Bernardus Tube Beding
Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng
Bulan April 2022 merupakan bulan suci penuh berkah bagi umat Islam. Sejak 2 April 2022 sesuai dengan Maklumat Nomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1443 H, umat Muslim melewati 1 Ramadhan 1443 H selama 30 hari sehingga 1 Syawal 1443 H atau Hari Raya Idul Fitri yang tepat pada 2 Mei 2022. Bulan suci merupakan bulan berpuasa bagi umat beragama, khususnya umat Islam.
Umat Islam telah melakukan ritual besar selama satu bulan penuh, yaitu shiyam ramadhan, plus seluruh rangkaian ibadah dan amal kebajikan lainnya, seperti shalat-shalat sunnah, tadarrus al-Qur’an, shadaqah, dan lain sebagainya. Bulan suci penuh berkah ini hakikatnya diisi dengan memperbanyak tadarus, sedekah, iktikaf, dan berbagai ibadah, serta amal kebajikan, hingga disempurnakan zakat fitrah di akhir Ramadhan ini.
Membaca Realitas
Tidak dimungkiri bahwa banyak pihak menyia-nyiakan makna bulan suci ini. Tidak sedikit orang yang mengisi bulan suci ini dengan begadang menonton acara di layar televisi, khususnya sinetron-sinetron kesukaan sampai semalam suntuk. Para pengusaha selalu sigap merancang dan menayangkan iklan, poster, atau neon sign di televisi, tempat-tempat jualan, jalan-jalan umum, bahkan jempatan-jembatan penyebrangan selama bulan suci. Bukan sekadr ucapan, mereka juga memutar musik dan lagu religius di toko dan food court alias pujasera. Bulan Suci Ramadhan malah diisi dengan keriuhan, kebisingan, dendang, dan rendang.
Terlihat di layar televisi dan atau saat acara buka bersama para “Aa” dan “Mamah” tidak jarang sibuk melayani program berlabel “siraman rohani”.
Perusahaan-perusahaan memacu target produksi untuk memenuhi stok Lebaran. Karyawan bekerja lebih keras demi bonus. Para buruh harap-harap cemas memikirkan THR yang kerap telat atau batal dibayar majikan. Tukang ojek, tukang “ngobyek”, hingga penganggur dikejar gemuruh tuntutan kebutuhan Lebaran yang tak terelakan.
Ketika problem ekonomi mengipit, Lebaran malah menjadi momok menakutkan. Banyak kalangan memaknai secara keliru bulan suci ini. Kepahitan sosial akibat melambungnya harga kebutuhan logistik mengharu-biru jiwa kaum marginal di tengah kota hingga perkampungan terpencilPada April yang lalu mereka tak sempat nyepi dalam batin karena uang mesti dikejar lebih kencang.
Satu sisi, ada masyarakat yang bergabung dalam komunitas-komunitas maupun kelompok-kelompok buka bersama di gedung atau hotel yang diisi ceramah dai kondang dan ditutup dengan hidangan lezat berlimpah. Lapar sesiang disudahi dengan kudapan manis dan kuliner seronok: sangat pas bagai penunjang renungan tentang sufi Abad Pertengahan yang melantunkan cinta kepad Ilahi. Artinya, tiada penghayatan nyata bahwa tasawuf adalah akhlak dan pengendalian total hawa nafsu. Yang dinikmati semata-mata puisi mabuk cinta hingga terbit kagum pada diri sendiri betapa mudah tumbuhnya rindu menyatu dengan Ilahi. Sekejab mata, diri serasa setara wali.
Padahal, puasa bukan drama romantis. Alkisah, Fatimah putri Rasul beserta suami dan kedua putranya tengah menanti waktu berbuka dengan masing-masing septotong roti dan semangkuk susu. Terdengar pintu diketuk oleh seseorang yang mengaku lapar. Dengan serta merta roti dan susu diserahkan kepada pengemis itu. Mereka pun berbuka puasa hanya dengan air putih hingga wajah kedua anak mereka memucat pada hari ketiga.
Yah, itulah realitas yang disiarkan dalam pemberitaan media-media massa, baik cetak maupun elektronik dan online selama bulan suci yang lalu. Sekarang sudah di puncak Id al-Fitri (Idul Fitri). Hari Raya Idul Fitri dapat dimaknai bahwa umat manusia digolongkan oleh Allah menjadi orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri), ja’alana Allah wa iyyakum min al-‘adin wal-faizin wa adkhalana waiyyakum fi zumrati ibad al-shalihin. Idul fitri ada karena adanya shiyam ramadhan, maka tidak ada nilai dan identitas fitri jika tidak ada pelaksanaan shiyam ramadhan.
Sesungguhnya, selama bulan suci Ramadhan hingga Syawal (Idul Fitri), seluruh karunia ditumpahkan oleh Allah kepada umat Islam. Paling tidak ada tujuh macam karunia itu: pertama, rahmat (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh pertama (al-‘asyr al awwal); kedua, maghfirah (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh kedua atau pertengahan (al-‘asyr al-ausath); ketiga, pembebasan (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh terakhir (al-‘asyr al-awakhir); keempat, lailatul qadar yang diturunkan pada malam-malam ganjil (yang nilainya lebih baik dari seribu bulan setara dengan 83 usia manusia); kelima, zakat fitrah, (yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah manusia); keenam, pahala puasa 6 hari syawal, (yang nilainya setara dengan puasa satu tahun); ketujuh, halal bi halal (saling memaafkan di antara kita, yang dapat menghapus dosa antarsesama). Pertanyaan muncul, apakah karunia-karunia tersebut diterima oleh umat Islam yang masih menyibukkan dirinya dengan hal-hal duniawi?
