Anselmus D. Atasoge
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Yogyakarta
Sejak hari ini, kamis, 14 April hingga sabtu, 16 April 2022, umat kristiani sedunia memasuki hari-hari suci yang biasa disebut Tri Hari Suci, yakni Kamis Putih, Jumat Agung dan Malam Paska. Konsentrasi di tri hari suci adalah kesempatan bagi umat kristiani untuk masuk ke dalam dirinya untuk memahami dan mendalami penghayatan imannya akan Yesus Kristus. Pemahaman dan pendalaman itu diharapkan mampu memberi daya dorong dan semangat juang untuk tetap mengikuti Kristus dengan setia baik di saat untung maupun di saat malang dalam seluruh hari-hari hidup mereka.
Salah satu momen pemahaman dan pendalaman di hari-hari suci adalah kenangan akan sengsara Yesus. Sesungguhnya ‘mengambil bagian di dalamnya’ mengandung makna mengambil bagian dalam Kisah Sengsara Yesus Kristus itu. Mengambil makna darinya bisa berarti menimba kekuatan untuk membaharui diri dan kehidupan mereka yang terlibat di dalamnya setelah menyatukan dan menceburkan diri dengan sekian banyak tokoh yang hadir dalam seluruh Kisah Sengsara Yesus itu: Pilatus, Kayafas, Prajurit-Prajurit, Murid-Murid Yesus, Simon dari Kirene, Veronika, Maria Ibu Yesus, Perempuan-Perempuan yang Meratapi Yesus, Yudas Iskariot dan Yesus.
Para murid Yesus, orang-orang yang paling dekat dengan Sang Guru pun punya kisah tersendiri: ada yang menyangkal dan hampir semua melarikan diri! Ya…Petrus Sang Ketua menyangkal Sang Guru. Dan, yang lain lari meninggalkan Sang Guru ketika situasi sulit menghampirinya hingga Simon dari Kirene, orang asing itu, harus menemani Sang Guru di Jalan SalibNya. Massa Anonim, apalagi! Di Gerbang Kota Yerusalem dengan ranting-ranting zaitun mereka mengelu-elukan Yesus. Dan, di halaman istana Pilatus mereka serentak berseru: “Salibkan Dia….Salibkan Dia!” Antara sujud syukur sambut senang dan sangkal tolak batasnya amat tipis. Lain muka lain belakang. Lain kata lain aksi. Tak ada persesuaian antara keduanya.
Masih banyak tokoh dalam Jalan Salib Sang Guru yang bisa kita identifikasikan. Satu di antaranya adalah Yudas Iskariot. Tiga puluh keping perak itu bukan “maksud hati” Sang Pengkhianat itu. Sedari awal dia tahu kalau Yesus itu “tokoh sakti”. Namun, sejauh pengalamannya, aura kesaktian Sang Guru belum tampak terang. Maka, Yudas “bikin” skenario Getsemani biar Sang Guru “harus” tampilkan “kesaktiannya”: kemahakuasaanNya. Orang-orang yang hendak menangkapNya memang sempat “terjatuh” di hadapanNya. Jantung Yudas bergedup. Dia kira inilah saatnya kesaktian Sang Guru menyembul di balik kepekatan Getsemani. Tapi, skenarionya gagal. Sang Guru “membiarkan diriNya” ditangkap. Atas ‘kegagalan skenarionya’, Yudas pun mengakhiri kehidupannya: bunuh diri!
Yudas itu gambaran orang-orang yang berniat memaksa Allah untuk mengikuti skenario kemanusiaan mereka. Bukan tidak mustahil jika ‘impian’ Yudas Iskariot menjadi juga bagian dari diri kita masing-masing ketika kita dengan cara kita memaksa Tuhan untuk mengikuti alur pikir kita, mengikuti kehendak kita, mengikuti skenario kebutuhan kita, tanpa kita membiarkan diri dikuasai oleh Tuhan?
