Oleh: Y.B. Januarius Lamablawa, S.Fil., MA
Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Larantuka
Tanggal 19 Agustus 2021, Bupati Flores Timur, Antonius Hubertus Gege Hadjon, S.T., mengeluarkan suatu pernyataan yang kemudian menimbulkan berbagai tanggapan kontroversial. Isi pernyataan itu terkait dengan rencana Pemerintah Kabupaten Flores Timur meminjam uang sebesar Rp 100 miliar kepada PT. Sarana Multi Infrastruktur.
Ia mengatakan: “Pinjaman ini untuk kepentingan masyarakat tentu nanti akan dibayar kembali. Dan pinjaman ke PT.SMI tidak butuh persetujuan DPR. Soal setuju atau tidak urusan kemudian. Tapi syaratnya jelas, termasuk tidak perlu persetujuan DPR”. (Audiens.id)
Mari kita telusuri lebih lanjut pernyataan Bupati Flores Timur ini dengan merujuk pada regulasi. Benarkah pinjaman ini tidak memerlukan persetuan DPRD? Sabar dulu.
Kontra regulasi
Dalam peraturan Pemerintah nomor 56 tahun 2018, Bab III tentang Persyaratan Pinjaman Daerah, pasal 16 angka (1) dinyatakan bahwa: Pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang WAJIB mendapata PERSETUJAN Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kalau kita periksa pernyataan Bupati Flores Timur yang menyatakan bahwa PINJAMAN ke PT. SMI tidak butuh persetujuan DPR(D), maka kita menjadi mengerti bahwa Bupati sedang menabrak aturan. Ini fatal untuk pemimpin publik. Ia sedang mempertontonkan sebuah sandiwara kepemimpinan yang tidak elok di akhir masa jabatan. Ia tengah mengangkangi aturan di republik ini untuk ambisi terakhir di senja kekuasaan.
Sebagai Bupati, ia perlu hati-hati dan bijaksana dalam menyampaikan rencana-rencana strategis untuk menjawabi visi dan misinya agar tidak terkesan arogan. Apakah Ia tahu bahwa ia tidak tahu (ada aturan yang mengatur tentang pinjaman daerah) ? Hanya Bupati sendiri yang tahu. Ataukah ia tahu tapi malas tahu? Itu juga hanya dia yang tahu. Dalam hukum, terdapat asas yang menganggap semua orang tanpa kecuali mengetahui hukum yang disebut fiksi hukum (presumption iures de iure). Seseorang tak bisa mengelak atau berdalih belum atau tidak mengetahui suatu aturan atau perundang-undangan tertentu. Maka kemdian tidak ada alasan permohonan maaf karena tidak mengetahui bahwa ternyata ada ketentuan persetujuan DPRD untuk pinjaman daerah jangka menengah dan jangka panjang.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 43 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas PMK 105 tahun 2020 tentang pengelolaan pinjaman pemulihan ekonomi nasional untuk pemerintah daerah pasal 1 ayat 8 menyatakan: Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mepercepat penanganan pandemi corona virus desease 2019 (COVID 19) dan / atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional. Di pasal 10 ayat (5) dinyatakan: Kepala Daerah yang mengajukan permohonan pinjaman PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.
Pertanyaannya: Apakah rencana pinjaman 100 miliar ini untuk penangan covid 19 atau menghadapi ancaman yang membahayakan ekonomi nasional seperti amanat PMK ini, ataukah peruntukkannya untuk membiayai pembangunan reguler tahunan?
Kalau dari pernyataan Bupati, pinjaman ini untuk perbaikan infratruktur yang tidak mencakup penjelasan tentang penangnan covid 19 dan pemulihan ekonomi. Kalau demikian, maka rasionalitas untuk program PEN ini ada di mana sehingga pasal 10 ayat 5 bisa menjadi pintu masuk untuk memuluskan pinjaman 100 miliar yang direncanakan? Jika rencana peruntukannya tidak seperti yang diamanatkan PMK 43 tahun 2021 maka rencana ini sepatutnya jangan lagi dipikirkan. Biarkan saja berlalu. Ekonomi Flotim tidak akan colaps dengan tidak dipinjamnya 100 miliar rupiah.
