Anselmus D Atasoge
Dosen STP Reinha Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta
Selasa hingga Rabu, 17-18 Mei 2022, Gereja Lokal Keuskupan Larantuka menggelar puncak Temu Sinodal di tingkat Gereja Lokal Keuskupan Larantuka sebagai bagian dari menuju sinode para uskup se- dunia Oktober 2023. Tulisan ini tidak membahas secara detail perihal temu sinodal itu melainkan hendak menyisip satu dua gagasan terkait satu tema penting yang diperbincangkan dalam ‘perjumpaan penuh rahmat’ ini yakni dialog Gereja dengan agama-agama lain.
Tentang hal ini, Temu Sinodal Gereja Lokal Keuskupan Larantuka mencatat bahwa meskipun hadir sebagai mayoritas di Wilayah Gerejawi Keuskupan Larantuka, Gereja Katolik tidak menampilkan superioritas dirinya atas minoritas. Gereja pun tidak melakukan intervensi sewenang-wenang demi mengamankan dan memenangkan kepentingannya. Sebaliknya Gereja Lokal Keuskupan Larantuka membuka ruang ekspresi, saling pengertian dan saling menghargai antar umat beragama dan etnis lain. Hemat saya, gagasan ini merupakan sebuah kesadaran Gereja Katolik Keuskupan Larantuka yang berkiblat pada ajaran resmi Gereja Katolik tentang pandangan dan posisi Gereja Katolik di hadapan realitas multireligius-multietnik yang telah menjadi ciri khas dunia dewasa ini.
Sebelum Konsili Vatikan II digelar, Gereja Katolik menganut pandangan bahwa idealisme akan keselamatan manusia di dunia akhirat sejatinya hanya dapat direngkuh hanya melalui pintu Gereja. Sesudah konsili, Gereja berbalik arah dari pandangan tersebut dan menyatakan bahwa di luar dirinya pun, idealisme akan keselamatan terpatri kokoh dalam diri agama dan kebudayaan-kebudayaan yang hidup dan berkembang di dunia. Kesadaran yang fundamental ini mendorong Gereja untuk mengembangkan sayap persaudaraan sejati dengan agama dan kebudayaan lain dengan satu impian yakni harmonisasi menuju perdamaian dunia. Melalui dokumen Nostra Aetate yang dikukuhkan dalam sidang Konsili Vatikan II, gugas-gagas pembalikkan arah tersebut dapat elaborasi lebih intens.
Hingga hari ini, Nostra Aetate telah berumur lebih dari 50 tahun. Dokumen ini adalah salah satu dokumen yang dibacakan pada sesi terakhir Konsili Vatikan II. Sebuah dokumen yang membawa berkah persahabatan yang mengalir dari jantung Gereja Katolik. Gereja Katolik secara eksplisit mengumumkan kepada dunia agama-agama termasuk aliran kepercayaan, bahwa ia mengulurkan tangan kepada mereka untuk menjalin tali persahabatan sejati demi membawa dunia menjadi lebih penuh kasih dan persaudaraan. Bila hari ini orang-orang Katolik bisa duduk minum teh atau kopi dan makan kue dengan orang Islam atau Yahudi dan Kristen atau penganut aliran kepercayaan dengan hati riang gembira, bagi saya, hal ini merupakan salah satu dampak dari pengaruh dokumen pendek namun inspiratif Nostra Aetate.
Ada sejumlah gagasan penting dari dokumen ini. Pertama, Gereja menyadari sesungguhnya seluruh umat manusia memiliki asal-usul yang sama dan bahwa rencana penyelamatan Allah menjangkau semua. Kesadaran ini membawa konsekuensi logis bahwa Gereja keluar dari lingkup hidupnya sendiri dan mulai menggalang persatuan dengan segala bangsa.
Kedua, berangkat dari kehendak baik untuk menjalin relasi persahabatan sejati, maka Gereja memilih untuk melihat hal-hal positif dari masing-masing agama yang sekaligus menjadi jalan masuk untuk bertemu, berdialog dan menggalang kerjasama dan persahabatan yang saling mengerti satu dengan yang lain.
Sampai pada titik ini, bisa dikatakan bahwa Gereja bertobat dari cara pandang lama yang demikian yakin bahwa keselamatan hanya mungkin terjadi bila seseorang bergabung dengan Gereja yang tampak.
Pengetahuan baru akan penemuan benua-benua baru dan kenyataan agama-agama lain di belahan dunia lain, mengantar Gereja Katolik untuk memandang dan mengerti dunia dan agama-agama lain secara baru. Walau panggilannya untuk mewartakan bahwa Kristus adalah “jalan, kebenaran dan hidup” (Yohanes 14:6) adalah sebuah keharusan, tetapi kini, cara pandangnya sudah berubah.
Dengan sangat sadar Gereja mengakui bahwa semua saja yang baik dan benar yang memancarkan kebenaran yang menyinari semua orang, dihormati dengan tulus hati. Di atas keyakinan inilah, Konsili Vatikan II lalu berpesan kepada putera dan puterinya agar terus menjalin relasi persahabatan dan dialog dengan semua penganut agama lain, tanpa kehilangan identitas.
