Malam Minggu, 13 Agustus 2022, dalam suasana yang khusuk, guru, murid dan masyarakat sekitar desa Muruona, kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, memenuhi lapangan Futsal SMKN Ile Ape. Mereka ramai-ramai hendak menyaksikan pertunjukkan teater yang dipersembahkan oleh komunitas LEATER, singkatan dari Literasi Teater.
Komunitas Leater merupakan salah satu kelompok siswa SMKN Ile Ape dalam kegiatan ekstra kurikuler. Leater menjadi wadah pengembangan minat dan bakat pelajar SMKN Ile Ape di bidang teater.
Pentas kali ini menjadi bagian dari rangkaian acara perkemahan di SMKN Ile Ape menyongsong perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2022.
Teater ‘Ina Wae’ yang dibawakan oleh komunitas Leater merupakan ungkapan pengamatan dan perasaan mereka dalam melihat posisi perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Pementasaan ini hendak mengeritik budaya patriarki dalam tataran masyarakat Ile Ape, sekaligus “menggugat” superioritas laki-laki. Beberapa adegan simbolik seperti perempuan yang terikat dan dirantai, perempuan yang berusaha mencari buku dengan susah payah.
Dalam pertunjukkan teater ‘Ina Wae’ terdapat pula adegan monolog Leah. Monolog ini menjadi representasi perempuan yang mendambakan kesetaraan sebagai adegan anti-klimaks dari teater ‘Ina Wae’. Teriakan Leah dalam monolognya menjadi sunyi dan ajakan refleksi bagi para penonton.
Ini sepenggal dari monolog Leah, “Kau tahu! Aku tidak bias memilih apa yang menjadi pilihanku. Kau tahu! Aku tidak ingin terus berada di samping pria. Aku tidak ingin ditarik, tanpa perlawanan, oleh sekawanan pria. Orang-orang di desa, mengira aku perempuan tidak benar, karena sering pulang kemalaman. Padahal, mereka tidak tahu, kalau aku sedang berburu ilmu bersama teman-temanku. Padahal kemarin, si Kopong, sering pulang dari mabuk-mabukkan, tidak pernah sesekali ku mendengar, bising dari suara-suara orang desa.”
Suara lantang serta tatapan yang menikam, monolog Leah menciptakan sunyi, dimana para penonton mampu menikmati, juga memikirkkan kembali apa yang dikatakan Leah.
Selain pesan feminisme, teater ‘Ina Wae’ juga menyuarakan keterlupaan dan hilangnnya pewarisan nilai budaya menenun pada perempuan. Adegan simbolis ketika hanya ada satu orang perempuan yang sedang menenun di tengah perempuan lain yang hanya duduk terpaku dan diam ketika hendak menunjukkan bagaimana jumlah perempuan yang masih bisa menenun sudah mulai berkurang.
Ketua komunitas Leater, Laba Tedemaking menceritakan bahwa proses persiapan pementasan teater ‘Ina Wae’, ada sesi diskusi di mana teman-teman berusaha untuk mepersiapkan tema yang akan diangkat yang sesuai dengan kondisi kontekstual yang ada di sekitar mereka.
Laba menyampaikan bahwa ‘Ina Wae’ bukan sekedar lahir dari hasil riset, tetapi juga menggambarkan perasaan teman-teman anggota komunitas Leater. Mereka merasakan posisi inferior perempuan serta memudarnya kecintaan kaum muda apalagi perempuan, terhadap kain tenun tradisional.
Kepala sekolah SMKN Ile Ape, Mikael Segegit Kobun sangat mengapresiasi pertunjukkan teater ‘Ina Wae’. Dia menilai pentas itu sebagai salah satu bentuk implementasi merdeka belajar, dimana dari proses awal dalam penciptaan suatu karya, siswa diajarkan untuk melakukan observasi terhadap keadaan sosial yang ada di sekitarnya.
Dia menekankan pentingnya kemampuan imajinasi serta analisis para pelajar dalam memandang masalah, serta kenyataan yang ada di sekitarnya. Hal inilah yang dilihatnya ada dalam proses persiapan hingga pertunjukkan teater ‘Ina Wae’.
Dia menambahkan bagaimana menciptakan gerakan sekolah menyenangkan dengan kurikulum merdeka belajar. Bagi dia, kegiatan ini menjadi penting, untuk membuka ruang kreatif bagi para pelajar dalam menemukan kemampuan, serta menunjukkan bakat yang mereka miliki.
“SMKN Ile Ape merupakan salah satu tempat belajar, bukan tujuan akhir. Belajar itu bisa di mana saja, sekolah itu bisa di mana saja. Sehingga dalam lembaga formal ini, kepada anak-anak sejak mereka masuk, ini menjadi salah satu rumah belajar. Karena itu, tugas dari para guru adalah untuk menggali potensi dari anak-anak,” ujar Mikael Segegit Kobun.(fr.rintho jaga)