Aksinews.id/Lewoleba – Fasilitas publik di Kabupaten Lembata, termasuk tempat ibadah, perkantoran, bank-bank hingga sekolah, dinilai belum ramah difabel. Kesetaraan difabel hendaknya tidak hanya di atas kertas. Tapi, wujudkan di lapangan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini disampaikan difabel dari Desa Duawutun, Wilhelmus Boli Bean usai mengikuti Training Inklusi, Proses Perencaanan & Penganggaran Partisipatif, Kerentanan dan Dasar Aksesibiltas. Kegiatan ini dilaksanakan pelataran New Annisa Hotel, Lewoleba, Senin, 1 November sampai Selasa, 2 November 2021.
Kegiatan ini diadakan oleh Humanity & Inclusion(HI), Perkumpulan Relawan CIS Timor dan Forum Peduli Kesejahteraan Difabel dan Keluarga (FPKDK) Kabupaten Lembata.
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menerangkan bahwa disabilitas atau difabel punya kedudukan hukum dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Sayangnya, kata Wilhelmus, fasilitas publik di Lembata belum seluruhnya menerapkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Fasilitas publik, seperti bank, perkantoran, sekolah, taman dan jalanan umum, misalnya, belum menerapkan (ramah difabel) karena belum ada sosialisasi penuh dari pemda, seperti logo difabel di tempat parkir, guiding block di trotoar yang malah seringnya dialihfungsikan sebagai trotoar dan dinaikin (dijadikan parker kendaraan) motor”, tuturnya.
Tak hanya jalan umum, tempat ibadah dan perkantoran pun disoroti. Penyandang difabel fisik terutama, sering kesulitan saat harus mengakses toilet atau kamar mandi pada perkantoran. “Termasuk pasar dan ATM bank kebanyakan tak ramah difabel”, tambahnya.
Di sisi lain, masyarakat umum sendiri belum terbiasa dengan kebijakan publik yang berkaitan dengan penyandang difabel. Masyarakat bahkan cenderung mengelompokkan difabel sebagai orang tak berdaya.
Wilhelmus memberi perspektif sekaligus mengingatkan publik, kelompok masyarakat non difabel berpotensi sebagai difabel. Hal itu dapat terjadi manakala tubuh kehilangan fungsinya. “Non difabel berpotensi difabel. Ketika kita tua dan kehilangan daya tahan tubuh, kita itu difabel”, terangnya.
Sayang, imbuh difabel dari desa Duawutun ini, kebanyakan orang tak berpikir ke arah sana. Rerata justru mengkotakkan status strata sosial antara penyandang difabel dan non difabel.
Untuk menciptakan ruang publik yang ramah difabel, sebutnya, tergantung pada kerjasama masyarakat difabel maupun non difabel. Kuncinya, kesepakatan antar kedua kelompok masyarakat itu untuk menciptakan keberagaman. “Masyarakat, dari atas sampai bawahannya, harus memahami bagaimana memperlakukan masyarakat difabel”, katanya.
Perlakuan ramah difabel, harap Wilhelmus, tak sebatas di atas kertas atau hanya dipahami pemegang kebijakan. Pemahaman atas perlakuan terhadap difabel harus pula dimiliki para petugas lapangan dari instansi atau lembaga pelayan publik.
“Tapi, difabel bukan untuk dikasihani. Difabel butuh pemberdayaan, jangan bikin mereka tidak berdaya sehingga berpikir pragmatis dan menjadi ketergantungan”, pintanya.
Di sisi lain, dia pula meminta masyarakat penyandang difabel untuk mengubah pola pikir. Difabel bukanlah subjek yang keterbatasannya harus dikasihani untuk kemudian dieksploitasi.
Korvandus Sakeng, Relawan Forum Peduli Kesejahteraan Difabel dan Keluarga (FPKDK) Kabupaten Lembata juga mengatakan, seharusnya dalam perencanaan tata kota mendatang, pemerintah mesti melibatkan para penyandang disabilitas. Menurutnya ini penting, agar infrastruktur yang dibangun pemerintah tepat sasaran, dan Lembata jadi kabupaten yang ramah terhadap penyandang difabel.
Dijelaskan Sakeng, akibat kurangnya keterlibatan penyandang difabel, banyak infrastruktur yang dibangun pemerintah menjadi seperti tidak berguna. Menurutnya, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kantor-kantor pemerintahan semua nyaris sama, tak ramah disabilitas. Sebabnya Kor Sakeng meminta, pemerintah harus melibatkan difabel dalam perencanaan tata kota mendatang. “Agar kota Lewoleba Kabupaten Lembata bisa jadi kabupaten yang lebih inklusif bagi semua”, tandasnya. (*/AN-01)