara seorang penyair, sesungguhnya tidak ada jalan, karena jalan terbentuk dengan berjalan.
Kata-kata indah yang terlahir dari refleksi indah dalam kisah pengembaraan yang agak lama dari sang penyair ini, lalu diambil oleh Padre Marco, SVD menjadi titik pijak perjalanan hidup imamatnya dalam rentang waktu 25 tahun, yang hampir sebagian besar waktunya dilakoninya di Eropa sebagai seorang imam Tuhan.
Hidup itu sesungguhnya mesti direfleksikan kapan dan dimanapun kita berada. Hidup yang tidak direfleksikan pada prinsipnya adalah model hidup yang tidak pantas untuk dibanggakan.
Padre Marco, SVD sadar bahwa perjalanan panggilannya menjadi imam Tuhan sudah pasti diwarnai dengan aneka bunga kehidupan yang terkadang mekar mewangi di satu titik, dan dititik lain ibarat bunga mawar yang penuh dengan onak dan duri. Tetapi beliau tetap yakin bahwa kisah hidup yang dilaluinya tentu punya spektrum dan arah yang jelas.
Baginya, refleksi perjalanan imamat 25 tahun, menghantarkannya pada dua teks, yakni kisah panggilan dan perutusan Nabi Yeremia dan undangan Yesus “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).
Sesungguhnya, saya diciptakan secara sangat pribadi dengan anugerah panggilan yang begitu indah dan diperbolehkan masuk dalam Persekutuan Trinitaris –Bapa, Putera dan Roh Kudus, dalam sebuah cinta dan pengorbanan yang paripurna. Situasi inilah yang telah memberikan dan menghidupkan suasana kebahagiaan terbesar dalam ziarah perjalanan hidup dan karya panggilan saya.
Padre Marco, SVD senantiasa sadar bahwa kisah panggilan dan perutusan Nabi Yeremia dan undangan serta ajakan Yesus dalam suasana persaudaraan dan keakraban ini, menampilkan baginya simpul dan benang-benang yang kuat. Hadirnya ibarat cermin, di dalamnya dapat ditemukan kembali diri dan proses perjalanan panggilan imamatnya.
Dia pun sadar bahwa proses penemuan dirinya kembali dalam proses refleksi ini bukan sebuah jawaban akhir terhadap berbagai pertanyaan tentang eksistensi diri dan panggilan imamatnya. Melainkan ini akan membantunya dalam permenungan selanjutnya untuk lebih memahami dan memaknai panggilan dan perutusan Tuhan dalam dirinya.
Padre Marco, SVD, yang akrab disapa di Italia, ketika pulang kampung halamannya di Lewouran, biasa disapa dengan panggilan akrabnya “Tue Markus” tentu selalu membuat orang kampung mulai mengingat kembali masa-masa kecilnya ketika masih di “Lewo Oki” –kampung lama Lewouran di bukit yang masih terjaga hingga kini.
Padre Marco, SVD, lahir di kampung Lewouran, tanggal 4 Agustus 1968. Dia bungsu dari lima bersaudara buah kasih Nikolaus Pulusoko Kewuta dan Getrudis Kawalile Lein. Kedua orangtuanya sudah dipanggil ke hadirat pemilik kehidupan ini. Saya mengenal baik bapa dan mamanya, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar Lewotobi, yang letaknya juga tidak jauh dari Lewouran.
Kebetulan rumahku dekat dengan lapangan bola kaki di pinggiran pantai Nara, pantai yang bersambungan dengan pantai Waiotan, satu-satunya pantai yang menyimpan sejuta kenangan ketika Tue Markus masih bocah dan beranjak ke usia anak-anak dan remaja.
Mendiang bapa Pulusoko Kewuta saat itu, selain bekerja sebagai petani, juga seorang nelayan tradisional dengan alat tangkap ikan berupa blutu atau bubu. Saban hari ia menjual ikan hasil tangkapannya. Blutu memang alat tangkap tradisional yang selalu dipakai orang-orang di kampung Lewouran dan Lewotobi.
Selain menjual ikan, Bapa Pulusoko juga menjual hasil kebunnya, berupa pisang dan buah-buahan. Ia menjual hingga ke Lewotobi. Bapa Pulusoko Kewuta selalu berjalan kaki dari arah pantai Nara dengan barang-barang jualan yang dipikulnya sendiri.
Awalnya dia masuk ke rumah saya yang terletak di pinggir lapangan bola kaki, dekat SMPK Ile Bura. Bapa Pulusoko jual ikan blutu dan pisang. Hasil jualan ini digunakannya untuk membiayai anak-anaknya yang sedang mengenyam pendidikan di SMA Seminari San Dominggo Hokeng. Bayangkan, saat itu Bapa Pulusoko sudah menyekolahkan kedua anak laki-lakinya di Sesado Hokeng. Yakni, Tue Yos Bukubala Kewuta dan Tue Markus Solo Kewuta, SVD.
Kedua anaknya ini pun akhirnya dipilih dan ditetapkan Tuhan untuk bekerja di ladang Tuhan. Suatu karunia yang sangat istimewa bagi Bapa Pulusoko Kewuta dan keluarganya.
