Oleh: Anselmus D Atasoge
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Uskup menempatkan seorang pastor dan sejumlah awam untuk ikut terlibat dalam Forum Komunikasi Antarumat Beriman (FKUB). Mereka aktif dan tanggap atas situasi yang berkembang di lapangan. Mereka juga termasuk salah satu forum yang aktif terjun sampai ke desa-desa untuk mempromosikan kerjasama, kerukunan, dialog dan toleransi antarumat beragama di Keuskupan Larantuka.
Demikian tulis seorang pastor yang sedang studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Narasi di atas ditulis sebagai rangkuman wawancara dengan Pastor Bernardus Bala Kerans, Pr, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Flores Timur dalam disertasi pastor mahasiswa itu. Saya tidak hendak membahas lebih lanjut seluruh untaian narasi tersebut, namun hanya fokus pada intisarinya yakni terlibat mempromosikan kerjasama, kerukunan, dialog dan toleransi antarumat beragama di Keuskupan Larantuka.
Bahwasanya, agama membentuk kepribadian para penganutnya menjadi pribadi yang berintegritas dalam relasi dengan Tuhan, sesama dan alam semesta dan mengarahkan kehidupan para penganutnya yang integrir tersebut kepada sebuah kehidupan yang harmonis di antara sesama penganut maupun dengan para penganut lainnya.
Hemat saya, pribadi-pribadi yang paling diandalkan di nomor urut pertama dalam perwujudan atas agama tersebut adalah para tokoh agama. Ketokohan yang melekat padanya menjadi conditio sine qua non (syarat mutlak) pengandalan tersebut. Pengandalan ini bukanlah sebuah kondisi pengandaian alternatif melainkan sebuah panggilan ekstensial atas diri mereka sebagai ‘tokoh agama’. Dia bukan pilihan bisa atau tidak melainkan kewajiban in se jika mereka disebut ‘tokoh’.
Teringat kembali pesan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin saat menghadiri acara jalan pagi ‘Interfaith Walk 2019 Pemuda Lintas Agama’ di kawasan CFD Sudirman-Thamrin pada 17/11/2019. Jubir Kiai Ma’ruf, Masduki Bidlowi, mengatakan, dalam acara tersebut Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa para tokoh agama harus gencar menyampaikan narasi-narasi yang harmonis antarpenganut agama dengan penganut agama lain. Kala itu, Masduki menjelaskan bahwa dengan menyampaikan narasi harmonis, para tokoh agama akan membuat penganut agama di Indonesia bisa terus saling menghormati satu sama lain dan saling berempati untuk menciptakan kerukunan.
Setahun kemudian, saat kunjungan kerja ke Tasikmalaya dan Garut Jawa Barat (28/7/2020) dan silaturahmi dengan beberapa pemuka agama dan tokoh masyarakat Tasikmalaya dan Garut serta mengunjungi sejumlah Pondok Pesantren di daerah tersebut, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengajak tokoh agama khususnya para Ulama yang diyakini memegang peranan yang sangat penting untuk memberikan kesejukan. Terlebih radikalisme kerap mengatasnamakan agama sebagai dasar ideologi sehingga menuntut serta peran dari segenap tokoh agama dan para ulama. Rafli Amar mengharapkan agar tokoh agama menghadirkan pemikiran agama yang lurus sehingga buah pikiran provokasi, narasi kebencian dan kekerasan dapat teredam dengan baik.
Penegasan, ajakan dan harapan Ma’ruf Amin dan Boy Rafli Amar tidak muncul dengan sendirinya. Ia lahir dari fenomena sosio-religi di mana sejumlah ‘tokoh agama’ menghadirkan ketokohannya dengan sejumlah narasi yang dipandang tidak berdimensi kohesif-harmonis. Mereka hadir dengan hermenuetika despotiknya yang mengunci ayat-ayat suci dari Kitab Suci berdasarkan keinginan sosio-politisnya, sebuah keinginan yang jauh dari maksud Tuhan yang sesungguhnya di balik ayat-ayat suci tersebut. Hermeneutika despotik semacam itu akan ‘menuntun’ tokoh agama ke jalan yang tidak sehat sebab di dalamnya maksud mereka yang paling ditonjolkan dan bukannya maksud Tuhan. Karena itu, hasil tafsirannya adalah tafsiran-tafsiran yang hanya mendukung ‘urusan keduniawian’ mereka yang tak jarang menjauh dari ‘urusan keilahian’ yang menjadi bingkai bagi ‘urusan keduniawian’. Tak jarang disaksikan bahwa dari model tafsiran yang demikian lahirlah narasi-narasi keagamaan yang hanya mengabdi pada nilai-nilai partikular yang diemban oleh sang tokoh dan kelompoknya.
Saya menulis gagasan-gagasan ini untuk mengenang seorang tokoh yang membaktikan dirinya untuk mempromosikan kerjasama, kerukunan, dialog dan toleransi antarumat beragama di Keuskupan Larantuka. Dialah Pastor Bernardus Bala Kerans yang pada Kamis (14/7/2022) telah berziarah kembali pada Sang Asal Kehidupan. Ketua FKUB Kabupaten Flores Timur ini, hemat saya, telah menunjukkan ‘ketokohannya’ dalam hal promosi harmoni keberagamaan agama di Kabupaten Flores Timur. Raganya tak tampak lagi, namun tentu jejak-jejak kehidupan dan perjuangannya tak pernah selesai.
Narasi-narasi yang harmonis seperti yang ditegaskan dan diharapkan oleh Ma’ruf Amin dan Boy Rafli Amar serta yang telah dijalankan oleh Pastor Bernardus lahir dari kejujuran, ketekunan, kelengkapan, reasonableness dan pengekangan diri untuk tidak mencapai kesimpulan positif atau negatif mengenai hal-hal tertentu jika buktinya tidak mencukupi. Sekurang-kurangnya, tokoh agama yang berkehendak baik untuk mengisahkan narasi-narasi keagamaannya berkat eksistensi ketokohannya tak lari jauh dari kelima hal tersebut. Selalulah diingat bahwa tak ada satu agamapun yang tak mengimpikan harmoni kehidupan. Dan, tak satu tokoh agamapun yang menepis kepribadian yang integrir yang selalu menggendong niatan sucinya untuk menjalin relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semestanya.
Ketua FKUB Flores Timur itu kini telah tiada. Namun, cahaya FKUB tentu tidak ikut dalam ‘ketiadaannya’. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) diharapkan terus bercahaya sebagai pemersatu dan perangkul tokoh agama hingga boleh menjadi kekuatan dalam upaya membumikan moderasi beragama di tengah masyarakat dan tidak terjebak dalam pandangan ekstrim. Idealisme akan identitasnya sebagai penjaga cahaya kerukunan dan toleransi beragama semoga tak pernah tak tiada.
Peran itu dimainkan bukan hanya pada saat genting setelah pecah sebuah konflik, melainkan dan terlebih untuk membentuk saling pemahaman dan penghargaan pada waktu damai. Pada titik ini, FKUB tampil sebagai sebuah forum kerjasama di tengah sebuah masyarakat multikultural dan multireligius sekaligus menjadi model yang baik untuk membangun kerukunan dan kebebasan beragama.
Forum ini diyakini dapat memberikan kontribusi untuk sebuah relasi yang baik antarumat beragama, ketika agama-agama masih terlampau terkungkung dalam kecemasan dan kecurigaan untuk saling mendekati. Pastor Bernardus tentu akan tetap menghadirkan ‘spirit dan rohnya’ untuk idealisme ini.
Selamat jalan, Pastor!***