Nostra Aetate dengan ini membawa Gereja keluar dari sudut pandang eksklusifnya tentang dan terhadap agama dan kebudayaan lain. Gereja keluar dari kubangan paradigma ekslusivisme menuju paradigma pluralisme.
Paradigma plularisme mengakui bahwa semua agama termasuk kebudayaan-kebudayaan memiliki ajaran dan praktek religius yang unik dengan sejumlah karakteristiknya dan bahwa semua dipandang sebagai yang sah. Pengakuan ini menjadi dasar untuk mengedepankan “kesetaraan hak” semua agama untuk mengungkap diri sebagai jalan keselamatan atau pemilik kebenaran.
Pengakuan “kesetaraan hak” dalam level dialog mengandung pesan utama bahwa dengannya agama-agama dan budaya-budaya yang berbeda memiliki kemungkinan untuk merealisasikan dirinya dalam melahirkan dialog yang bertujuan untuk menciptakan pemahaman dalam perbedaan setiap agama dan budaya.
Impian paradigma seperti ini adalah meniadakan ketidakmengertian di antara mereka yang berbeda.
Kesaling-mengertian dalam realitas yang pluralis pada akhirnya tidak menjadikan salah satu dari sekian banyak yang berbeda sebagai pemegang otoritas tunggal atas kebenaran-kebenaran. Tak ada pula yang mengklaim diri sebagai yang paling benar dan paling unggul. Tak ada pula ‘kerkah seismik’ yang menfragmenkan ‘aku dan engkau’ secara ekslusif dan menganggap diri sebagai ‘central of the universe’.
Di titik ini, Nostra Aetate menghadirkan dirinya sebagai jantung pluralisme Gereja. Kepadanya boleh dilekatkan istilah magna charta-nya Gereja yang menjadi pedoman bagi para anggota Gereja untuk membangun dunia yang harmonis dalam kasih persaudaraan dengan semua yang berbeda dengannya. Ia mesti selalu menginspirir para pemimpin Gereja dalam segala levelnya!
Pengalaman ‘ada bersama’ dengan ‘yang lain’ dan ‘jalan bersama’ dengan ‘yang lain’ yang tercurah kisahnya dalam Temu Sinodal Gereja Lokal Keuskupan Larantuka tergambar dalam guratan kisah sebagai berikut: saling berperan menjadi panitia dalam pembangunan rumah ibadat dan atau hajatan keagamaan, terlibat bersama dalam perkumpulan dan aktivitas sosial, kerja gotong royong dalam komunitas warga. Bahkan dicatat pula bahwa pada komunitas tertentu tersedia ruang untuk temu sinodal bersama umat Islam dan Katolik dalam rangka konsultasi sinodal pada Sinode Para Uskup Sedunia ini. Terbuka ruang bagi pasangan yang memutuskan untuk menikah beda agama yang memungkinkan komunitas warga kian inklusi dengan pelibatan keluarga besar atau suku kedua pihak.
Bagi saya, pengalaman-pengalaman ini menjadi jalan-jalan kecil untuk menghadirkan dunia yang lebih damai-harmonis-kohesif. Di Abu Dhabi, 4 Pebruari 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb menanda-tangani sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Human Fraternity (Persaudaraan Manusia), sebuah dokumen yang gagasan utamanya mengusung impian tentang perdamaian dunia dan hidup bersama di tengah dunia yang dicoraki dengan pelbagai perbedaan.
Human Fraternity menegaskan bahwa melalui iman pada Allah, yang telah menciptakan alam semesta, ciptaan, dan seluruh umat manusia (setara karena rahmat-Nya), umat beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia dengan melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.
Dokumen ini pun menegaskan budaya dialog adalah jalan, kerja sama timbal balik sebagai kode etik, saling pengertian sebagai metode dan standar untuk menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai. Budaya ini akhirnya menjadi bingkai bagi usaha untuk menghentikan pertumpahan darah dari orang-orang yang tidak bersalah serta mengakhiri peperangan, konflik, kerusakan lingkungan hidup dan kemerosotan moral.
Setahun kemudian, ketika pandemic covid 19 tengah menghantui semesta raya, 3 Oktober 2020, Paus Fransiskus menanda-tangani ensiklik Fratelli Tutti (Semua Bersaudara) di Kota Asisi. Impian Abu Dhabi terbaca pula dengan benderang dalam Fratelli Tutti. Dengan rumusan yang amat singkat bisa dikatakan bahwa misi utama Fratelli Tutti adalah mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial dengan terciptanya satu keluarga umat manusia” di mana setiap manusia merupakan “saudara dan saudari dari semua manusia”.
Dalam salah satu bagiannya dari ensiklik ini, Paus Fransiskus menegaskan bahwa agama-agama melayani persaudaraan di dunia dan bahwa terorisme bukan disebabkan oleh agama melainkan oleh penafsiran salah terhadap teks-teks agama. Karena itu, Paus Fransiskus mengajak setiap agama untuk menjunjung tinggi “seni perjumpaan” satu dengan yang lainnya. Atas nama persaudaraan manusiawi, dialog menjadi sebuah seni perjumpaan tersebut sebagai suatu jalan, kerjasama bersama sebagai perintah, dan pemahaman satu sama lain sebagai metode dan ukuran.***