Suka duka hidup saat itu akhirnya diperhitungkan Tuhan. Bapa Pulusoko dan mama Kawalile telah mengajarkan anak-anaknya untuk belajar dan bertahan hidup di daerah yang gersang dan tandus. Maklum saja, Lewouran memang kampung yang memiliki topografi wilayah yang gersang dan tandus. Tetapi dari sanalah Tuhan telah memilihnya menjadi lembah Kanaan yang penuh dengan madu dan susu yang meluap. Pater Markus menyelesaikan sekolah dasarnya di SDK Lewouran (1975-1981) dan SMPK Ile Bura Lewotobi (1981-1984). Tue Markus dan teman-temannya terpaksa jalan kaki melewati pantai Waiotan-Lewouran dan tiba pantai Nara- Lewotobi setiap hari untuk Sekolah di SMPK Ile Bura Lewotobi.
Setelah tamat SMP, ia melanjutkan panggilannya ke SMA Seminari San Dominggo Hokeng selama empat tahun (1984-1988). Kemudian, dia melanjutkan Novisiat SVD di Nenuk, Timor, dua tahun (1988-1989). Dan, tahun 1989-1992, ia melanjutkan kuliah di Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero.
Dari Ledalero, Markus melanjutkan studinya di Seminari Tinggi di Austria (1992-1997), dan ditahbiskan menjadi imam tanggal 3 Mei 1997 di Austria.
Setelah menjadi pastor, ia masih melanjutan pendidikan Doktoral Teologi Fundamental di Austria, 1999-2002. Tahun 2002-2003, ia menekuni Bahasa Arab Klasik dan Islamologi I di Mesir. Tahun 2003 – 2005, ia memperdalam studi Bahasa Arab Klasik dan Islamologi II di Roma. Tahun 2006-2007 dipercayakan menjadi Rektor Institut Asia-Afrika, di Wina-Austria.
Pada tahun 2007 hingga sekarang, Pater Markus Solo Kewuta, SVD dipercayakan sebagai staf Dikasterium untuk Dialog Umat Beragama di Takhta Suci Vatikan dan dipilih menjadi Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate untuk Pendidikan dan Perdamaian di Takhta Suci Vatikan-Roma-Italia.
Pada tanggal 15 September 2022 yang lalu, Padre Marco, SVD, pulang ke kampung halamannya di Lewouran untuk merayakan perayaan ekaristi 25 tahun atau Pesta Perak Imamatnya bersama keluarga, dan juga seluruh umat di Paroki Lewotobi serta umat dari kampung-kampung tetangga di sekeliling lereng gunung Lewotobi.
Mereka semua dikumpulkannya dalam satu keluarga. Padre Marco, SVD, dalam terang dan sukacita injil Mateus 11:28, ingin mengumandangkan amanat Yesus yang didengungkan di 2.000 tahun silam, yaitu “Venite ad me, omnes, qui laboratis et onerati estis, et ego reficim vos” (Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesuh dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.)
Di hadapan keluarga dan ribuan umat yang hadir dalam perayaan ekaristi ini, Padre Marco, SVD sadar bahwa dirinya hingga saat ini merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya melalui orang-orang, dan juga tugas serta karya yang dipercayakan kepadanya. Semunya dijalankan dan dihayatinya dalam refleksi panjang dalam perjalanan imamatnya.
Dia sadar bahwa peran Trinitas sangat mendominasinya, khususnya dalam setiap pergolakan hidup dan ganasnya peradaban jaman dewasa ini. Padre Marco, SVD, juga sadar bahwa dari tanah Lewouran, kampung kecil tempat kelahirannya ini, untaian doa dan ujud-ujud khusus dari keluarga dan leluhur Lewotanah untuk diri dan karyanya senantiasa nenguatkan dia untuk berkarya di seantero dunia ini.
Padre Marco, SVD, orang kampung yang sangat sederhana, kini dengan tugas dan karyanya telah mendunia. Di perak imamatnya ini, Padre Marco, SVD, seorang imam yang juga bergelut di dunia sastra dan seni musik dan suara, merefleksikan perjalanan panggilannya dalam puisi yang ditulisnya sendiri.
JALANKU
Aku telah melihat,
Aku telah menyaksikan,
Aku telah mengalami
Bahwa mawar mekar di antara duri
Mulianya Tabor,
Sakitnya Getsemani,
Tuhan tahu.
Ia telah memanggilku,
Ia juga nemutuskan,
Di mana aku harus berdiri,
Ke mana arah melangkah.
Terjadilah kehendak-Nya!
Syukur kepada Tuhan,
Terimakasih untukmu semua.
Aku telah mencintai yang asing
dengan segala kejujuran,
dan aku dicintai kembali
seratus kali lipat.
Padre Marco, SVD
Tue Markus, SVD, kame wahan kae, kaka arin, ina ama, opu bine…mau ucapkan buatmu, selamt merayakan perak imamat moe!
Bao ake sama toba!
Tobi ake sama bata!
Sekali imam, tetap imam ! ***
Terima kasih oncu. Tulisan yang menginspirasi.
Terima kasih tata,,,Tulisannya sanagt menginspirasi.
Tulisan bagus sekali. Tidak membosankan utk di baca. Tk sdh membuat kami dpt belajar pendalaman iman mll Tue Markus.🙏💖
Tulisan bagus yang sangat menginspirasi orang-orang kecil dan sederhana dari kampung. Salam dan mohon doa dari tue Markus.
Mantap Kaka ganteng.