Megabaikan Lembaga DPRD – yang adalah representasi rakyat Flores Timur
Mendalami pernyataan Bupati, kita akan menemukan sesuatu yang kontradiktif. Ia mengatakan bahwa “pinjaman ini untuk kepentingan masyarakat”. Logikanya masyarkat harus mengetahui dan menyetujuinya. Bahwa akan ada pinjaman uang buat mereka. Nanti mereka harus mengembalikan pinjaman itu (pokok dan bunganya). Dan masyarakat ini hadir dalam sistem pemerintahan melalui wakil rakyatnya di Lembaga DPRD. Tapi apa yang terjadi? Masih dalam kalimat pernyataan selanjutnya, Bupati mengatakan: “pinjaman ke PT. SMI tidak butuh persetujuan DPR(D). Seharusnya, Persetujuan Lembaga DPRD menjadi wajib (merupakan syarat inti) dan tidak boleh diabaikan. Dalam istilah latin, ini merupakan conditio sine qua non (a condition without which it could not be). Syarat yang tanpanya, peminjangan tidak mungkin dilakukan.
Tapi mau bilang apa? Bupati tidak anggap lembaga DPRD dalam pernyataannya ini. Malahan ia menambahkan: “Soal setuju atau tidak urusan kemudian”. Urusan kemudiannya di mana? Dalam siklus perencanaan pemerintahan bagian mana? Koq lembaga DPRD dikemudiankan? Itu artinya rakyat dikemudiankan (karena representasi mereka di Lembaga DPRD dikemudiankan). Rakyat mungkin hanya jadi alasan saja untuk memenuhi ambisi tertentu.
Tidak ada yang urgen (sekaligus Mengacaukan sistem perencanaan)
Dari pernyataan demi pernyataan, tidak ditemukan bahwa saat ini Kabupaten Flores Timur memiliki kebutuhan yang sangat urgen. Kebutuhan urgen artinya suatu kebutuhan yang kalau tidak segera dipenuhi, Flores Timur akan lumpuh. Logisnya, kalau tidak pinjam pun Flores Timur tidak lumpuh. Apalah artinya pinjam dengan tergesa-gesa.
Kalau mau pinjam, mungkin lebih baik sudah pijan di masa-masa awal kepemimpinan. Dengan demikian, perencanaan menjadi lebih matang untuk penggunaannya, bukan hanya untuk misi menyelamatkan infrastruktur tapi juga untuk misi-misi lain yang sangat bersentuhan dengan prioritas kebutuhan pembangunan masyarakat Flores Timur.
Dalam Pasal 16 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2018, dinyatakan bahwa: “Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan bersamaan pada saat pembahasan kebijakan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan prioritas dan plafon anggaran sementara” (KUA PPAS).
Kalau ada kebutuhan yang urgen, mungkin kita bisa mendengar suara dari Lembaga DPRD pada saat pembahasan KUA PPAS. Seandainya Bupati berencana meminjam uang dari PT SMI itu pada tahun anggaran 2021, maka seharusnya persetujuan itu sudah dilakuan pada saat pembahasan KUA PPAS 2021 di tahun 2020. Tapi itu tidak pernah terjadi.
Kalau Bupati rencana melakukan peminjaman itu di tahun 2022 di masa akhir jabatnnya, maka Lembaga DPRD harus membahas dan menyetujui rencana pinjaman itu pada pembahasan KUA PPAS 2022 di tahun 2021 ini. Idealnya sudah dilewati. Tapi mana mungkin hal ini bisa terjadi? Bupati kan sudah menyatakan bahwa tidak perlu persetujuan DPRD. Kendatipun KUA PPAS 2022 belum dilaksanakan dan nanti akan dilaksanakan, DPRD tidak dianggap oleh Bupati untuk berperan dalam pembahasan pinjaman yang direncanakannya itu. Lalu apalah DPRD sebagai mitra yang memiliki fungsi budgeting? Memang DPRD dianggap sepi oleh Bupati. Padahal Perda APBD dibahas dan disetujui bersama antara DPRD dan Bupati. Apakah ini nanti sebuah drama yang tragis atau happy ending – sama sama enak?
