Aksinews.id/Jakarta – Mengawal tuntutan dan vonis dalam kasus Prada Lucky dengan berkaca pada vonis ringan kasus pembunuhan pelajar oleh oknum anggota TNI di Medan, Imparsial Jakarta lakukan gelar diskusi via zoom yang dilakukan pada Kamis (4/12/2025) mulai pukul 13.00 wita hingga 16.00 wita.
Diskusi dengan mengangkat tema ”Quo Vadis Peradilan Militer dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer: Kasus Prada Lucky, Hingga Vonis Ringan di Medan”.

Imparsial menghadirkan narasumber; Sepriana Paulina Mirpey (Ibunda Prada Lucky), Akhmad Bumi, S.H. (Kuasa Hukum Keluarga Prada Lucky), Irvan Saputra (Direktur LBH Medan), Dr. Muktiono, S.H., M.Phil (Dosen FH UB), Bhatara Ibnu Reza (Direktur De Jure), Al Araf (Peneliti senior imparsial dan ketua centra initiative). Diskusi dipandu Riyadh Putuhena dari Imparsial.
Akhmad Bumi, SH tampil sebagai pembicara pertama menjelaskan peradilan militer itu bagian dari sistem peradilan Indonesia yang memiliki yurisdiksi khusus terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), diatur dalam UUD 1945 Pasal 24 dan UU Nomor 31 Tahun 1997, memberikan kewenangan kepada institusi militer untuk menyidik, menuntut, dan mengadili anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum. Peradilan Militer berada dibawah naungan Mahkamah Agung.
Akhmad Bumi menjelaskan tapi dalam perkembangan demokrasi dan tuntutan transparansi publik, peradilan militer banyak di kritik. Kritik muncul terutama pada kasus-kasus yang menimbulkan kegaduhan publik, belakangan seperti kasus kematian Prada Lucky, yang memunculkan pertanyaan soal kematian prajurit dibarak TNI sendiri. Kok bisa? Serta vonis ringan 10 bulan prajurit TNI dalam kasus penganiayaan siswa di Medan oleh oknum anggota TNI, vonis ringan tersebut dianggap tidak sepadan dengan beratnya perbuatan dan dampak yang ditimbulkan.
Dari contoh vonis ringan tersebut jelas Akhmad Bumi menunjukkan persoalan struktural sekaligus mendesak untuk dikaji ulang, ke mana arah peradilan militer Indonesia (quo vadis)? dan mengapa reformasi peradilan militer menjadi sangat urgen?, ini menjadi refleksi sesuai tema yang diangkat dalam diskusi hari ini ”Quo Vadis”.
Akhmad Bumi menjelaskan posisi kasus Prada Lucky yang menjadi perhatian nasional saat ini. Prada Lucky, seorang prajurit muda yang mati dibarak militer sendiri. Di barak militer seharusnya melindungi prajurit, prajurit militer di didik untuk membunuh musuh, tidak di didik untuk membunuh sesama prajurit.
Prada Lucky meninggal bukan ditempat pendidikan, tapi ditempat dinas, pendidikan telah selesai, perbuatan 22 terdakwa telah menggerus kepercayaan publik terhadap institusi TNI, jasa 22 terdakwa belum seberapa buat negara, tapi perbuatan mereka, daya rusaknya cukup tinggi dan luas pada institusi TNI dan negara, olehnya perlu dihukum maksimal dan diberhentikan.
Lanjutnya, Prada Lucky itu korban mati, bukan korban hidup. Pasal 131 ayat (3) KUHP Militer, diancam 9 tahun penjara bagi korban mati. Penerapan pasal dapat diperluas menggunakan ruang pada ayat (4) pasal 131 KUHP Militer, dengan menerapkan pasal 339 KUHP atau 340 KUHP sesuai peran terdakwa masing-masing yang terbukti dalam persidangan. Ada pelaku yang memberi perintah atau membiarkan, pelaku dan pelaku turut serta.
”Dan kasus Prada Lucky dibiarkan oleh komandan (Danyon) sebagai penanggungjawab komando dibarak. Danyon mengetahui kejadian itu tapi tidak menghentikan aksi penganiayaan”, ungkap Akhmad Bumi.
Akhmad Bumi menyoroti untuk dilakukan revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer, Revisi agar sejalan dengan prinsip negara hukum modern dengan mengacu pada Prinsip Equality Before the Law, setiap warga negara termasuk prajurit TNI memiliki kedudukan yang sama, olehnya harus diproses melalui mekanisme hukum yang adil, transparan, dan imparsial.
Akhmad Bumi mengatakan mengacu pada pasal 65 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan amanat TAP MPR Nomor VII tahun 2000 khusus pasal 3 ayat (4) huruf a, Perkara Pidana Umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dialihkan ke Peradilan Umum untuk diadili, seperti kasus pembunuhan, penganiayaan berat, asusila, korupsi, dan narkotika.
Akhmad Bumi juga menyoroti agar memperkuat independensi Oditurat. Menurutnya oditur sebagai representatif atau pihak yang mewakili korban pada posisi sebagai penuntut perlu dipisahkan dari struktur komando TNI, hal ini urgen agar oditur tidak dilema saat berhadapan dengan struktur komando ketika berhadapan dengan kasus-kasus berat yang melibatkan anggota TNI.
Hal yang sama disoroti oleh narasumber lain, Direktur LBH Medan, Irvan Saputra, Dosen FH UB), Dr. Muktiono, S.H., M.Phil, Direktur De Jure, Bhatara Ibnu Reza, dan Peneliti senior imparsial dan ketua centra initiative, Al Araf tentang pentingnya reformasi peradilan militer.
Direktur LBH Medan, Irvan Saputra mengisahkan pendampingan atas kematian siswa usia 15 tahun di Medan yang dianiaya oleh anggota TNI, tapi oditur hanya menuntut 1 (satu) tahun penjara, tidak dipecat dan Majelis Hakim menjatuhkan vonis ringan 10 bulan penjara.
Irvan Saputra menjelaskan saat ini LBH Medan melaporkan Majelis Hakim tersebut ke Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial atas vonis ringan tersebut.
Ibunda Prada Lucky, Sepriana Paulina Mirpey secara testimoni menjelaskan kematian tragis yang dialami oleh putranya Prada Lucky di Nagekeo dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Sepriana Paulina Mirpey mengisahkan kejadiannya tersebut dengan tidak menahan rasa sedih dan haru atas kejadian yang membuat putranya luka disekujur tubuh hingga meninggal dunia di Rumah Sakit Nagakeo pada 6 Agustus 2025.
Sepriana Paulina Mirpey berharap oditur dan Majelis Hakim menuntut dan memvonis para terdakwa dengan hukuman maksimal dan dipecat dari anggota TNI.
“Saya berharap bapak Oditur dan Majelis Hakim menuntut dan memvonis para terdakwa dengan hukuman maksimal dan dipecat dari anggota TNI, mereka para terdakwa tidak pantas memakai seragam TNI”, tandas Sepriana. (*)






