Hakikat Bulan Suci
Tentu kita sepakat bahwa Ramadhan memang fenomenal di tengah negara muslim terbesar di dunia seperti Indonesia ini. Berbusa-busa ustaz mengingatkan pentingnya itikaf di masjid. Tetapi Ramadhan malah dipenuhi ingar-bingar musik dan lawakan di layar televisi hingga subuh. Kisah Jalaluddin Rumi yang mengisi malam-malamnya pada musim dingin dengan menajat hingga air mata dan janggutnya membeku tak menyadarkan kita bahwa itu bukan fiksi dan untuk menapaki jalan sang sufi kita wajib menjemput rasa sakit yang sama.
Kurang lebih enam tahun saya belajar bersama masyarakat Jawa dengan latar generasi yang berbeda. Saya bertemu, bergabung, bahkan hidup bersama mereka. Saya banyak belajar, termasuk mengenal kehidupan religi Jawa yang tua. Satu hal yang saya belajar bahwa kontak spiritual dengan pengayom Tanah Jawa di alam gaib tidak dapat dilakukan sepanjang Ramadhan. Sebab pada bulan tersebut para badan alus menarik diri untuk memusatkan cipta, rasa, dan karsa hanya kepada Yang Maha Tunggal.
Tentu, setiap kepercayaan memiliki “kekhasan” dan “karakter” dalam memaknai “bulan suci” masing-masing. Misalnya, umat Hindu memaknai hari raya Nyepi sebagai penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makrokosmos dan mikrokosmos) demi kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, kehidupan yang berlandasakan kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan keharmonisan (sundaram). Sesuai hakikat itu, mereka melaksanakan tapa, yoga, dan semadi yang intinya tak mengobarkan hawa nafsu, melakukan penyucian rahani, wawas diri, dan tak mengumbar kesenangan: hanya memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Demikian halnya umat Kristen Katolik. Bagi umat Katolik Roma, bulan suci dimaknai dengan bulan puasa dan pantang. Puasa dan pantang orang katolik bukan soal makan-minum semata. Makan-minum hanyalah salah satu bentuk. Maka, puasa orang Katolik tidak akan terganggu atau tergantung dengan urusan jual beli makanan di warung-warung makan. Puasa-pantang orang Katolik terkait dengan pengendalian diri demi nilai-nilai yang lebih luhur. Yang dikendalikan adalah diri sendiri, bukan orang lain. Itulah sebabnya, Gereja merumuskan beberapa aturan puasa dan pantang sebagai berikut. Puasa (dalam arti yuridis) berarti mengurangi makan atau minum. Makan kenyang hanya sekali sehari. Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60. Hari Puasa dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung.
Seyogianya referensi itu mengissyaratkan agar kita mendalami hakikat makna “Bulan Suci”. Saya pernah mengunjungi seorang Muslim di Jawa Barat. Dia sungguh menghayati ilmu karuhun dengan membuat ruang bawah tanah di rumahnya. Ruang itu bagi dia sebagai sarana untuk mencapai puasa yang sempurna. Puasa, seperti kita tahu, tak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga dari berbagai keinginan tak sesonoh yang menyalahi hukum Tuhan atau perintah Allah. Ruang khalwat bawah tanah untuk menempa diri juga digunakan oleh Sunan Drajat, yang situsnya terdapat di Lamongan, Jawa Timur.
Sikap Tanpa Tujuan
Alangkah mudah mencibir mereka yang memilih lapar selama tiga hari berturut-turut karena bersedekah kepada fakir miskin. Seberapa lapang dada dan toleransi kita kepada umat agama lain? Betapa enteng menebar sinisme terhadap konsep religi yang dihayati nenek moyang di Nusantara, padahal kita tahu hakikatnya. Begitu lekasnya kita menuduh Wali Sanga telah mencampuradukkan ajaran Islam dengan berbagai khurafat tanpa mendalami substansi aspek-aspek kemanusiaan kita sendiri.
Sinisme dan kecongkakan itu, tak lain, terdiri dari kebidohan. Kita menafikan kelemahan manusiawi, lantas melecehkan metode buat mengatasi kelemahan itu. Kita berpikir seolah-olah agama diturunkan untuk malaikat, bukan untuk manusia beserta segenap sisi kemanusiaan yang problematik.
Kita juga kadang-kadang berlebihan menanggapi kewajiban berpuasa. Dengan arogan kita menutup warung makan dan restoran pada siang hari. Kita lupa ada hak-hak orang lain yang dilanggar dengan kepongahan iotu. Atas nama puasa, kita hancurkan puasa kita. Kita bekuk hak saudari kita untuk mencari nafkah dan hak orang yang berbeda agama untuk makan di warung atau restoran pada siang hari. Sementara itu, selama berpuasa hati dan pikiran kita sibuk dengan angan-angan kuliner. Puasa pada siang hari, lalu memuaskan perut pada malam hari. Tanpa keteguhan di perjalanan, kita pun tersesat dari tujuan. Tak ada yang pantas diharapkan dari “bulan suci” demikian.***