Gunung Mutis merupakan gunung tertinggi di pulau Timor. Gunung Mutis terletak antara 123º 51’15,60” – 124º 19’ 15,60” E dan 09º 23’ 33,60” S. Secara administrasi pemerintahan cagar Alam Gunung Mutis berada dalam dua wilayah kabupaten, yaitu kabupaten Timor Tengah Selatan dan kabupaten Timur Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara keseluruhan topografi Kelompok Hutan Mutis adalah relief bukit sampai bergunung serta lereng miring dengan kecuraman. Sebagian wilayahnya mempunyai kemiringan >60%, dan puncak tertinggi adalah Gunung Mutis dengan ketinggian 2.427mdpl.
Cagar Alam Mutis seluas 12.000 Ha ini memiliki keunikan dan keindahan tersendiri. Disamping itu juga menyimpan sejarah peradaban masyarakat Timor, khususnya masyarakat Mollo dengan beberapa habitat didalamnya yaitu Hutan hujan pegunungan (Montane Evergreen Forest), Hutan Semi Luruh Daun (Semi Deciduous Forest), Hutan Tegakan Murni (Eucalyptus Urophylla), dan Hutan Savana (Savanna Woodland).
Potensi Keanekaragaman Hayati
Cagar Alam Gunung Mutis memiliki vegetasi yang relatif homogen yang didominasi Ampupu (Eucalyptus Urophylla). Jenis pohon lain yang ditemui adalah podo carusimbrikataus, santalum album,Casuarina Junghuhniana,dan Litsea sp.
Cagar Alam (CA) Mutis memiliki potensi lain yakni jenis tumbuhan paku yang diduga merupakan endemik CA Mutis yaitu Dicksonia sp. Keunikan dari tumbuhan ini adalah anakan dicksonia sp selalu tumbuh menempel pada tumbuhan paku jenis Cyathea. Akar udaranya tumbuh ke bawah menuju mencapai tanah, hingga tumbuh pohon muda dicksonia sp yang kemudian akan mengambil alih persaingan nutrisi dengan Cyathea. Daun Cyathea perlahan mati dan luruh, setelah dicksonia dewasa batang Cyathea pun akan tumbang. Pada beberapa dicksonia dewasa masih terlihat sisa batang Cyathea .
CA Mutis juga memiliki beberapa satwa liar yang sering dijumpai, diantaranya Kuskus (Phalanger Orientalis), Babi hutan (sus vitatus), Biawak Timor ( Varanus Salvator), Sanca Timor (Phyton Timorensis), AyamHutan (Gallus Galus), Punai Timor (Treron psittacea), Betet Timor (Apromictus Jonguilacus),Pergam Timor (Ducula Cineracea), Sikatan Bakung (Cyornis Hyachinus) dan Perkici Dada Kuning (Trichoglossus Haematodus).
Aksesibilitas
Dalam kawasan CA Mutis ada beberapa desa enclave, yaitu Desa Nenas, Desa Mutis,dan Desa Nuapin. Dari beberapa desa yang ada dalam kawasan CA MUtis ini dikhawatirkan akan memicu kerusakan hutan akibat pertumbuhan penduduk tidak ditekan, sementara luas lahan tidak bertambah, maka lahan hutan akan menjadi sasaran untuk perluasan lahan perkebunan, penebangan liar untuk bangunan, pengambilan kayu bakar, dan peliharaan ternak di kawasan hutan.
Untuk mencapai kawasan CA Mutis, dapat ditempuh melalui tiga jalur yakni dari arah selatan,timur dan utara. Dari arah selatan dan timur melewati Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dengan melewati Desa Kapan (Kecamatan Mollo Utara). Dari Desa Kapan untuk menuju CA Mutis ada dua arah, yaitu arah selatan menuju Desa Fatumnasi (49 Km dari Kota SoE Kota Kabupaten TTS) dan dari arah timur,melalui Desa Bonleu ( 30 Km dari Kota SoE Kota Kabupaten TTS). Sedangkan dari Utara melalui kecamatan Miomafo Barat Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTU). Namun jalur yang paling mudah dan dekat yakni desa Fatumnasi.
Fatumnasi sendiri yang merupakan kecamatan di mana Gunung Mutis berada yang adalah sebuah desa adat. Kata Fatumnasi terdiri dari dua suku kata yaitu Fatu yang artinya batu dan mnasi yang artinya tua, jadi Fatumnasi artinya Batu Tua. Dituturkan bahwa desa ini merupakan tempat salah satu leluhur suku dawan tinggal sekaligus leluhur penjaga alam gunung paling tinggi di pulau Timor yaitu Gunung Mutis.
