Universitaet ist der Kopf einer Gesellschaft. Universitas adalah kepala masyarakat. Demikian Andre Hugo Parera, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengawali intervensinya dalam dalam diskusi. Diskusi yang diselenggarakan antara Pemda Lembata dan Akademisi asal Lembata pada Sabtu, 16 Oktober 2021, ini merupakan wadah curah gagasan untuk membicarakan tentang perlunya kehadiran Perguruan Tinggi di Lembata.
Di hadapan para akademisi dan pemda, politisi asal Sikka itu mengungkapkan bahwa kalau sebuah masyarakat adalah sebuah badan, maka universitas adalah kepala dari badan itu. Ungkapan yang berasal dari Weber itu diangkat Parera untuk ‘memprovokasi’ baik pemda maupun akademisi untuk berpikir tentang kehadiran Perguruan Tinggi (PT) di Lembata. Lalu apa artinya sebuah ‘badan’ (daerah) kalau tanpa ‘kepala’, yaitu Perguruan Tinggi?
Dalam nada yang sama, diungkapkan oleh Pater Lambert Lalung, SVD, misionaris yang sudah 29 tahun berkarya di Chile – Amerika Selatan dalam doa pembukaan yang begitu mengantar para peserta menyatukan energi positif yang ada. Menurut misionaris asal Atawolo, Atadei, ini, setiap gagasan besar harus dimulai dengan ritus adat dan agama. Menurutnya, dengan kehadiran Perguruan Tinggi, maka Lembata tidak lagi menjadi LEMBAh Tangisan tetapi menjadi LEMBAh sukaciTA. Jadi PT itu akan mengubah banyak hal. Demikian ‘tuan Lambert’.
Urgensi Pemberdayaan SDM
Dalam pemaparan awal sebagai pemantik diskusi, Dr Thomas Ola Langoday, bupati Lembata menggarisbawahi tentang pentingnya SDM berkualitas untuk menjadikan Lembata hadir dengan produk unggulan, menjadikannya Lembata ‘’Healthiest From The East’. “Produk unggulan hanya bisa muncul dan akan terus muncul kalau didukung oleh SDM yang tangguh”, demikian Thomas.
Dari segi potensi, Langoday memaparkan bahwa tiap tahun terdapat 2000an lebih lulusan dari SMA di Lembata. Cukup banyak yang melanjutkan pendidikannya ke daerah lain, tetapi tidak sedikit pula yang memendamkan mimpinya karena jarak terlalu jauh. Kehadiran Perguruan Tinggi di Lembata merupakan sebuah peluang bagi siapapun termasuk menjadi strategi agar modal tidak ‘berpindah’ ke daerah lain.
Hal senada didukung oleh Ketua DPRD Lembata, Pieter Gero. Gero mengingat bahwa di masa lalu, pernah ada Akademi Komunitas malah UNWIRA yang telah membuka cabangnya di Lembata di mana Piter menjadi salah satu alumninya. Sayangnya, kehadiran Perguruan Tinggi itu tidak bertahan lama.
Menyinggung hal yang sama, Langoday mengatakan ide itu tidak bisa dilanjutkan oleh karena tidak adanya sikap saling mendukung tetapi lebih saling menjatuhkan. “Taan tou” tidak berjalan semestinya. Ada orang yang berusaha naik, tetapi pada saat yang sama mereka ditarik turun oleh oragn lain yang merasa iri hati.” Karenanya menurut Thomas, kita harus belajar dari pengalaman masa silam. Kalau Yesus jatuh tiga kali, harapannya, Lembata tidak jatuh untuk ketiga kalinya. Kehadiran PT di Lembata kali ini harus menjadi lebih baik, belajar dari pengalaman sebelumnya, demikian tandas Thomas.
Hal senada didukung oleh Zakarias Paun. Mantan Kepala Dinas Pendidikan Lembata itu menekankan tentang pentingnya studi kelayakan untuk menentukan bentuk perguruan tinggi. Dari segi pengalaman yang ia miliki bahwa untuk sementara Politeknik merupakan salah satu bentuk yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi prioritas.
Penekanan tentang pentingnya kehadiran PT sebagai media menghasilkan SDM berkualitas diteropong juga oleh Dr. Marsel Ruben Payong. Payong yang kini menjadi Wakil 1 Rektor Universitas Santu Paulus Ruteng mengatakan pekerja asal Lembata (dan NTT pada umumnya) masih didominasi oleh lulusan SD bahkan yang tidak tamat SD. Realitas seperti itu akan memengaruhi kualitas kerja. Karena itu, lulusan S3 dari Universitas Negeri Jakarta itu mengatakan, sangat mendesak kehadiran PT di Lembata.
