Anselmus D. Atasoge
Staf Pengajar STP Reinah Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Saat ini di bumi Lepan Batan, Kabupaten Lembata, sedang berjumpa para jagoan sepak bola dari seantero Flobamorata. Untuk beberapa hari ke depan, mereka akan menunjukkan kebolehan mereka dalam ajang El Tari Memorial Cup XXXI, sebuah ajang kualifikasi Liga 3 Nasional. Media mainstream maupun media sosial dipenuhi oleh euphoria ajang bergengsi di bumi Nusa Tenggara Timur ini. Sekian banyak catatan ETMC 2022 membanjiri kanal-kanal media. Sekian banyak youtuber pun tak ketinggalan untuk live streamingnya. Mereka yang tak sanggup hadir langsung di Lembata, menggelar ‘nobar’ atau pun menengoknya dari layar kaca handphone dengan sejumlah harapan yang terus menggelinding bagi tim kesayangannya. Mereka yang sanggup hadir langsung, hadir dengan segala kreativitas yel, kostum dan tagline spirit yang diharapkan membakar semangat para jagoan mereka.
Sepak bola memang mengasyikan. Dia bagai sebuah kesenian, medan menciptakan keindahan. Kesenian yang lahir dari kehebatan individu-individu, namun bukan yang individual. Kesenian yang diciptakan secara bersama-sama berkat “sumbangan kehebatan” masing-masing pesepakbola yang tergabung dalam satu tim. Sumbangan inilah yang membuat sepak bola itu jadi “indah”. Karenanya, sepak bola yang indah tidak terjebak dalam individualisme atau egoisme yang sempit. Di dalamnya masing-masing pemain menerima sumbangan kehebatan dari pemain yang lain dan “meneruskannya” ke pemain yang lain. Mereka saling mengoper kehebatannya. Mereka saling menerima kehebatannya. Dan, mereka saling membagikan kehebatannya. Kesalingan inilah yang menciptakan “keselamatan bersama”, gol-gol kemenangan.
Sepak bola yang demikian layak ditontoni. Lebih dari itu, harus dipelajari. Dia tidak sekedar membuat para pecandunya membelakkan mata di pinggir lapangan maupun di depan layar kaca atau layar lebar. Tidak sekedar membuat mereka duduk atau berdiri menahan terpaan terik mentari di lapangan atau rela berdesakan di depan layar lebar di ajang nobar dan memaksa mata untuk terus bergerak di layar kaca HP untuk mengikuti seluruh arah dan aliran bola melalui kanal live streaming. Dan, tidak sekedar membuat penonton berdecak-kagum dan menyorakinya dengan yel-yel pembakar semangat.
Sepak bola layak ditontoni dan dipelajari karena mengandung sejumput nilai. Saya teringat, Paus Benediktus XVI dalam sebuah pesan kepada peserta turnamen Piala Eropa 2012 seperti dilansir Catholic News Service mengatakan sepak bola dapat mendidik para pemain dan penonton dengan nilai-nilai penting, termasuk pengorbanan diri dan menghormati lawannya. Ia menekankan pentingnya mengakui bakat dan keterampilan masing-masing orang dalam sebuah tim. Paus juga mengatakan, tim sepak bola membantu orang “mengatasi sikap individualisme dan egoisme, yang sering mencirikan hubungan di kalangan manusia, dan memberikan ruang bagi persaudaraan dan kasih, satu-satunya cara untuk mempromosikan kebaikan bersama (bonum communae) pada setiap level.” Sedemikian urgennya nilai-nilai itu, maka Paus Benediktus membuat komentar dalam pesan kepada para atlet, fans dan penyelenggara turnamen Piala Eropa. Ia pun mengirim pesan kepada Uskup Agung Jozef Michalik dari Przemysl, ketua presidium Konferensi Waligereja Polandia.
Di mata Paus, sepak bola punya nilai. Nilai itulah yang menjadi tujuan, in se. Nilai itulah yang diperjuangkan untuk dipelajari. Lewat sepak bola, nilai ditemukan. Max Scheler katakan bahwa manusia tidak menciptakan nilai-nilai melainkan menemukan nilai. Dan, manusia wajib melakukan sesuatu demi untuk mencapai sesuatu yang baik. Yang baik itu adalah nilai. Manusia, katanya, dapat saja buta terhadap beberapa nilai, seperti mata di tempat gelap memerlukan waktu untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya. Demikianlah, mata hati manusia harus membiasakan diri untuk melihat nilai. Begitu ia menyadari sebuah nilai, kebernilaiannya tampak dengan sendirinya.
Para pemain setim dalam sepak bola di ETMC 2022 wajib melakukan “sesuatu” bagi timnya. Sesuatu yang disebut sebagai “sumbangan kehebatan”. Sumbangan itu boleh disebut sebagai “kurikulum wajib”nya sepak bola yang indah. Ya..kurikulum yang wajib dijalankan jika mau selamat.
Bagi saya, ETMC 2022 menjadi momen promosi kebaikan bersama. Momen promosi nilai-nilai kehidupan bersama. Momen untuk “membongkar” individualisme atau egoisme. Momen untuk berbalik arah jika kedua isme tersebut masih bercokol di hati. Momen untuk melihat realitas terberi dari individualisme yang nampak dalam tindakan yang koruptif, yang suka mengambil “milik orang lain” dan menjadikannya sebagai milik sendiri. Atau, yang menyembunyikan tangan setelah melempar batu. Atau, yang asyik dengan eksklusivisme dan menutup mata terhadap kebenaran-kebenaran lain baik kebenaran agama maupun kebenaran kultural. Sekaligus momen untuk melihat realitas terberi dari individualisme (AKU-AKU) dan berjuang menjembatani realitas komunal (AKU-ENGKAU) tanpa segregasi yang kental.
Jika demikian, ETMC 2022 dan ajang sepak bola manapun sejatinya menjadi ajang penghidupan genetika kebaikan bersama dalam tim-tim sepak bola dan kiranya menjadi model kebaikan bersama di kalangan masyarakat NTT dan Indonesia. Semoga ia boleh menjadi cikal bakal hadirnya kebaikan esksotik di kalangan masyarakat Indonesia. Jika kebaikan genetik lebih menitik-berat pada unsur kesamaan tim dan asal kedaerahan (Timor, Flores, Sumba, misalnya) maka kebaikan eksotik melampaui latar itu. Kebaikan semacam ini dibutuhkan pula untuk membangun kerukunan hidup di kalangan pelbagai etnis dan agama yang hidup dan berkembang di Indonesia.
ETMC 2022 memang baru dimulai dan akan berakhir. Namun, promosi nilai dan pengejawantahannya pasti tidak akan pernah berakhir.***
Semoga lewat momen ini, masyarakat khususnya Di Lembata dan pada umumnya di NTT Berusaha untuk menemukan nilai-nilai yang positif dari Turnamen ini💪💪💪👍