Mungkinkah kita juga dalam kadar-kadar tertentu mengambil posisi sebagai para murid Yesus yang pada satu kesempatan menyatakan dengan pasti sebagai murid-muridNya dan pada kesempatan lain berdiri dari kejauhan dengan pikiran dan sikap kita yang bahkan dengan lantang berseru: salibkan Dia?
Momen trihari suci memanggil kita untuk memurnikan kembali kemuridan kristianitas kita. Sejauh mana kerangka pikir yang kita bangun sebagai para pengikut Yesus yang pernah menderita, menjalani salib baru, wafat dan sesudah itu bangkit dari kuburNya?
Kerangka pikir macam manakah yang kita bangun? Apakah kita menantikan sang mesias yang gagah perkasa yang tak pernah mengalami peristiwa salib, seorang mesias politis yang memiliki segundang kesanggupan yang hanya dengan satu dua kata kekuasaan Romawi terhenyak dalam kehancuran berkeping? Ataukah, dalam kadar-kadar tertentu kita tampil seperti para tokoh agama Yahudi dan tetua Yahudi kala itu yang menuduh sang Mesias menghujat Allah dan menyerahkan urusannya kepada Pilatus yang hadir di Tanah Yedua sebagai perpanjangan tangan Sang Kaisar Romawi? Pilatus sendiri ‘cuci tangan’ lantaran tak menemukan kesalahan apapun pada Sang Mesias.
Tuduhan mereka tak dapat ditarik. Di tengah ribuan massa yang kala itu tengah berada di Yerusalem untuk merayakan paskah seturut adat kebiasaan nenek moyang mereka yang sebagian besar dari mereka telah mengenal Sang Mesias dan telah menaruh simpatik dan harapan pada Sang Mesias, orang tua-tua itu seakan ‘mencuci tangan’ pula.
Lantaran takut kehilangan muka secara vertikal dengan Romawi dan secara horizontal dengan warga yang dipimpinnya, Pilatus pun tunduk pada suara yang tak hentinya memaksa membebaskan seorang penjahat ‘Barabas’ dan menyalipkan Sang Mesias dengan tata cara hukum Romawi. Kalau saja harus tunduk pada hukum Yahudi maka Sang Mesias haruslah dirajam hingga wafat.
Kisah Sang Mesias tidak berpuncak pada salib. Hidup Sang Mesias tidak berhenti di salib. Tiga hari setelah kematianNya, Sang Mesias bangkit. KebangkitanNya menjadi titik star refleksi para pengikutNya kala itu. Peristiwa salib telah mengoyakkan impian para pengikutNya. Peristiwa salib Sang Mesias membuat mereka tercerai: kembali ke kampung asal dan kembali menekuni pekerjaan harian mereka sebagai nelayan.
Di tengah keterceraian mereka, Sang Mesias yang bangkit menampakkan diri. Ia yang pernah mereka ikuti dari Galilea hingga Yerusalem, Ia yang wafat di salib kini hidup dan hadir di tengah mereka. Ada yang ragu-ragu namun akhirnya percaya juga setelah membuktikan secara langsung siapa yang sesungguhnya telah menampakkan diriNya kepada mereka.
Peristiwa kebangkitan kembali membuka kenangan mereka akan kata-kata Sang Mesias yang pernah menubuatkan tentang diriNya. Kebangkitan Sang Mesias menghidupkan kembali secara terang-benderang tentang jati diri Sang Mesias sebagai Kristus. Dari titik inilah, mereka yang tercerai kembali bersatu dan membangun komitmen untuk menjadi saksi kebangkitan dengan menyebar ke segala penjuru dunia.
Selamat bermenung di Trihari Suci bagi sama-saudaraku yang merayakannya. Semoga hari-hari suci ini membangunkan kesadaran baru tentang jati diri kita sebagai murid dan pengikut Sang Mesias, Sang Kristus Imam Agung kita. ***