Tidak Efektif dan efisien
Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 262 ayat 1 menyatakan bahwa rencana pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan. Perintah Undang Undang ini kemudian juga ditegaskan kembali sehubungan dengan pengelolaan pinjaman daerah yang diatur dalam PP nomor 56 tahun 2018 pasal 3 yang menyatakan bahwa pengelolaan pinjaman daerah harus memenuhi prinsip taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, transparan, akuntabel, efisien dan efektif, dan kehati-hatian.
Dengan berdasar pada perintah Undang Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, sebelum bergerak satu langkah lagi ke depan, coba kita melihat kembali 4 langkah (tahun) sebelumnya sejak pelantikan Bupati dan Wakil Bupati sekarang pada 22 Mei 2017 yang lalu. Apakah rencana pembangunan dearah yang terencana sudah terlaksana dengan baik untuk menjawabi kebutuhan pembangunan masyarakat Flores Timur selama 4 tahun ini? Apakah uang rakyat yang dikelola pemerintahan sekarang telah mengalirkan kesejahteran kepada masyarakat luas, atau hanya tetesan-tetesan kecil yang menyinggahi titik titik kroni kekuasaan?
Secara normatif, perjalanan pemerintahan daerah biasa-biasa saja. Mengapa biasa-biasa saja? Karena tidak ada terobosan yang menjebol gawang kemiskinan di Flores Timur. Malahan Pemerintah daerah menjebol gawangnya sendiri alias gol bunuh diri dengan kasus air ile boleng di Adonara, talud Bubu Atagamu di Solor, mangkraknya Breun Sport Center di daratan Flores Timur, proyek merungge (untuk penanggulangan covid-19) di beberapa tempat serta pemangkasan anggaran untuk tenaga honor sebagai akibat pengurangan jam kerja.
Beberapa contoh kasus besar ini telah menjadi preseden bahwa anggaran telah dikelola dengan tidak efektif dan efisien untuk rakyat. Uang rakyat telah dipakai untuk sesuatu yang tidak bermanfaat untuk banyak orang dengan menghasilkan prasasti kegagalan.
Lalu apakah Bupati begitu percaya diri bahwa ia bisa menggunakan uang Rp.100 miliar yang akan dipinjam itu secara efektif dan efisien untuk rakyat? Mana garansinya?
Investasi Kekuasaan ?
Satu pertanyaan di akhir catatan ringan ini, apakah rencana meminjam 100 miliar dari PT. SMI itu untuk investasi kekuasaan? Masa jabatan akan segera berakhir dan matahari kekuasaan akan terbenam di balik malam 22 Mei 2022, suatu waktu yang singkat dari masa 5 tahun kepemimpinan paket Breun. Lalu apa yang dikejar dengan uang 100 miliar rupiah di balik seribu satu kontroversi kaum tertindas? Apakah 100 miliar rupiah itu membuat rakyat tersenyum menghatar kepergian Breun kembali ke rumah? Ataukah uang itu menambah beban di pundah rakyat hingga anak cucu yang terlahir pun langsung memiliki utang dalam sistem pemerintahan karena ia adalah anak tanah Flores Timur?
Rakyat itu tidak butuh uang yang banyak dan harus tergesa-gesa. Rakyat itu hanya butuh uangnya dipakai dengan tepat, buat orang yang betul betul membutuhkan, dengan program yang berdayaguna bukan dihambur-hamburkan kepada sekolompok kecil orang tapi atas nama rakyat.
Sebaiknya sebelum turun dari kursi kekuasaan, pikirkan kembali niat ini baik-baik agar jangan merencanakan penyesalan perjalanan pulang. Biarlah nanti kembali dengan senyum karena tidak melukai rakyat yang mencintaimu di akhir episode.
#Pemimpin itu perlu rendah hati dan mendengarkan#* Penulis adalah pemerhati masalah sosial. Tinggal di Larantuka, Flores Timur.