Namun, Marsel yang juga seorang asesor PT nasional mengatakan, mendirikan PT sebenarnya tidak sulit. Ketika 4 komponen penting seperti: Dosen, Fasilitas / Sarpras, Modal, dan Rumusan Kurikulum dan Tata kelola yang baik, maka sebuah PT bisa memiliki izin pendirian. Yang harus dipikirkan secara serius, bagaimana reakreditasi yang sangat dibutuhkan selama 2 tahun pertama. Kalau tidak didisain dengan baik maka banyak prodi yang berada pada kondisi tidak bisa diakreditasi dengan kemungkinan bisa ditutup kapan saja.
Sejalan dengan Marsel, Sipri Tua Betekeneng, M.Pd, yang kini mengepalai bagian Kurikulum pada L2DIKTI XV NTT memberikan gambaran bahwa dari 200-an prodi yang ada di berbagai Perguruan Tinggi di NTT, cukup banyak yang ‘hidup segan, mati tak mau’. Karena itu analisis yang cermat, studi kelayakan yang mumpuni dilaksanakan secara profesional akan menjamin bahwa sebuah Perguruan Tinggi akan tidak sekadar ada tetapi memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Lembata. Sipri juga menekankan bahwa dalam menentukan bentuk PT, perlu dipertimbangkan peta yang ada di NTT yang kini punya 14 Universitas, 4 Institut, 27 Sekolah Tinggi, 3 Politeknik, dan 8 Akademi, sementara Akademis Komunitas sampai saat ini masih belum ada.
Hal senada ditekankan oleh Piter Pureklolong. Pegiat pendidikan di Batam menekankan agar pemda Lembata berperan dalam mengadakan riset yang baik. Tanpa riset yang baik, maka sebuah PT hanya sekadar ada tetapi tidak memberikan kontribusi yang positif.
Road Map dan Studi Kelayakan
Menjawabi kebutuhan PT Lembata, Dr Wilem Ola Rongan, M.Sc menggarisbawahi pentingnya sikap proaktif dari pemerintah daerah. Bagi doktor lulusan Ilmu Pembangunan dari Philipina itu, ketika ada kolaborasi yang baik, maka hal yang kelihatan sulit selama ini bisa diatasi dengan baik.
Menurut pria asal Lamahora ini, sejak menjadi Ketua STKIP Widya Yuwana (2015 hingga kini), ia telah menggerakan institusi itu untuk selalu berpikir ‘out of the box’. Sebelumnya, kebanyakan pola hidup lebih berharap pada proposal. Namun itu diubah saat menjadi Ketua Sekolah, hingga kini di periode kedua. STKIP Widya Yuwana mebangun link dengan alumni dan berbagai bank untuk memberikan pinjaman. Baginya, bank siap memberikan pinjaman tetapi perlu dikelola secara baik agar pengembaliannya menjadi lancar.
Dr Hipolitus Kewuel dari Universitas Brawijaya pada gilirannya menekankan bahwa melihat semua peserta sangat yakin akan perlunya PT di Lembata maka sangat penting membuat Road Map. “Road Map itu pertama-tama dilaksanakan oleh Pemda tentang blue print pembanguann dalam 25 – 50 tahun ke depan. Dalam Road Map itu, bisa terlihat keberadaan sebuah PT sebagai salah satu tulang punggung menghasilkan SDM demi mewujudkan program pemerintah’.
Terkait penyelenggaraan PT, pria asal Uruor Lembata ini menggugah badan penyelenggara untuk turut terlibat memikirkan kehadiran PT ini. Hipo sendiri memberikan apresiasi terhadap inisiatif yang diselenggarakan oleh Yayasan Koker Niko Beeker, yang menurutnya perlu dihargai. Tetapi hal itu baru pada tahap urun rembuk karena itu Yayasan lain yang kompeten harus bahu- membahu mengajukan ide kreatif untuk membantu pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi di Lembata.
Terhadap harapan Hipo, wakil dari Yayasan Koker Niko Beeker yang diwakili oleh beberapa orang, Dr Damianus Dai Koban, Niko Hukulima, S.E, Kandidus Latan Tolok S.E, dan Markus Labi Waleng, S.Sos mengungkapkan kesediaan bila dianggap layak untuk berkolaborasi dengan Pemda Lembata membangun PT Lembata. Secara bersamaan mereka mengakui bahwa Yayasan Koker telah membuktikan diri dalam membangun kolaborasi dalam semangat 5K selama 5 tahun ini. Dari segi bangunan fisik, Yayasan kini tengah membangun gedung 3 lantai yang bisa digunakan suatu saat bila dibutuhkan.