Penurunan status CA Mutis menjadi TWA sudah diusulkan sejak 2018, namun dapat penolakan dari masyarakat adat dengan alasan gunung Mutis merupakan jantung kehidupan orang Timor selain itu juga menjaga batu marga, bahkan anggota DPR RI Ansy Lema pun ikut mendukung masyarakat adat menolak penurunan status CA Mutis.
Meski penurunan status TWA batal, gonjang ganjing tentang penurunan status belum berhenti juga, bahkan semakin menjadi, baik di kalangan intelektual maupun masyarakat awam.
Dalam lamunan saya CA Mutis adalah Destinasi wisata alam panoramanya sangat memikat hati. Hamparan padang rumput yang menghijau dengan kuda-kuda liar, kabut putih yang menyelimuti pohon-pohon yang usianya ratusan tahun juga hutan bonsai sungguh elok dipandang mata.
Begitu eksotisnya panorama Mutis membuat begitu banyak kalangan berbondong-bondong datang dengan tujuan masing-masing. Akupun ingin mengais rejeki dengan memanfaatkan keahlian sebagai juru masak bahan lokal layaknya pedagang di taman wisata Gunung Colo, pasti laris manis. Atau bahkan mungkin saya bisa budidaya jamur tiram, atau cukup saya jadi juru parkir pengunjung pasti omzetnya besar.
Tersadarku dari lamunan, ketika ada yang memanggilku Obe. Ah…. akhirnya saya pun bertanya-tanya dalam hati mungkinkah itu yang mendorong orang-orang yang menginginkan turun status CA Mutis? Terus bagaimana dengan matu marga kami? Bagaimana dengan hutan kami yang jadi jantung kehidupan masyarakat Timor?
CA Mutis sudah bebas dikunjungi tanpa Surat Ijin Memasuki Kawasan Konservasi (Simaksi). Tiga pilar seperti bumbu penyedap sebagai slogan. Banyak pengunjung yang memasuki kawasan bukan hanya jalan kaki tapi mobil dengan berbagai merk sudah bebas lalu lalang. Tenda tenda mulai didirikan dalam kawasan, sampah beterbangan.
Papan larangan kawasan sudah tak dihiraukan apalagi kantor resort di pintu batas gerbang masuk CA Mutis hampir selalu tertutup, membuat saya kembali berpikir, “Apakah ini unsur kesengajaan dari Balai KSDA agar punya alasan penurunan status CA? Ataukah minimnya pengetahuan masyarakat tentang Cagar Alam?”
Libur hari raya menjadi puncak kepadatan pengunjung di CA Mutis. Dan selama beberapa hari relawan peduli lingkungan hidup menyusuri kawasan CA Mutis untuk memungut sampah dan dibawa turun disimpan di dekat kantor resort . Meski alasan peduli lingkungan dengan memungut sampah itu pun tidak dibenarkan karena tidak membawa simaksi .
Beberapa hari saya bertahan di Fatumnasi. Bertanya kiri kanan kepada pengunjung, alasan berkunjung ke CA Mutis dan kudapati jawaban yang hampir sama, yaitu tidak tahu tentang Cagar Alam dan mempertanyakan kenapa tidak ada petugas yang jaga.
Bahkan yang lebih membuat saya terusik ketika saya datang ke pengelola Lopo Mutis yang juga penasehat pengelola penginapan milik Pemprov Bapak Matheos Anin, dengan bangganya menuturkan bahwa beliau yang mengusulkan CA Mutis menjadi taman wisata pada tahun 2013 di Jakarta. Meski CA Mutis belum menjadi TWA, beliau tidak melarang orang berkunjung untuk sekedar foto – foto atau menikmati panorama beliau hanya melarang pengunjung berkemping atau mendirikan tenda, karena penginapan sudah disediakan di luar kawasan.
Saya kembali ingat diskusi setiap berkunjung ke Balai yang selalu meminta masyarakat adat ikut berperan dalam menjaga CA Mutis. Sebenarnya peran apa yang harus dibuat atau dikerjakan masyarakat adat dalam menjaga CA Mutis jika pintu masuk kawasan saja terbuka lebar, dan pintu kantor resort terkunci ?
Bersambung kewenangan masyarakat adat dalam CA mutis. (Bi Obe)