Pada bagiannya, Paulus Doni Ruing yang merupakan Pembina Yayasan Koker Niko Beeker, mengharapkan agar disain PT harus dimulai dari hulu demi memetakan tenaga kerja berpendidiakn di Lembata. Tanpa menyebutkan angka yang pasti, Polce menguraikan bahwa sekitar 80% tenaga kerja berpendidikan adalah sektor pendidikan / guru dan belum menyebar ke bidang lain.
Menyambung hal itu, Dr Marsel Ruben memberikan beberapa trik yang bisa digunakan Badan Penyelenggara. Dari pengalamannya, ada lembaga yang harus bekerjasama dengan Perguruan Tinggi ternama agar menginisiasi PT di Lembata. Hal itu akan menjadi langkah awal mempersiapkan PT, apalagi dengan pengalaman yang ada, mereka bisa membantu proses pendirian dimaksud.
Sangat Mendesak
Mendengar paparan dari sekitar 30 orang akademisi yang hadir, Dr Yosep Laba Sinuor dari Universitas Pelita Harapan mengatakan bahwa kehadiran PT di Lembata itu sudah ‘conditio sine qua non’. Artinya tidak bisa tidak dan sangat mendesak. Yosep bahkan menantang para akademisi yang sangat mumpuni dan telah bekerja belasan malah puluhan tahun di luar daerah. Kini para akademisi harus meluangkan waktu minimal pikirannya untuk merancang PT di Lembata yang berkualitas dan bila perlu harus ‘pulang kampung’ untuk menyukseskan hadirnya Perguruan Tinggi di Lembata.
Hal yang sama didukung oleh Agus Gereda Tukan, M.Hum dari Universitas Musamus, Merauke. Baginya, karena panggilan lewotana ini urgen, maka secara pribadi ia bersedia untuk menjadi bagian dari proses ini.
Terhadap semua harapan, diskusi yang dimotori dan dimoderatori oleh Robert Bala dan dihadiri oleh kelompok terbatas yakni 30 orang akademisi dan wakil Pemda mengerucut untuk segera membentuk team khusus untuk menggagas secara lebih rinci termasuk menyusun Road Map untuk pendirian PT.
Sebagai kesimpulan, Robert yang sekaligus Ketua Yayasan Koker Niko Beeker menggarisbawahi bahwa kesamaan persepsi tentang perlunya PT di Lembata tentu tidak sekadar agar Lembata punya perguruan Tinggi atau PT ada di Lembata. Baginya, yang jauh lebih penting adalah memetakan persoalan sehingga PT yang akah lahir memang sungguh-sungguh ‘dari Lembata’ dan bukan sekedar ada ‘di’ Lembata.
Penekanan dari Bala yang sekaligus penulis buku Populer di Gramedia dan kolumnis harian Kompas itu, akademisi Lembata tentu merasa agak kurang hati karena daerah otonom lain di Lembata sudah punya Perguruan Tinggi: Rote, Nagekeo, bahkan Malaka yang terbentuk jauh kemudian. Tetapi keprihatinan itu harus disertai analisis dan studi kelayakan agar Perguruan Tinggi itu ‘dari Lembata’ dan dengannya diharapkan bahwa program ‘Healthies from the east’ benar-benar terwujud berkat ‘kepala’ dari masyarakat, yaitu Perguruan Tinggi yang difungsikan secara optimal sekaligus menjawabi permintaan kepada para akademisi untuk ‘taan tou gelekat lewotana’. Malah di akhir diskusi, Bupati yang juga seorang akademisi menantang para akademisi agar dalam satu bulan ke depan sudah ada road map, hal mana dijawabi sepakat oleh peserta. Atas harapan bupati, moderator langsung ambil langkah dengan membuka kesempatan kepada para akademisi yang ingin masuk dalam team khusus dan ingin mendedikasikan pemikirannya secara cuma-cuma untuk mendisain road map dan bisa menjawabi harapan bupati Lembata. Diskusi yang berakhir pkl 22.30 malam itu ditutup dengan doa yang dibawakan oleh Frans Wata Namang, Pengawas Yayasan Koker Niko Beeker (Disusun Team Komunikasi dan Litbang Yayasan Koker Niko Beeker)
Hanya dengan berkolaborasi melibatkan semua stakeholder, maka sebuah proyek besar bisa terlaksana. Spirit gemohing melibatkan akademisi, pemda, swasta, akan menjadi komponen penentu. Semoga sukses upaya pendirian Perguruan Tinggi di Lembata.